9. Titisan Kebo

1872 Kata
"Akhirnya pulang juga." Desahan lega lolos dari bibir Tita ketika melihat Erwan turun dari mobilnya. Ia segera berdiri menyongsong pria itu. "Kenapa kamu kayak lega sekali lihat saya?" Antara curiga dan geli Erwan melihat ekspresi Tita. "Gapapa, Mas. Pengin cepet pulang aja." Sejak satu jam lalu, Tita sudah duduk di teras, siap melesat pulang jika Erwan tiba. Sayangnya sang bos tidak kunjung pulang sampai waktu saat ini hampir menunjukkan tepat tengah malam. "Anak saya pada berulah?" Hal itulah yang pertama ingin Erwan ketahui. Tita hanya meringis, tidak mengangguk atau menggeleng. "Ngapain mereka?" Erwan langsung curiga. "Ceritanya besok-besok aja ya, Mas. Tita mau pulang," elak Tita cepat. Ia benar-benar tidak tahu bagaimana cara menyampaikan ulah ketiga anak bosnya yang menurut Tita terlalu luar biasa. "Kenapa buru-buru?" cegat Erwan. "Mules, Mas." Dusta! Erwan menaikkan alisnya. "Memang di rumah saya toiletnya kurang?" "Saya butuh closet jongkok, Mas," kilah Tita yang langsung melesat menghindari Erwan dan setengah berlari menuju gerbang.  Sayang Erwan tidak kalah gesit. Ia langsung menarik ransel Tita hingga langkah gadis itu terhenti. "Jangan bohong kamu! Bikin alasan yang enggak-enggak aja."  "Saya pengin pulang aja, Mas. Udah malem banget," ujarnya dengan nada memelas, tapi masih berkeras mempertahankan posisi berdirinya yang siap lari ke pintu gerbang. "Justru karena sudah terlalu malam saya enggak akan izinkan kamu pulang. Besok pagi saja saya antar." Dan dengan seenaknya Erwan menarik ransel Tita hingga gadis itu terseret mundur mengikutinya masuk ke dalam rumah. Sadar bahwa ucapan Erwan benar adanya, Tita segera mengganti strategi. Ia berbalik badan dan menatap sebal pada sang bos. "Mas kelamaan, sih!" "Kamu nyalahin saya?” Erwan mengenyit jengkel. “Enggak sadar saya ini repot karena kamu juga?" "Emang Mas ngurusin apa, sih? Mas kan enggak kasih tau saya," balas Tita berani. "Saya itu cari cara supaya kita enggak harus ganti rugi DP tiga kali lipat." Seketika Tita tertarik dan membatalkan niatnya kabur, bahkan memasang sikap serius mendengarkan Erwan. "Terus terus?" "Saya akhirnya temui si fotografer centil itu. Saya ancam batalkan kontrak karena ada pasal tentang melakukan tindakan yang menyebabkan kekacauan dan sebagainya. Saya bilang kalau kita dituntut, saya akan teruskan tuntutannya juga ke dia." "Terus?" Wajah Tita mulai sumringah. "Dia takut dan setuju bakal putus sama cewek kegatelan itu." "Jadi udah beres?" Harap-harap cemas hati Tita. "Hm." Erwan mengangguk. "Gitu aja?" tanya Tita tidak percaya. "Hm."  "Kok, Tita enggak kepikiran ya?" Tak disangka bosnya ini ternyata cerdas juga.  "Karena otak kamu cuma seadanya, Ta," ejek Erwan kejam sambil berbalik badan berniat berjalan menuju lantai atas.  "Mas!" Refleks Tita menghajar punggung Erwan kuat-kuat. Seketika langkah Erwan terhenti ketika merasakan perih di punggungnya. Ia kembali berbalik menghadap Tita dengan mata mendelik tidak percaya. "Kamu berani pukul saya?”  "Enggak sadar, Mas. Maap," sahut Tita tanpa rasa berdosa. “Saya suruh kamu tidur di depan ya!" ancam Erwan. Tita mencebik. "Siapa juga yang mau tidur di kamar Mas?"  "Loh, siapa bilang saya mau ajak kamu tidur di kamar saya?" balas Erwan heran. "Tadi?" Tita mengerjap bodoh. "Maksud saya di depan itu ya di luar!" Dengan sadis Erwan mengedik ke pintu. "Eusleum!" umpat Tita pelan. "Nah! Kata itu lagi! Kasih tahu saya apa artinya." "Emang saya ngomong apa ya, tadi?" Gadis itu berlagak pilon. "Enggak tahu! Kalau tahu mana saya tanya!" sahut Erwan keki. Asli dia penasaran sangat. "Ya, berarti saya enggak ngomong apa-apa," elak Tita santai. "Ta, di luar dingin loh!" desak Erwan dengan nada mengancam. "Iya tau. Saya bisa jalan kaki sampe Kuningan biar tetap hangat." Ditantang begitu Tita malah nekat. Sekalian ia malah berjalan menuju pintu untuk keluar.  Cepat-cepat Erwan menyambar lagi ransel Tita sebelum gadis ini benar-benar melaksanakan niatnya, tapi meleset, yang terpegang malah kerah baju gadis itu. "Jangan aneh-aneh! Tidur di kamar Ersa sana!" Refleks Tita mundur agar lehernya tidak tercekik lebih lama lalu memutar tubuh menghadap Erwan. "Nggak mau, Mas!" Tita bergidik cepat dan refleks menutupi mulutnya. Terbayang di benaknya kejadian di kolam tadi, dan Tita takut disosor Ersa.  "Loh, kenapa?" Erwan jadi curiga melihat reaksi penolakan Tita. "Gapapa." "Ya sudah, di kamar Nata saja kalau gitu," usul Erwan. "Enggak usah, Mas. Makasih." Lagi-lagi Tita bergidik. Dia tidak siap dikerjai sepanjang malam dengan berbagai adegan horor ciptaan Nata. "Kamu kenapa, sih?" Kecurigaan Erwan semakin bertambah. "Gapapa, gapapa." "Enggak mungkin di kamar Waha, remaja kayak dia lagi nakal-nakalnya," gumam Erwan bingung. "Iya! Jangan, jangan!" seru Tita panik sambil refleks menutupi bagian depan tubuhnya. Hiy! Bisa-bisa benda berharganya bernasib seperti squishy di tangan Waha tadi. Erwan mengangkat bahunya. "Jadi, tinggal kamar saya yang tersisa." Tita meringis. Ini yang paling parah. Bisa-bisa Erwan segera memiliki anak keempat. "Mas enggak ada kamar tamu gitu?" Erwan melotot tidak percaya. "Kamu pikir saya kebanyakan duit?"  "Kalo asisten biasa tidur di mana?" "Ya, di rumah masing-masing. Enggak ada pilihan, Ta. Cuma ada empat kamar di sini." "Saya tidur di sofa aja, deh." "Yakin? Enggak takut diganyang Waha?" goda Erwan menakuti. "Mas!" jerit Tita ngeri. Erwan terkekeh puas. "Terserah kamu." "Ya, udah saya di kamar Mas, tapi Mas di luar," putus Tita akhirnya. Erwan menggeleng tidak percaya. "Sopan banget kamu, Ta." Namun, Erwan toh tetap menuruti putusan Tita. Lagi pula mana mungkin juga Erwan segegabah itu. Dia mungkin sudah lama jadi duda, tapi akal sehatnya masih berfungsi. Akhirnya, Erwan yang mengalah dan tidur di kamar Nata. *** Tidur nyenyak Tita terganggu oleh rasa gatal di telinganya. Ia masih ingin tidur, menikmati kasur empuk milik Erwan, tapi gangguan itu tak kunjung berakhir. Begitu membuka mata, sontak Tita menjerit. "Mas Erwan!"  Dilihatnya sang bos sedang berdiri di dekat tempat tidur, bersandar ke jendela sambil memandanginya. Erwan tersenyum jail, sementara barang bukti kejailannya sudah raib. Jadi Tita tidak tahu Erwan mengganggunya dengan kemoceng tadi. "Ngapain bangun tidur teriak-teriak, sih?" Erwan mendengkus heran. "Mas sih, bikin kaget!" "Kok, malah salahin saya? Salah sendiri tidurmu kebo banget," balas Erwan santai. Sejak tadi Erwan sudah keluar masuk kamarnya untuk mengambil pakaian, charger, dan beberapa keperluan lain. Terakhir, Erwan sengaja diam menunggui Tita sambil sesekali menggelitik telinga gadis itu dengan kemoceng. Tita segera beringsut bangun sambil mengucek matanya. "Jangan samain saya sama kebo, Mas." "Kenapa? Kamu tersinggung?" sindir Erwan geli. "Bukan. Saya takut kebonya yang tersinggung." "Ngawur kamu!" "Bener loh, Mas! Kebo kan rajin. Aneh orang suka ngatain orang kebluk kayak kebo." "Ada benarnya juga kamu."  "Terus Mas Erwan ngapain di sini?” tanya Tita curiga. “Kan ini kamar saya.”  “Tapi kan enggak harus berdiri pelototin saya juga, Mas.” Tita menggerutu pelan, lalu tiba-tiba berkedip jail. “Terpesona ya, sama Tita?” “Hm.” Tak disangka Erwan mengangguk.  “Eh?” Reaksi jujur Erwan membuat Tita salah tingkah. “Saya penasaran lihat wajah kamu kalau lagi tidur tuh seperti apa. Ternyata menakjubkan.” Kini pipi gadis itu bersemu merah. “Bangun atau tidur, jelekmu sama, Ta.” “Mas Erwan!” seru Tita sebal. Ternyata bosnya hanya berniat mengejek saja. Erwan tertawa puas melihat kejengkelan Tita. “Bangun, Ta! Udah siang ini. Kamu enggak mau pulang?” “Emang saya boleh pulang, Mas?” “Saya enggak ada niat larang kamu pulang. Tapi kalau kamu mau terus di sini juga saya enggak keberatan,” balas Erwan sekenanya. “Mas ini nggak nyambung terus, deh!” sungut Tita jengkel. Kalau sedang seperti ini, pembawaan Erwan jadi sangat santai dan Tita bebas bersikap sesukanya.  “Salahmu ngomongnya enggak jelas." “Maksud Tita, emangnya Tita enggak perlu ngantor hari ini?” Erwan mengangkat kedua alisnya. “Hari ini hari apa, Ta?” “Rabu.” “Kamu enggak mau ambil jatah libur?” sindir Erwan. “Oh, iya!” Tita langsung menepuk jidatnya. Sadar kalau hari ini adalah waktunya mereka libur. Maklum, jadwal libur mereka memang bukan seperti orang normal, karena akhir pekan selalu penuh acara. “Enggak perlu menarik perhatian saya dengan berlagak rajin gini, Ta. Tanpa kamu usaha mati-matian juga memang dasarnya kamu sudah menarik,” ejek Erwan. “Sesuka Mas aja, deh!” balas Tita lelah. “Eh, sekarang jam berapa, Mas?” “Sembilan.” “Mati!” Tita melompat panik. “Ngapain mati?” “Tita bisa digorok sama Gin, Mas.” “Kenapa begitu?” “Gin paling enggak suka kalo Tita pulang telat tanpa ngabarin. Nah, ini bukan telat lagi, malah enggak pulang.” “Kamu enggak kasih kabar?” “Hape Tita tinggal kenangan, Mas. Terjun bebas ke balong.” “Balong?” Erwan mengernyit bingung. “Heeh. Kolam di halaman belakang.” “Itu kolam renang, Tita! Seenaknya kamu bilang balong!” protes Erwan gemas. Kolam renangnya yang indah malah dibilang balong. “Abis lantainya gelap banget sampe enggak keliatan apa-apa. Hape Tita dicari-cari sampe enggak ketemu.” “Handphone kamu beneran masuk ke kolam?” “Iya, Mas! Ya, kali Tita becanda!” “Kok, bisa?” Gawat! Tita keceplosan. Erwan tidak boleh sampai tahu kejadian di kolam semalam. Untung Tita bisa cepat berkelit. “Kaget abis liat penampakan.” “Sembarangan kamu! Ya, sudah! Nanti saya minta orang untuk carikan handphone kamu.” “Percuma, Mas," dengkus Tita skeptis. "Udah jadi bangke juga. Udah semaleman rendeman di air gitu.” “Kamu masih ada handphone lain?” “Mas nanya apa ngehina?” “Ta, saya serius lagi nanya.” “Cuma punya itu satu-satunya, Mas. Itu juga baru lunas dua bulan lalu,” ujar Tita lemas.  Erwan menggeleng tidak percaya. “Memang kamu ini nasibnya sial terus. Heran saya.” “Tambah dekat-dekat Mas Erwan, tambah sial saya," gumam Tita jengkel. “Saya dengar, lho!” *** "Bagus! Kelayapan terus!"  Itulah sambutan yang Tita terima ketika akhirnya ia kembali ke apartemen Gin.  "Apa, sih?" balas Tita berlagak tidak paham. Ia berusaha menghindari tatapan Gin yang berdiri menghalangi jalannya. "Ke mana aja lo baru pulang jam segini?" Wajah Gin terlihat garang saat ini. "Muka lo serem amat, Gin. Abis nelen apaan, sih?" Tita masih coba bercanda, padahal ia tahu Gin pasti sangat marah.  Sejak awal Gin menawarkan tumpangan, tidak banyak syarat yang sahabatnya berikan. Bahkan sangat sedikit, dan salah satunya adalah selalu mengabari jika akan pulang telat.  "Sha, jawab gue! Lo tau kan aturan yang gue buat kalo lo mau tinggal di sini?" tanya Gin tidak main-main. "Iya, iya! Sori," ujar Tita menyesal. "Jadi lo ke mana?" Gin masih enggan beranjak dan terus menghalangi langkah Tita. "Gue semalem tidur di rumah Mas Erwan." "Hah?" Gin mendelik terkejut. "Dia minta tolong gue jagain anaknya. Dia ada kerjaan." Gin menggeleng malas. "Lo dimodusin mau aja, Sha." "Abis gimana lagi, daripada gue kena potong gaji gara-gara bayar ganti rugi masalah DP itu." "Jadi si Herwan kemaren beresin urusan itu?" "Hooh." "Udah beres?" "Katanya sih udah." Wajah garang Gin sudah hilang, nada bicaranya juga kembali santai. Ternyata Tita tidak macam-macam. "Terus lo kenapa enggak ngabarin apa-apa ke gue?" "Hape gue nyemplung ke kolam renang." "Hah?" Gin melongo. "Lo ngapain sampe hape nyemplung gitu?" "Syok gue liat kelakuan anaknya Mas Erwan." Tita mengatakannya sambil membuat gerakan menguncupkan jari-jarinya lalu menyatukan kedua tangannya di udara. "Kissing?" tebak Gin santai. "Hooh." "Umur berapa?" "17." "Kuno lo!" sembur Gin. "Wajar kali umur segitu!" "Dih! Gue juga enggak sok suci, Gin. Tapi lo bayangin, ini ciumannya cewek sama cewek." "a***y!" Seketika Gin tersedak. "Kan! Gimana enggak mendadak bengek gue?" Tiba-tiba wajah Gin berubah jail. "Cantik enggak anaknya?" "Cantik, sih. Kenapa?" "Sini kenalin sama gue. Biar gue ajar jadi lurus." "Enggak usah aneh-aneh ya, Gin!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN