"Sepi amat." Tita celingukan ketika sneakers lusuhnya menginjak ruang tamu Luminous. Biasanya, baru mencapai teras saja riuhnya sudah terdengar.
Kantor yang sehari-hari dihuni empat lelaki dan enam perempuan dengan berbagai karakter unik bin nyentrik ini seyogianya tidak pernah tenang. Erwan yang galak dan perfeksionis, Jeff yang serupa dengan Erwan tapi selalu berdiri di sisi berlawanan, Nyoto yang konyol, Agung yang sok kegantengan, Lika yang cerewet luar biasa, Mandy alias Mandi yang ketus tiada tara, Diah yang lemah lembut, Kikan yang bak preman pasar loak, Ani yang solehah, dan tentunya Tita sendiri yang tidak perlu lagi kita deskripsikan. Mereka ini ibarat sekumpulan kucing bunting yang tidak pernah akur, berisik, dan bikin pusing.
"Hello!" Tita sengaja berteriak kencang untuk menarik perhatian yang lain.
Suara langkah kaki berlari kecil segera menyambut teriakan Tita. Sosok Mandy (men.di), gadis bertubuh mungil bermulut pedas yang lebih sering dipanggil Mandi (man.di) itu segera mendelik galak sambil membekap mulut Tita.
"Sst!" bisik Mandi masih sambil mendelik horor. "Lo kenapa baru dateng?"
"Gue sekalian ketemu klien dulu tadi." Heran. Biasanya Tita datang petang pulang pagi pun tidak ada yang peduli. Di Luminous ini memang tidak ada jam absen seperti kantor-kantor lain, yang penting semua pekerjaan selesai. "Kenapa, sih?"
Mandi menyeret Tita ke area kerja mereka untuk bergabung bersama yang lain. "Tadi dicariin sama Mas Erwan."
"Gue udah WA dia kok," balas Tita santai.
"Doa aja semoga lo selamet," sindir Mandi.
"Pada kenapa, sih? Itu muka pada tegang amat."
"Bos lagi murka," jawab Nyoto.
"Mas Erwan?" tanya Tita polos.
"Ya, iyalah, Ta!” geram Lika sambil mengibas rambut panjangnya yang belum dikeramas tiga hari. “Emang di sini ada bos lain?"
"Oh … kumat.” Hanya itu tanggapan Tita. “Gara-gara apa?"
"Katanya ada komplain dari klien," jawab Ani.
"Klien pegangan siapa?"
"Nah, itu yang lagi kita tunggu!" celetuk Nyoto.
Tita segera menajamkan telinga. "Itu ada suara dari dalem."
"Emang." Agung mengangguk sok ganteng.
"Siapa yang lagi sama Mas Erwan?"
Mandi menarik telinga Tita dan berbisik, "Bang Jeff."
"Wah!" Mata Tita membulat kemudian balas berbisik, "gak ada adu jotos?"
Jeff ini bisa dibilang tangan kanan Erwan. Orang nomor dua di Luminous. Orang yang paling sering Erwan mintai pendapat sekaligus lawan debat.
Mandi mencebik. "Sejauh ini belum."
"Penasaran gue."
"Sst!” ujar Lika yang duduk paling dekat dengan pintu ruang kerja Erwan. “Kayaknya udah beres mereka."
"Bubar bubar!" Nyoto mengusir kerumunan kucing bunting dari sekitar mejanya.
Belum lagi kerumunan itu bubar, pintu keramat sudah terbuka dan muncullah sosok Jeff dengan wajah kusut. Pandangannya langsung tertuju pada Tita. "Ta, baru dateng?"
"Eh, iya Bang!" sahut Tita yang grogi seketika.
Jeff mengedik ke belakang. "Masuk, gih!"
"Ada apaan, Bang?" bisik Tita ngeri.
"Bos perlu ngomong sama lo."
"Soal apa nih, Bang?"
"Klien pegangan lo ada yang komplain."
"Waduh!" desah Tita pasrah. Erwan itu tipe bos no complain club.
"Wah, Ta! Dilumat lo di dalem," bisik Mandi kejam.
"Alamat ditelen idup-idup nih," imbuh Lika.
"Dahlah, Ta! Kelar idup lo!" celetuk Nyoto tega.
"Ada pesan terakhir?" Pertanyaan sadis keluar dari mulut Agung.
"Vangke lo semua!" omel Tita.
Namun, Tita tidak punya banyak waktu untuk mengumpat kawanan kucing bunting yang teramat kejam itu. Ia segera melesat ke dalam sebelum bos tambah murka. Di depan pintu, Tita melongok manja. "Mas Erwan?"
"Masuk."
Gawat! Kalo nyautnya sependek ini, ngomelnya bakal sepanjang bunga kenanga. Eh? Kayaknya ada yang salah. Tita mengernyit, bingung sendiri dengan otak korsletnya.
"Duduk kamu! Ngapain berdiri di situ?" Erwan melotot galak. Pria paruh baya ini biasanya sangat baik pada Tita, karena gadis itu salah satu anak buah kesayangannya. Namun, sekali ada kesalahan, sëtan kucing garong dalam diri Erwan langsung kumat. Sebentar! Boleh kan menyebut om berusia 47 tahun ini dengan pria paruh baya?
Tita berjingkat ke dekat meja kerja Erwan dan duduk sepelan mungkin.
"Tahu apa kesalahan kamu?"
"Nggak, Mas."
BAMM!
Jawaban lugu Tita langsung dihadiahi gebrakan kencang. Barang-barang di atas meja Erwan langsung otomatis sibuk salto.
"EUSLEUM!" teriak Tita spontan. Begitu sadar latahnya salah, langsung buru-buru Tita menambahkan, "pang ka ditu ka dieu!"
*eusleum: rada gīla
"Ngomong apa kamu?"
Buru-buru Tita menggeleng. "Nggak, Mas. Latah aja ini."
Erwan mendelik curiga. "Kamu mengumpat saya?”
“Mana berani Mas?” balas Tita dengan senyum semanis gula buatan.
“Kamu sudah tahu kesalahan kamu?”
“Belum, Mas.” Lagi. Kesalahan yang sama.
“BACA!” Erwan menghardik kencang sambil membanting lembaran kertas ke depan Tita. Ditunjuknya kertas itu kuat-kuat. “Gimana kamu bisa seceroboh ini, Latisha?!”
Tita bergidik. Kalau Erwan sudah memanggil nama lengkap, itu benar-benar tanda bahaya. Ia membaca dengan hati-hati isi kertas yang Erwan lemparkan tadi. Seketika pahamlah Tita. Kertas itu berisi print out email dan percakapan Erwan dengan klien yang mengajukan komplain.
“Mas, maaf banget. Tapi mana saya tau kalo calon pengantinnya bakal lari sama fotografer?”
“MASIH BERANI BANTAH?!” Jika ini film kartun, mungkin kaca-kaca sudah bergetar hebat hingga pecah berderai.
“Bukan bantah, Mas. Cuma bela diri.”
“Nggak usah bela diri! Sudah jelas-jelas kamu salah!” Wajah Erwan sudah merah padam karena ledakan emosinya. “Harusnya kamu bisa cegah hal ini!”
“Tapi kan ini urusan hati, Mas. Urusan perasaan. Saya kan bukan Tuhan. Mana bisa saya cegah calon pengantinnya biar nggak jatuh cinta?”
“Harusnya kamu bisa! Cari fotografer jangan yang kecentilan! Cari yang nggak suka perempuan atau belok sekalian!”
“Yah, Mas. Kalo gitu nanti yang ditikung calon pengantin yang laki.” Memang Tita ini bodohnya kronis!
“TITA!” teriak Erwan. Yakinlah kalau Erwan tidak rajin berolahraga dan menjaga pola hidup sehat, saat ini juga pria itu sudah terkena serangan jantung atau bisa juga stroke. “Saya nggak mau tahu gimana caranya! Kamu harus bisa bikin mereka jadi nikah! Karena kalau mereka beneran batal, kita rugi gede, Ta! Ini pengantin cowoknya nuntut minta ganti rugi tiga kali harga DP.”
“Loh? Mana ada aturan kayak gitu, Mas?”
“Harusnya tanya sama diri kamu sendiri! Bisa-bisanya kamu turutin mau orang ini bikin surat perjanjian kerja versi dia sendiri.”
“Eh? Masa?”
“Baca kertas yang saya banting! Apa perlu saya banting lagi?”
“Nggak usah, Mas. Udah renyek.”
“Baca yang benar!” ancam Erwan. “Seenggaknya kamu harus bisa bikin mereka ini putus! Biar nggak jadi nikah, asal mereka putus, si pengantin cowok bilang nggak akan nuntut kita.”
“Jadi saya harus ngapain dong, Mas?”
“PIKIR SENDIRI!” hardik Erwan berang.
***
“Muka kenapa?” Gin mengempaskan bokongnya di sebelah Tita. Sahabatnya itu tengah jongkok di balkon memeluk Cokodot, dikelilingi latar pakaian dalam yang kondisinya tidak bagus-bagus amat.
“Kenapa gimana?” balas Tita lesu.
“Bentuknya nggak beraturan.”
Semua kelesuan Tita sepanjang hari lenyap seketika hanya dengan satu kalimat dari Gin.
“Asal aja lo!" protes Tita sewot. Bodohnya lagi, ia cepat-cepat berkaca di jendela sambil memeriksa kondisi wajahnya." Semua masih ditempatnya.”
“Emang, tapi tambah jelek.”
“Kayak muka lo bagus aja!" Tita mendorong Gin kuat-kuat sampai bahu sahabatnya menabrak besi pengaman balkon.
"Jelas baguslah!" Gin meringis sambil mengusap bahunya yang perih. "Nggak liat berapa jumlah subscriber gue?"
"Ketolong nama keren aja bangga lo!"
Mata Gin berkilat jenaka. "Jadi lo mengakui nama gue keren?"
Tita mengangguk tenang. "Nama lo emang keren. Tapi muka sama kelakuan ancur!"
Gin meraup wajah Tita dengan telapak tangannya. "Jangan kebanyakan ngatain gue. Ntar naksir."
"Sudi!" jerit Tita sambil menepis tangan Gin.
Gin berdeham dan memasang wajah sedikit serius. "Jadi itu muka kenapa?"
"Puyeng gue."
"Abis dimarahin bos lo?" terka Gin.
"Hooh. Kok, tau sih?"
"Muka lo selalu kayak gini kalo udah urusan sama si Herwan."
"Erwan, Gin …, Erwan! Bukan Herwan!" seru Tita jengkel. Entah sudah berapa ratus kali diajari, Gin tetap tidak juga lulus. "Buset dah berapa kali mesti diajarin ni makhluk? Lidah lo ketekuk apa gimana sih, Gin?"
Gin mengedik cuek. "Maklumlah, lidah rantau. Daripada gue bilang hewan kan masih mending herwan."
Terkadang Tita curiga. Gin ini benar tidak bisa atau hanya sengaja memancing kekesalannya saja. Bayangkan, semua nama berawalan huruf vokal yang diikuti dengan huruf 'r' sesudahnya, selalu ditambahi 'h' di awal.
Erwan jadi Herwan, untung si bos tidak pernah dengar langsung. Orlan jadi Horlan, ini juga aman. Irna jadi Hirna, kalau yang ini orangnya pernah protes, kenapa namanya jadi terdengar seperti ‘hina’ dan 'sirna' saat diucapkan oleh Gin. Ursy jadi Hursy, yang ini pun sama, katanya nama cantiknya jadi terdengar seperti kata 'kursi'. Namun, yang terparah jelas Aram. Siapa yang tidak marah kalau nama bagusnya berubah jadi Haram di lidah Gin?
"Ah, terserah!" seru Tita keki.
"Si Herwan ngapain lo?"
"Ngasih tugas yang nggak kira-kira mustahilnya."
"Bukannya lo selalu ngaku-ngaku jadi dewi dari segala kemustahilan."
"Tapi yang ini nggak masuk di daftar menu gue."
"Cie daftar menu! Lu kira lagi jualan?"
"Diem lo!"
"Cerita yang jelas, dah!"
Anehnya, meski Gin ini menyebalkan selalu dan bicaranya pasti korslet, Tita tidak pernah jera bercerita pada pemuda itu.
"Jadi ada pengantin pegangan gue yang batal nikah, gara-gara ditikung sama fotografernya. Terus Mas Erwan mau gue bikin mereka putus supaya itu calon pengantin balikan lagi. Masuk akal nggak, sih? Nggak mungkin banget, kan? Dikiranya segampang itu apa ngatur-ngatur urusan percintaan orang."
"Terus kalo nggak berhasil?"
"Si calon pengantin cowok yang patah hati keluarin ancaman bakal tuntut ganti rugi balikin uang DP tiga kali lipat."
"Mana bisa gitu!" Gini-gini otak Gin kadang bisa lurus juga.
"Bisa. Karena dia bikin surat perjanjian kerja versi penyesuaian, jadi bukan surat perjanjian yang biasa."
"Terus Luminous setuju-setuju aja?"
Tita mengigit bibirnya dan langsung terlihat salah tingkah.
"Jangan bilang lo yang handle masalah ini?" tebak Gin.
Tita mengangguk lesu.
"Duh, Sha! Teledor kok nggak hilang-hilang." Gin menjewer telinga Tita dengan gemas.
"Udah deh nggak usah nyalahin gue lagi! Udah tau juga gue salah. Mending juga kasih solusi!" gerutu Tita.
"Gampang aja."
"Liat muka lo kok gue jadi curiga."
"Percaya deh sama cara gue." Gin menjawab tenang sambil menaikturunkan alisnya
"Nggak usah aneh-aneh, Gin. Saran dari lo mana pernah ada yang bener, sih!"
"Jadi nggak mau denger, nih? Yakin nggak akan nyesel," pancing Gin sambil mengulum senyum. Ia yakin Tita akan kembali jatuh dalam perangkap jailnya.
"Emang gimana caranya?"
Benar saja! Tita selalu termakan pancingan busuk Gin.
"Lo tikung aja si fotografer."
"Asal aja ini mulut!" Refleks Tita menyambar bibir Gin dan mencubitnya keras. "Nyesel kan gue dengerin lo! Emang selalu sesat saran-saran dari lo, nggak ada yang bener!"
Gin memundurkan kepala jauh-jauh agar terlepas dari siksaan Tita, tapi gadis itu terus maju menyerang. Gin sampai kewalahan hingga terjengkang, punggungnya sudah lurus dengan lantai tapi Tita masih juga mencubit bibirnya. Akhirnya, terpaksa Gin menyambar tangan Tita dan menguncinya. "Stop, ah! Dower gue, Sha!"
Tita berhenti menyerang Gin dan terduduk di lantai. "Makanya jangan sesat!"
"Sesat apanya?" balas Gin sambil beringsut duduk lagi.
"Masa gue mesti pacaran demi bikin mereka putus."
"Emang salah?"
"Jelas salah!"
"Kenapa? Lo ngerasa jëlek? Nggak bisa bikin si fotografer ngelirik lo," ejek Gin kejam.
"Dih! Gue tuh cuma males aja pacaran padahal nggak suka."
"No worry lah, Sha. Nggak sampe lima bulan juga lo bakal putus."
"Bangke!" teriak Tita jengkel.
"Mulut, Sha!" tegur Gin.
"Lo sih mancing!"
"Kalo nggak gini gini …," ujar Gin cepat ketika sebuah ide brilian melintas.
"Gimana gimana?" Tita menatap penuh harap pada Gin yang terlihat sungguh-sungguh kali ini.
"Lo bilang aja lo hamil anak si fotografer. Jamin bakal bubar mereka."
"GINJIRO!" jerit Tita histeris yang refleks langsung kembali menyerang Gin hingga pemuda itu terjungkal. Tita duduk di atas perut Gin dan memukuli sahabatnya tanpa ampun, sementara pemuda itu hanya tergelak puas karena lagi-lagi berhasil mengerjai Tita.