5. Nggak Tobat

1718 Kata
“Minumnya, Kak.” Lamunan Tita terputus ketika suara sopan nan manis menyapa lembut pendengarannya. Ia mendongak dan menemukan sosok pemuda berpakaian seragam Delight Coffee & Eatery tengah menatap dengan senyum canggung sambil memegang nampan berisi gelas minuman. “Eh? Saya belum pesen apa-apa, lho!” “Nggak apa, Kak.” Pemuda itu meletakkan nampan di meja lalu memindahkan gelas tepat ke depan Tita. “Emang kamu tau saya mau pesan apa?” Kembali pemuda itu tersenyum canggung. “Kayaknya tahu.” “Kalo saya ternyata nggak suka?” Sebenarnya Tita tidak sedang berada dalam suasana hati ingin berdebat. Mengingat tingkah mengesalkan pasangan 537 masih membuat Tita mulas. Sang calon pengantin pria terkesan angkuh dan tidak pedulian, sementara pasangannya manja dan berlebihan. Klop memang! Namun, melihat wajah malu-malu pemuda di hadapannya, kejailan Tita mendadak muncul. “Saya yakin Kakak pasti suka.” “Kalo ternyata nggak, saya nggak mau bayar, lho!” “Nggak apa, Kak. Ini memang saya buatkan untuk Kakak, free.” Pemuda itu menggeleng cepat sambil memeluk nampan yang sudah kosong. “Tapi saya yakin Kakak suka.” “Yakin banget sih, kamu?” Tita tersenyum geli. “Kalau muka kakaknya lagi begini, biasanya Kakak selalu pesan Mango Lychee Mocktail.” “Eh?” Seketika Tita mengerjap. “Kok, kamu bisa tau?” “Saya cukup hafal pesanan pembeli di sini.” “Really? Segitu banyak pembeli tiap harinya dan kamu bisa hafal?” Tita mengedarkan pandang ke sekeliling, meski saat ini tidak banyak pengunjung, tetapi Delight Coffee & Eatery juga tidak pernah sepi. “Jagoan banget kamu.” “Nggak semua, Kak. Cuma pembeli-pembeli yang sering datang saja.” “Dan saya termasuk?” “Iya. Kak Tita minimal lima kali dalam seminggu pasti datang ke sini.” “Wow! Kamu bahkan tau nama aku juga?” ujar Tita takjub. “Kan ada di kartu member, Kak.” “Oh, iya bener juga!” “Kalau begitu saya permisi, Kak. Masih ada pekerjaan.” Pemuda sopan berwajah manis itu berpamitan. “Oh, oke oke! Thanks ya …, mmm betewe nama kamu siapa?” Tita jadi merasa tidak enak. “Saya Alby, Kak.” “Oh, oke! Thanks Alby.” Tita tersenyum diam-diam memandangi minuman di hadapannya. Selama bertahun-tahun menjadi pengunjung tetap di tempat ini, baru pernah ia diperlakukan demikian istimewa. Ia menikmati minuman yang kenikmatannya meningkat berkali-kali lipat karena didapatkan secara gratis, ditambah pula dengan senyum manis sang pemberi. Hingga tanpa sadar, Tita lupa waktu. “Kak Tita belum mau pulang?” tegur Alby saat semua pengunjung sudah tidak terlihat dan hanya tinggal tersisa satu gadis itu saja. Tita yang masih asik melamun dengan laptop terbuka di depannya, mendadak gelagapan dan menoleh ke kiri kanan dengan panik. “Eh, sorry sorry! Udah mau tutup, ya?” “Iya, Kak. Sudah jam sepuluh. Tapi kalau Kak Tita masih mau di sini, nggak apa. Saya tungguin.” Tidak terdengar sedikit juga kekesalan dalam suara Alby, padahal jelas wajah pemuda itu sudah terlihat lelah. Wajar saja, sudah pukul sepuluh lebih. Kuliah di pagi dan siang dilanjut bekerja dari sore hingga malam, siapa yang tidak lelah? “Hah? Ya, janganlah!” Cepat-cepat Tita menggeleng lalu membenahi barang bawaannya. “Kan ini mau tutup.” “Tenang saja, Kak. Hari ini saya yang bertugas menutup. Saya tungguin sampai Kak Tita selesai.” “Jangan-jangan!” tolak Tita lagi. “Saya juga harus pulang, kok. Udah malem.” Kalau Tita tidak pulang atau pulang tapi lewat dari jam malam yang Gin berlakukan tanpa pemberitahuan terlebih dahulu, ia bisa terancam diusir dari apartemen sahabat laknatnya itu. Gin paling tidak suka melihat perempuan keluyuran malam-malam. “Kalau boleh tahu, Kak Tita pulangnya ke mana?” Bukan Alby bermaksud tidak sopan, ia hanya menunjukkan perhatian saja pada pengunjung tetap yang selalu muncul di tempatnya bekerja. Sejak empat bulan lalu menjadi pegawai magang di Delight Coffee & Eatery, Alby kerap memperhatikan sosok Tita. Diam-diam, ia menyimpan kekaguman pada sosok itu. Penampilannya memang sederhana, tetapi mencuri hati Alby. Pemuda itu kagum melihat Tita yang selalu sibuk dan gesit, dengan rambut hitam panjangnya yang selalu disatukan membentuk cepol tinggi, kaus-kaus santai yang terlihat nyaman dikenakan dilengkapi celana jin, serta tas ransel yang memuat segala keperluannya juga sneakers lusuh sebagai peneman setia. Namun, di mata Alby, Tita selalu ceria dan penuh energi positif. Maka ketika hari ini gadis itu terlihat muram, Alby merasa terganggu lantas memberanikan diri menyapa langsung. “Saya ke daerah Kuningan.” “Kak Tita pulang sendiri atau ada yang jemput?” Area parkir sudah kosong, hanya menyisakan satu sepeda motor miliknya sendiri. Alby yakin Tita tidak membawa kendaraan. “Sendiri. Panggil ojol.” “Bareng saya saja, Kak.” Alby segera menawarkan tumpangan. “Emang kamu ke mana?” “Saya ke Brawijaya, bisa sekalian lewat.” “Wah, lumayan deket! Saya di Orchid Land.” “Ayo, Kak! Bareng saya saja. Udah malam juga, bahaya naik ojol.” “Bener gapapa, nih?” Dari pembawaan Alby, Tita sama sekali tidak menaruh curiga jika pemuda ini mungkin berniat macam-macam. Wajah Alby terlalu polos dan baik. “Benar, Kak. Asal Kakak nggak masalah naik motor.” “Nggaklah. Tiap hari juga sama Bang Ojol.” “Kalau gitu tunggu sebentar ya, Kak. Saya beres-beres dulu. Sepuluh menit.” Alby segera menghilang ke area kasir, membenahi beberapa hal, kemudian kembali menemui Tita setelah semua rampung. “Kak Tita bawa jaket?” “Haduh!” Seketika Tita menepuk jidatnya. “Nggak bawa, ya?” “Bawa, tapi ketinggalan di kantor.” “Pakai punya saya saja, Kak.” Alby mengangsurkan jaket berbahan denim miliknya. Tita ragu menerimanya. “Kamu ada dua?” “Satu.” “Terus?” “Saya ada sweater, Kak.” Memang tidak terlalu tebal, tetapi masih mampu menghalau dingin. Tidak mungkin bukan membiarkan gadis yang dikagumi kedinginan tanpa jaket? “Serius, nih?” tanya Tita tidak enak hati. Mereka ini baru kenal, lain cerita kalau yang direpotkan adalah Gin. Tita pasti tidak ambil pusing. “Iya, Kak. Yuk, dipakai!” Alby memimpin langkah menuju motornya kemudian mengeluarkan helm cadangan dari bagasi. “Makasih ya, Alby,” ujar Tita tulus saat motor Alby sudah melaju menuju arah pulang. “Maaf loh baru kenal udah ngerepotin.” “Saya sudah lama tahu Kak Tita, bukan baru. Cuma baru berani menyapa saja.” “Masa?” Dalam hati sebenarnya Tita ingin mengoreksi panggilan Alby padanya, tetapi setelah diamati mungkin usia pemuda itu memang dibawahnya. “Sejak saya kerja di sini empat bulan lalu, saya selalu lihat Kak Tita datang. Tapi biasanya ramai-ramai. Sepertinya klien, ya?” tebak Alby. “Kok, tau?” “Karena orangnya beda-beda terus. Biasanya sepasang. Atau perempuan muda sama ibu-ibu. Saya sih nebaknya Kak Tita ini WO.” “Loh? Kok, jago banget sih kamu?” Tita bukan pura-pura memuji. Ia benar-benar terkejut dengan pengamatan Alby yang mendetail itu. “Kan di ruko seberang itu ada Luminous. Terus Kak Tita kalau datang ke sini selalu bahas hal-hal berbau pernikahan.” “Astaga, kamu ini cocok jadi detektif deh!” Tita terkekeh geli. Jarang sekali menemukan pemuda sesopan dan seperhatian Alby ini. “Jadi benar, Kak?” tanya Alby memastikan. Selama ini ia hanya menebak-nebak dan menyimpannya sendiri. Alby tidak suka bergosip dan membicarakan pengunjung yang datang pada sesama karyawan lain. “Tepat!” “Tumben Kak Tita hari ini sendirian dan mukanya juga kusut. Jarang-jarang saya lihat Kak Tita mukanya muram.” “Lagi capek aja.” “Kak, saya turunin di lobi atau perlu diantar sampai ke unit Kak Tita?” tanya Alby ketika Orchid Land hanya tinggal berjarak 100 meter lagi di depan. “Di lobi aja.” Perjalanan pulang bersama kenalan barunya terasa menyenangkan. Tita melompat turun dari jok belakang kemudian mengembalikan helm Alby. “Makasih tumpangannya ya, Alby.” “Kembali kasih, Kak. Selamat malam.” Langkah Tita terasa ringan menuju unit apartemen Gin di lantai 17. Hatinya tidak lagi sedongkol sebelum bertemu Alby. "Lo pulang sama siapa?" Itulah sambutan pertama yang Tita dengar begitu melangkah masuk. Kebetulan Gin baru saja dari pantry untuk mengisi minum. "Tumben nanya," balas Tita cuek. Gin memicingkan mata ke arah Tita. "Lo dianter cowok?" "Lo ngawasin gue?" "Males amat. Lo kira gue kurang kerjaan?" "Terus kok, tau?" Gin mengedik kecil. "Jaket yang lo pake, gue yakin banget itu bukan punya gue." "Ya, jelas bukan punya lo dong, Gin!" sahut Tita keki. "Nggak usah sok tersinggung. Lo kan kebiasaan ngembat jaket gue." "Bener juga." Tita terkekeh tanpa malu. Sedetik kemudian ia menunduk lalu mendelik panik. "Eh? Jaket? Ya, elah! Belom gue balikin." "Ya, balikin aja besok." "Masalahnya gue nggak kenal sama orangnya. Eh, salah! Maksudnya baru kenal." "Orang yang punya jaket itu, dia yang anterin lo balik?" Terdengar perubahan dalam suara Gin. Tita yang belum menyadari perubahan sikap Gin langsung mengangguk tanpa dosa. Mata Gin berubah galak. "Lo baru kenal terus mau-mauan dianter pulang?" Tita mengangguk penuh semangat. "Dia cowok baik, kok. Yakin gue." Seketika itu juga Gin menerjang maju ke arah Tita. Dibenamkannya wajah gadis itu di bawah ketiaknya. "GIN! LEPAS!" teriak Tita ketika berhasil melepaskan diri dari Gin. Masih setengah gelagapan Tita mendelik sambil mengajukan protes. "Ngapain sih lo?!" "Kalo gue bilang ketek gue wangi lo percaya?" tanya Gin santai. "Percaya." Tita mengangguk cepat. "What?! Parah lo, Sha!" teriak Gin tidak percaya. Serusak inikah otak sahabatnya? "Kan gue jawab jujur,” sahut Tita polos. “Ketek lo nggak pernah bau. Biar abis keringetan juga nggak bau. Gue malah suka baunya." Gin menunduk dan menggeleng frustasi. "Asli! Otak lo rusak, Sha!" "Terus tujuan lo ngasih ketek ke muka gue apaan?" "Lupain aja. Nggak jadi." Gin kehilangan selera berdebat. Ia berjalan cuek ke arah kamarnya. "Gin!" Tita mengekor di belakang, menarik kausnya hingga leher Gin tercekik dan terpaksa berhenti. "Apa?!" tanya Gin galak. "Bilang!" paksa Tita. Gin mengembuskan napas sebal. "Gini ya. Pas gue tanya emang lo percaya kalo gue bilang ketek gue wangi, harusnya lo jawab nggak. Nah, disitu gue bakal nyerang lo. Sama kayak gue yang nggak percaya kalo lo bilang ketemu cowok baik." "Kok, gitu?!” protes Tita tanpa ampun. “Lo nggak percaya kalo gue bilang si Alby baik?" Gin bersedekap. "Sha, berapa lama sih kita kenal?" "Lama." "Segini lama gue kenal sama lo, penilaian lo tentang cowok itu nggak bisa dipercaya. Tiap ketemu cowok lo bilang baik. Nggak lama lo pacaran. Nggak sampe lima bulan lo putus. Gitu terus aja, Sha. Dari lo masih pake cup A, sampe sekarang lo pake cup C, selalu kayak gitu." "Sialan lo, Gin! Ngapain juga pake bawa-bawa ukuran cup gue, sih? Lagian lo tau dari mana ukuran gue?" Gin mencibir. "Gimana gue nggak tau kalo tiap hari itu jadi pemandangan gue?" "Gin, gue juga kan tambah dewasa kali. Gue udah lebih bisa nilai soal cowok." Tita kembali menggiring pembicaraan pada topik tentang Alby, bukan cup A B C D dan abjad selanjutnya. "Sha, gue cuma mau tanya," ujar Gin malas. "Lo putus kapan?" "Semalem." "Oke!" Sambut Gin puas sambil menjentikkan jari di depan wajah Tita. "Apa sih maksudnya?" tanya Tita tidak mengerti. Gin meletakkan telunjuknya di jidat Tita dan mengetuk seirama dengan tiap suku kata yang ia ucapkan. "Eng-gak ju-ga to-bat!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN