“Tante Tita!" Nata melambai kegirangan sambil berlari ke arah Tita yang berdiri dekat mobil Erwan. Gurunya tadi sudah memberitahu kalau Nata akan dijemput oleh karyawan ayahnya. Nata tidak peduli siapa personilnya, yang ia tahu semua karyawan ayahnya asik.
"Hai, Nata!" balas Tita berusaha terdengar ceria padahal dalam hati terheran-heran. Kenapa bocah ini ceria sekali melihat dirinya? Padahal mereka tidak akrab-akrab amat.
"Kenapa Tante yang jemput?" tanya Nata ketika sudah duduk manis di dalam mobil bersama Tita.
"Papanya Nata lagi banyak kerjaan."
"Jadi Tante yang temenin ke tempat les?" Suara Nata terdengar antusias.
"Hm." Tita mengangguk sambil mulai melajukan mobil milik Erwan meninggalkan area parkir Nada Pesona.
"Jemput Mas Waha juga?"
"Hm." Kembali Tita mengangguk.
Mata bocah itu sudah melotot sempurna. "Jemput Mbak Ersa?"
Tita mengangguk lagi dan lagi.
"Wow! Tante Tita hebat amat!"
Penasaran Tita melirik ke samping untuk melihat ekspresi kocak bocah itu. Ia tidak bisa melirik lama-lama, apalagi menanggapi celoteh Nata meski bocah itu tak henti bicara sepanjang perjalanan Tita mengantarnya. Bukan Tita sok patuh pada aturan lalu lintas, tapi dia ini tegang bukan main. Menyetir mobil Tita memang bisa, tapi tidak sering. Belum lagi yang dibawa mobil keramat, kebat-kebitlah hatinya.
Selesai dengan Nata, masih ada Waha. Begitu memastikan Nata masuk ke tempat les dan tidak bisa kabur, Tita bergegas kembali ke Nada Pesona untuk menjemput Waha. Tanggapan yang Tita dapatkan dari Waha tidak jauh berbeda dengan reaksi Nata, hanya saja dalam versi lebih tenang.
"Mbak Tita? Papa mana?" Remaja tanggung ini masuk dengan santainya ke mobil sang ayah tanpa peduli siapa yang mengemudi. Ia tadi sudah menerima pesan kalau akan ada yang menggantikan ayahnya menjemput mereka di sekolah.
"Papa kamu lagi sibuk."
"Mbak yang anter aku les?"
"Iya."
"Tadi jemputin Nata?"
Rasanya seperti deja vu bagi Tita. Nata juga bertanya demikian persis ketika Tita mengantarnya menuju tempat les, sekarang Waha pun sama.
"Hm."
"Anter dia les?"
"Hm."
"Jemput Mbak Ersa?"
"Iya."
Selesai menurunkan Waha, Tita menunggu bak sopir di parkiran Taruna Sport Center. Rupa-rupanya anak-anak Erwan ini punya hobi kabur dari les, hanya bedanya Nata yang masih kecil tidak senekat Waha yang sudah remaja. Kalau Nata, cukup dilempar ke tangan guru les, masalah selesai. Lain dengan Waha yang bisa diam-diam menghilang. Jadilah Tita menunggu di mobil sambil memasang mata seawas mungkin.
Selesai menjalankan tugas jadi sopir merangkap centeng, Tita kembali lagi ke Nada Pesona bersama Waha untuk menjemput Ersa. Kondisi saat ini Tita benar-benar persis sopir, duduk sendiri di depan, sementara Waha di belakang. Alasan remaja itu katanya sang kakak pasti akan menendangnya ke belakang juga nanti. Dan ternyata memang benar.
Begitu melihat mobil ayahnya mendekati gerbang sekolah, tanpa melihat-lihat dulu, Ersa langsung membuka pintu depan dan masuk begitu saja. Untung Waha sudah duduk di belakang.
"Kak Tita?" Ersa menatap bingung ketika melihat sangg penjemput.
"Hai, Sa!" sapa Tita canggung. Gadis ini seperti keheranan melihatnya.
"Ngapain di sini, Kak?"
"Jemput kamu.” Tita meringis. “enggak baca WA dari papa kamu?"
"Nomor Papa lagi aku block," sahut Ersa malas. "Kenapa Kak Tita yang jemput?"
"Papa kamu lagi sibuk." Lagi, Tita mengulang jawaban yang sama untuk ketiga kalinya. Omong-omong Tita baru sadar ketiga kakak beradik ini memanggilnya dengan sebutan berbeda. Lain si bungsu lain si tengah lain pula si sulung.
"Alesan basi. Kak Tita kok mau-maunya sih disuruh-suruh Papa?"
"Kan aku kerja sama papa kamu, Sa." Sikap ketus Ersa tidak membuat Tita tersinggung, ia malah maklum. Wajar remaja-remaja seusia ini berbicara sesukanya, dengan nada yang mungkin sebagian orang terdengar tidak santun, belum lagi keberaniannya mengungkapkan ketidaksukaan. Tita hanya menanggapinya dengan santai. "Lagian kalian juga kenapa ngerjain asisten terus? Sampe pada out barengan gitu."
Seketika Ersa nyengir. "Sengaja. Biar Papa tau rasa. Dikira kita cuma butuh duit sama pengasuh kali."
Sadar ini bukan ranahnya, Tita secepatnya menggeser pembicaraan. "Kalian pada mau makan apa?"
"Bentar, bentar!” seru Ersa terkejut. “Ini Kak Tita selain disuruh jemput, suruh beliin makan juga?"
"Hm."
"Suruh awasin kita juga?"
"Hm. Tapi plis jangan ngerjain aku, oke?"
"Beres. Bisa diatur." Ersa mengedik santai.
"Jadi mau makan apa?"
"Aku sih pengin burger sama kentang goreng. enggak tau tuh Waha mau apa." Ersa segera memutar tubuh ke belakang. "Wa, mau makan apa lo?"
Tidak ada balasan.
Tita melirik dari spion tengah dan melihat telinga Waha tersumbat earphone. “"Kayaknya enggak denger deh."
"Wa!" panggil Ersa lebih keras.
Masih tidak ada balasan.
"WAHA!" teriak Ersa disertai geplakan keras di paha sang adik.
Waha melotot kesal. "Apa sih?!"
"Mau makan apa lo?"
"Pizza," balasnya singkat.
Tita mengembuskan napas penuh penyesalan. Padahal ia sendiri sudah membayangkan lezatnya saus keju cocolan pizza yang lumer di mulut, atau gurihnya kentang goreng yang garing-garing alot. "Sayangnya papa kalian udah wanti-wanti enggak boleh junk food."
"Tuh kan, rese!" protes Ersa sebal.
Waha mencebik. "Pasti bilang harus makanan sehat.”
"Hm. Padahal aku juga doyan tuh junk food. Enak," sahut Tita.
"Udah aja kita beli itu!" bujuk Ersa.
Tita mulai tergoda untuk melanggar janjinya. "Kalo papa kalian tau?"
"Enggak akan. Selama jejaknya enggak ada, Papa enggak akan tau," hasut Ersa.
Dan Tita pun semakin termakan bujuk rayu Ersa. "Caranya?"
Kapan lagi bisa makan enak sepuasnya tanpa memikirkan harus keluar uang sendiri?
"Kita makan di halaman, biar enggak ada jejak baunya. Terus sampahnya, buang ke tetangga. Beres," jawab Ersa.
"Ide bagus.” Tita mengangguk setuju. “Lagian dipikir-pikir kata siapa burger enggak sehat? Karbonya ada, dagingnya ada, sayurnya ada. Pizza juga sama."
"Mantaps!" sambut Ersa kesenangan.
"Tinggal tambah buah aja supaya kita enggak dosa-dosa amat," ujar Tita.
"Beres! Tambah s**u juga boleh. Kita turutin," timpal Waha.
Heran! Kalau urusan membantah perintah Erwan, mereka bisa kompak juga.
"Tapi Nata bisa diajak kerja sama?" Tiba-tiba Tita teringat bocah kecil yang pastinya polos itu.
"Tenang.” Ersa memasang wajah licik. “Nata sih tinggal disogok pake komik horor juga beres."
Dan sore itu, terlaksanalah niat busuk mereka dengan lancar. Keempatnya menikmati makanan penuh dosa di halaman belakang, mencegah aromanya mengendap di sudut-sudut rumah, kemudian menghilangkan barang bukti dengan sangat sempurna. Perut kenyang, hati senang, semua aman. Apalagi untuk Tita, nilai kebahagiannya bertambah mengingat semua itu gratis.
Puas makan, kantuk menyerang. Tita mulai terkantuk-kantuk di sofa ruang keluarga Erwan yang empuk dan nyaman. Sebelum tertidur, Tita sudah berhasil memaksa ketiga anak Erwan berjanji untuk tidak melanggar perintah ayah mereka. Saat ketiganya pamit ke kamar masing-masing untuk mandi, Tita pun terlelap. Ia baru terbangun lepas maghrib. Tita terkejut ketika mendapati rumah Erwan yang gelap dan sunyi. Pikiran buruk langsung menyerangnya. Kaburkah ketiga anak nakal itu?
Cepat-cepat Tita berlari menuju lantai atas untuk memeriksa kamar mereka satu per satu, dimulai dari Nata. Tita mengetuk cepat lalu langsung membuka pintu kamar bocah itu.
"Nata?" Tita sempat celingukan di depan kamar, ketika tidak ada jawaban, ia melangkah masuk. "Tante masuk ya!"
Tita melangkah hati-hati di kamar Nata, mencari saklar lampu yang entah di mana. Baru beberapa langkah, Tita menjerit. "EUSLEUM!"
Ada sesuatu yang bergeser keluar dari kolong tempat tidur dan melilit kakinya. Warnanya gelap dan berbulu. Namun, jeritan Tita disambut tawa terpingkal-pingkal dari oknum di lantai.
"Nata?" ujar Tita sebal ketika mengenali suara tawa yang nakal itu.
Bocah itu beringsut bangun, melepas entah kostum apa yang dikenakannya, sambil masih terus tertawa. "Tante lucu banget, sih! Masa kayak gini aja takut."
"Enggak lucu, Nata!" omel Tita.
"Sorry, Tante." Seketika wajah Nata berubah takut. Ia berjalan menuju saklar lampu dan menyalakannya.
Melihat perubahan sikap bocah itu, Tita jadi iba. "Kamu lagi apa?" tanyanya dengan nada lebih bersahabat.
"Main."
"Kenapa ada di kolong ranjang?"
"Lagi pura-pura jadi pembunuh berantai yang ngumpet di kamar korbannya. Nunggu waktu yang tepat buat beraksi.” Suara Nata berubah misterius dan membuat suasana terasa menegangkan dalam sekejap. “Pas korban masuk ke kamar, si pembunuh tarik kaki kirinya, terus yang kanan ditebas pake kapak, terus-"
"STOP!” seru Tita cepat-cepat. “Jangan dilanjut! Tante enggak mau denger."
"Takut ya?"
"Iya."
"Ih, udah gede penakut! Malu!" Lupa sudah Nata dengan rasa takutnya pada Tita yang muncul hanya sesaat tadi.
"Biar. Lagian kamu kenapa sukanya cerita horor gitu, sih? Kenapa enggak cerita-cerita normal aja?"
"Cerita normal itu kayak apa?"
"Apa, ya?" Ditanya begitu Tita juga bingung.
"Kayak Spongecake, Nikelumutan, Doraeling, Teletubles gitu maksud Tante?"
"Ya, mungkin."
"Enggak level!"
"Idih!" Tita menggeleng heran. "Tante mau keluar aja, ah! Kamu jangan aneh-aneh lagi."
"Nanti masuk lagi ya, Tante!" seru Nata sebelum Tita menghilang.
"Ogah!" balas Tita. Sekarang waktunya memeriksa keadaan si anak tengah yang kamarnya persis berseberangan dengan kamar Nata. "Coba kita liat, lagi apa si Waha."
Tita mengetuk kamar Waha, menunggu beberapa saat, mencoba mengetuk lagi, tapi tidak ada sahutan. Khawatir dan juga curiga, Tita langsung membuka pintu dan mengintip ke dalam. Ah! Ternyata bocah itu sedang berbaring santai dengan ponsel dan earphone. Pantas saja tidak mendengar panggilan Tita.
Tita berjalan masuk, berniat memastikan bahwa Waha tidak melanggar aturan. Namun, begitu langkahnya hampir tiba di dekat tempat tidur Waha, Tita kembali menjerit. "EUSLEUM!"
Refleks tangannya menyambar guling di dekat Waha dan memukul kepala remaja itu. Seketika Waha gelagapan.
"Mbak? Ng …, mau ngapain?"
"Kamu lagi apa tadi?"
"Ng …, itu …," ujar Waha terbata.
"Waha, coba bilang kamu lagi apa tadi?" Sikap Tita kini terlihat serius dan galak. Apa yang tadi dilihatnya lebih parah dari cerita Erwan.
"Lagi video call."
"Sama?"
"Pacar aku."
"Terus kenapa pacar kamu …, naked?"
"Aku yang minta mau liat."
Tita mendelik horor. "Mau ngapain?"
"Penasaran aja sama bentuk perempuan."
"Kenapa enggak …?"
"Apa, Mbak?"
"Enggak jadi."
"Kenapa enggak liat di internet maksud, Mbak?"
"Hm."
"Dilarang sama Papa. Inet, majalah, buku, semua dilarang."
"Terus itu apa?" Tita menunjuk sesuatu di tangan Waha yang berbentuk bulat berwarna krem.
"Squishy."
"Buat?"
"Mmm … biar bisa ngebayangin sensasinya."
"Oh …, oke …." Pahamlah Tita maksud Waha.
"Mbak enggak akan bilang ke Papa, kan?"
"Ng … iya." Bagaimana juga caranya bercerita pada Erwan? Mengingatnya saja Tita terlalu malu. "Kalo gitu Mbak keluar dulu ya."
Keluar dari kamar Waha, Tita hanya bisa geleng kepala. Benar-benar ajaib anak-anak Erwan. Lalu tiba-tiba Tita dihinggapi kecurigaan parah. "Penasaran si Ersa ngapain. Dedenya aja udah ajaib, gimana kelakuan biangnya."
Tita berjalan menuju kamar Ersa dan tidak menemukan gadis itu. Pikiran buruk langsung menghinggapi Tita, kaburkah Ersa saat ia tertidur tadi? Cepat-cepat Tita mengusir kecurigaannya sendiri. "Tapi tadi dia ijin mau ajak temennya ke sini kan. Pasti mereka di sini, tapi di mana ya?"
Setelah berkeliling lantai atas dan bawah, akhirnya Tita menemukan suara-suara percakapan dari arah halaman belakang. "Ah! Itu di kolam.”
Hati-hati Tita mendekat ke arah kolam. Hanya ingin melihat keadaan, tapi tidak ingin mengganggu. Dari kejauhan ia bisa melihat beberapa anak gadis sedang duduk di sekitar kolam. Ketika jaraknya sudah sangat dekat, mata Tita segera membulat dan lagi-lagi ia menjerit. "EUSLEUM!"
Di tepi kolam, duduklah Ersa bersama satu temannya. Bersebelahan, sangat rapat, dengan kaki terjulur ke dalam air.
Mendengar teriakan Tita, Ersa segera melambai memanggil gadis yang berdiri mematung di sisi kolam berseberangan. "Kak, sini gabung!"
Panggilan Ersa menyadarkannya. Sontak Tita berjongkok di tepi kolam dan menatap horor ke dalam air. "Hape gue!"
Rupanya bersamaan dengan jeritannya tadi, ponsel yang sedang Tita genggam meluncur bebas ke dalam kolam renang.
"Yah, kok bisa nyemplung sih, Kak?"
Pake nanya lagi! Gimana gue enggak tremor liat lo pada cipokan! Ini anak si Herwan kenapa enggak ada yang beres sih? Sayangnya Tita hanya bisa merutuk dalam hati.
Khawatir dengan Tita yang diam saja, Ersa segera berdiri, memutari kolam, lalu mendekat. "Kak Tita?"
"Eh? Oh! Tangannya tremor mendadak," sahut Tita gelagapan. Setelah berhasil menguasai diri, Tita menarik tangan Ersa lalu berbisik. "Sa, aku mau nanya, boleh?"
"Apa, Kak?"
"Kamu, sama mereka?" Tita bertanya sambil menatap was-was pada tiga teman perempuan Ersa.
"Oh …, cuma iseng aja pengin coba sensasinya," sahut Ersa cuek.
"Hah?" Tita melongo bodoh.
"Kalo sama cowok kan bahaya, nanti melendung. Kalo sama cewek kan aman."
Tita meneguk liurnya. "Kamu suka sama mereka?"
"Sukalah! Mereka temen baik aku."
"Naksir?"
Ersa tergelak kencang. "Enggaklah, Kak! Aku masih doyan cowok."
Can't relate sama anak jaman now. Tita menggeleng. Bisa-bisanya sesama perempuan mencoba sensasi saling berpelukan, saling raba, saling cup-cupan di bibir, seolah mereka itu lawan jenis. Membayangkannya saja Tita bergidik sampai ingin muntah.
***