7. Duda Beranak Tiga

1629 Kata
"Pagi, Mas!" Tita menerobos ke ruang kerja Erwan dengan wajah super ceria. Di tangannya ada paper bag berlogo Delight Coffee & Eatery. Dikeluarkannya isi paper bag ke atas meja Erwan. "Satu cangkir Mocha Latte with Brown Sugar. Dua cup Classic Muffin. Spesial buat Mas Erwan Trisno Harto founder of Luminous." "Tugas dari saya gagal?" Erwan menanggapi dingin sogokan yang Tita bawakan. Ia jelas tahu gadis ini sedang berusaha berbaik-baik padanya, karena Tita itu terkenal irit menjurus ke pelit. Jangankan membeli makan untuk orang lain, untuk dirinya sendiri saja kalau bisa Tita akan minta. Namun, seolah tidak terpengaruh sindiran Erwan, Tita malah menyebutkan daftar pekerjaan yang berhasil ia selesaikan. "Persiapan untuk Sabtu ini semua lancar. Meeting pertama buat klien Maret nanti juga lancar. Test food nanti sore dipastikan zero mistake. Apa lagi ya …? Pokoknya semua beres, Mas." "Bukan itu maksud saya." Tita berlagak pilon. "Sudah putus?" Tita mengangguk cepat. "Saya sudah, Mas. Minggu lalu." "Bukan kamu!" bentak Erwan. Pagi-pagi gadis ini sudah membuatnya jengkel saja. "Eh?" Lagi-lagi Tita berlagak pilon. "Saya nggak tanya soal kamu!" "Maaf, Mas. Kirain nanya saya." "Fotografer kecentilan itu sudah putus sama klien kita?" Tita hampir tersedak liurnya. Baru juga dua hari, sudah ditagih lagi saja. Ia menunduk takut-takut. "Belum, Mas." Erwan mengetuk meja dan menatap tajam pada Tita. Membayangkan kerugian ratusan juta yang harus ditanggungnya akibat gadis ini membuat Erwan jengkel. "Kamu sudah usaha?" "Udah, Mas." "Apa usaha yang kamu lakukan?" "Saya coba datengin mereka secara terpisah, saya cari tau soal perasaan mereka masing-masing, tapi keliatannya mereka bener-bener saling suka." BAMM! Gebrakan meja Erwan kembali menyapa jantung Tita. "EUS-leum!" Latah Tita kembali menjadi, tapi kali ini ia berhasil mengecilkan volume suaranya. Kalau saja tidak sedang terbayang-bayang uang ratusan juta, ingin rasanya Erwan mencari tahu apa arti u*****n yang kerap Tita cetuskan tiap kali terkejut.  "Saya nggak suruh kamu jadi konsultan percintaan! Lagian urus masalah percintaan kamu sendiri aja nggak becus!" bentak Erwan keki. "Iya, ya. Bener juga, Mas." Tita mengangguk lesu. Tersadar akan kisah cintanya yang miris. Raut wajah Tita membuat fokus Erwan jadi teralih. "Kamu benar sudah putus?" "Hm." "Sama pacar kamu yang ke 31?" "Loh? Kok, Mas Erwan tau juga?" Kenapa rasanya seluruh semesta ini hafal sekali berapa kali Tita patah hati? "Saya ada buku catatan khusus berisi list tentang kehidupan percintaan kamu." Awalnya Erwan tidak berminat melakukan hal sekonyol ini. Namun, karena setiap kali putus Tita selalu curhat pada geng kucing bunting, lama-lama Erwan jadi tergoda untuk mencatat kisah cinta unik karyawannya ini. "Mas aneh banget. Kurang kerjaan amat catetin yang modelan gitu." Tita menggerutu pelan. Kalau sedang baik, Erwan cukup menyenangkan buat jadi teman bicara, tidak akan tersinggung meski Tita seenaknya. "Saya terlalu penasaran sama nasib kamu yang selalu sial itu, Ta." Dalam tiga hari terakhir, barulah ini Erwan kembali tertawa. "Udahlah sial, dihina pula. Gimana nggak makin sial." "Kalau mau nangis jangan di sini." "Saya udah boleh keluar, Mas?" "Ya, ya, keluar sana!" *** "Kak Tita sendirian lagi?" sapa Alby ramah. "Eh?" Lepas dari ruang Erwan yang berhasil membuat suasana hatinya sendu lagi, Tita memilih melamun di Delight saja. Kisaran pukul 10-11 itu waktu paling enak untuk gabut. "Maaf, Kak. Kaget ya?" "Gapapa, salah saya malah ngelamun di sini." "Ini pesanannya, Kak."  Tita langsung terkejut. "Kenapa nggak panggil aja? Apa saya ngelamun sampe nggak denger dipanggil?" Alby tersenyum kecil. Mau mengangguk tidak sampai hati, tapi memang ia sudah memanggil-manggil Tita dari meja kasir tadi. "Duh! Maaf maaf!" ujar Tita panik. "Nggak apa, Kak. Silakan dinikmati." Seperti biasa, Alby selalu ramah dan sopan. "Oh, iya! Sekalian mau kembaliin jaket kamu. Maaf waktu itu malah lupa, dan ini baru sempat bawa." Alby menerima paper bag berisi jaketnya. "Nggak apa, Kak. Saya kembali kerja dulu." Tita mengangguk canggung. Baru saja akan melangkah, Alby kembali membalik badan dan bicara malu-malu. "Kalau Kak Tita pulang malam sendiri lagi, bareng saya saja, Kak." "Eh?" Terkejut? Jelas! "Iya, makasih." Belum lagi hilang terkejutnya karena si makhluk manis bernama Alby, datang makhluk ketus yang sedang Tita hindari, karena setiap kali melihat wajah Erwan, ia terbayang gajinya yang akan disunat. "Sedih-sedihnya sudah selesai?" sindir Erwan yang tanpa permisi duduk di hadapan Tita  "Mas Erwan ngapain ke sini?" "Cari kamu." "Ada apa, Mas?" "Saya punya tugas khusus untuk kamu." Duh! Apaan lagi nih? "Tugas apa, Mas?" "Jemput anak-anak saya, antar ke rumah, siapkan makan, dan temani mereka sampai saya pulang." "Hah?" Tita mengerjap berkali-kali. Tidak percaya dengan pendengarannya. "Jangan bengong." "Eh, tapi itu-" "Kamu keberatan?" potong Erwan.  "Bukan gitu, Mas. Cuma-" Salip lagi sebelum Tita selesai bicara. "Cuma apa?" "Tugasnya nggak nyambung sama kerjaan saya, Mas." "Jadi kamu nggak mau?" tantang Erwan dengan senyum sinis campur licik. "Fine! Nggak masalah kalau kamu lebih suka bayar ganti rugi yang tiga kali lipat itu." "Jangan!" Refleks Tita menyambar lengan bosnya. Takut Erwan keburu pergi. "Saya mau, saya mau." "Gitu dong!"  "Jadi jam berapa saya harus jemput anak-anak Mas Erwan?" "Jam satu jemput Nata di Nada Pesona, antar ke Precious Finger. Jaraknya kira-kira sepuluh menit dari Nada Pesona. Nata ada les piano di sana selama satu setengah jam. Setelah antar Nata, kamu jemput Waha di Nada Pesona. Antar Waha ke Taruna Sport Center, dia ada les tenis. Hanya satu jam. Kamu tunggui saja Waha di sana, sekalian berjaga-jaga karena dia suka kabur. Selesai les tenis, ajak Waha jemput Ersa di Nada Pesona, lalu jemput Nata di Precious Finger." Sudah tahu kan kalau Erwan ini duda beranak tiga? Anak pertamanya Ersa berusia 17 tahun, yang kedua Waha berusia 14 tahun, yang terakhir Nata baru 7 tahun. Kalau tahu asal usul nama ketiga anak bosnya, Tita masih suka merasa geli. Betapa narsisnya Erwan ini, atau betapa cinta matinya sang istri pada Erwan, tapi itu dulu. Empat tahun lalu Erwan ditinggal pergi oleh istrinya demi pria lain yang lebih segalanya dari dia. Balik ke nama tiga anak Erwan, mereka itu pecahan dari nama sang ayah. Er untuk Ersa, Wa untuk Waha, dan N untuk Nata. "Kenapa muka kamu begitu?" Erwan menatap curiga pada ekspresi Tita yang ajaib. Bengong bercampur jengkel. Bayangkan sendiri! "Lagi coba mencerna, Mas." "Awas salah jadwal." "Iya, Mas." Tita segera mencatat jam dan tempat penjemputan ketiga raja cilik itu. Lalu setelahnya Tita lupa. Ia tunjukkan catatannya pada Erwan lalu bertanya, "habis ini apa?" "Bawa mereka pulang ke rumah, lalu siapkan makanan." Tita kembali memasang ekspresi ajaib. Gondok, kesal, mau marah, tapi berlagak manis. Hasilnya malah mirip orang ngeden. Erwan mengernyit jijik. Dikiranya Tita mau kentut. "Kenapa muka kamu begitu?" "Saya nggak bisa masak, Mas," ujar Tita memelas.  "Siapa juga yang suruh kamu masak?!" sambar Erwan jengkel. "Saya tahu ceplok telur saja kamu gagal." Satu jagat Luminous tahu betapa kronis kemampuan Tita di dapur. Pantry Luminous pernah terancam punah karena ulah Tita. Dengan polosnya gadis itu merebus mi instan dalam mangkuk beling yang biasa digunakan untuk microwave, lalu meletakkannya di atas kompor gas. Hanya butuh waktu beberapa menit untuk meledakkan mangkuk beling tersebut. Sejak saat itu, Tita diharamkan menyentuh pantry. "Nah, itu Mas tau!" sambut Tita senang. "Maksud saya pesankan makanan untuk mereka. Pilihkan menu yang sehat. Kalau dibiarkan pesan sendiri, yang ada mereka pesan junk food semua." "Tapi saya juga suka junk food, Mas," celetuk Tita. "TITA!" Erwan menggeram kesal. "Maaf, Mas. Cuma bilang doang. Tenang saya cariin yang empat sehat lima sempurna." "Good! Kalau sudah, pastikan mereka semua baik-baik di rumah sampai saya pulang." "Baik-baik gimana maksudnya, Mas? Nggak main gadget terus gitu?" Setahu Tita, inilah masalah umum yang dikeluhkan para orang tua zaman sekarang, termasuk ibunya. Dua adiknya sendiri keranjingan gadget. "Kalau cuma itu sih, saya nggak masalah. Tapi kebiasaan mereka jauh lebih ajaib." "Misalnya?" Entah mengapa firasat buruk langsung menghinggapi Tita. "Intinya, pastikan Ersa nggak menyelinap keluar rumah, karena dia suka curi-curi pergi sama geng motor terus dugem. Waha beda lagi. Dia biasa mengurung diri di kamar, kalau bukan asik mengeksplorasi tubuh sambil menyaksikan tayangan pembangkit gairah, Waha akan sibuk melakukan transaksi untuk menjual akun-akun game buatannya." Tita membeku. Dia sudah pernah beberapa kali bertemu ketiga anak Erwan. Cukup sering bahkan, tapi ia tidak tahu ketiganya sedemikian ajaib. "Terkejut?" Erwan terlihat ingin menertawakan Tita. "Anaknya Mas ternyata ajaib." "Yah, begitulah remaja." "Berarti kalau Nata aman ya?" "Ya nggak juga. Kalau dibiarkan sendiri, dia akan sibuk menonton film-film pembunuhan, atau curi-curi komik horor milik Ersa, lalu membuat cerita horor versinya sendiri." "Waw!" Rahang Tita mau menukik menghajar meja rasanya.  "Nggak usah takut. Mereka nggak gigit. Jadi kamu bersedia?" desak bos. "Iya, Mas. Tapi saya penasaran, biasanya siapa yang mengurus mereka?" "Asisten masing-masing. Tapi sekarang sedang tidak ada. Ketiganya mengundurkan diri bersamaan setelah dikerjai habis-habisan oleh mereka." Tita meneguk liur mendengar informasi dari Erwan. Lantas bagaimana nasibnya? Sementara yang satu orang satu anak saja sampai mengundurkan diri, apa jadinya dengan dia yang mengurus ketiganya sendirian? Akan habiskah ia dilumat mereka? "Biasanya memang tidak ada yang awet. Paling lama tiga bulanlah. Tapi yang kali ini benar-benar luar biasa. Jangankan tiga bulan, tiga minggu saja tidak sampai. Makanya saya keteteran. Dan berhubung kamu menambah kepusingan saya, jadi hari ini kamu setidaknya harus bantu meringankan pekerjaan saya.” “Saya harus di rumah Mas Erwan sampai jam berapa?” Tita hanya berharap neraka ini cepat berlalu. “Sampai saya pulang.” “Pulangnya jam berapa?” Erwan segera mencibir. “Kenapa saya rasanya seperti sedang ditanya oleh istri sendiri ya?” “Ih, Mas! Saya kan harus tahu jam berapa saya bisa pulang.” “Kalau kemalaman tinggal menginap saja. Kamar di rumah saya banyak. Ranjang saya saja kosong,” jawab Erwan seasal-asalnya. Bolehkah Tita memilih mencium aspal saja daripada harus tidur di ranjang duda beranak tiga yang kemungkinan akan segera menambah anak kalau mereka bersama semalaman? Bukan karena Erwan buruk rupa, justru wajah duda paruh baya ini terlalu tampan, belum lagi postur tubuhnya yang terjaga aduhai! Hanya saja, Tita tidak ingin terlibat hubungan dengan pria bertanggungan tiga.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN