Chapter 14

939 Kata
"Wil, kamu habis darimana? Jangan katakan kalau kamu baru menemui mantan kekasihmu?" Emily menajamkan mata pada suaminya yang terlihat begitu lesu. "Aku tidak mau berdebat denganmu, Emily." William sedang dalam keadaan kacau, saat dirinya baru saja mendapatkan penolakan dari Atha, berulang-ulang. "Kamu nggak perlu menghindar, Wil. Aku bisa lihat kok, kamu pasti abis nemuin dia kan? Ngaku sama aku, Wil." Emily terus mendesak agar William mau angkat bicara. "Emily, bisa tidak kamu jangan membuatku semakin pusing? Tidakkah cukup kamu hancurkan kebahagiaanku. Emily, kamu pikir aku enggak tau, kalau kamu sengaja menjebak ku agar aku menikahi mu, iyakan? Aku sudah mengumpulkan sejumlah bukti, kamu sengaja menuangkan obat penyulut gairah padaku. Aku tau itu, Emily. Tapi, aku tetap menikahi mu, karena aku sadar bahwa yang ada di dalam rahimmu itu adalah anakku, jadi berhenti menyudutkan ku! Aku ingin kita pisah, setelah anak itu lahir." Emily bergeming, ia benar-benar tidak menyangka. William ternyata sudah mengetahui hal itu. William bahkan akan menceraikannya, saat bayi mereka lahir. "Wil, kamu ngomong apa? Aku mana mungkin menjebak kamu, jelas-jelas kamu mabuk dan menjadikanku pelampiasan." Raut wajah Emily berubah pucat karena gugup. Sementara William diam-diam menyelidiki hal tersebut. Bahkan saat keduanya baru resmi menikah. William mengetahui semua kebenarannya. Karena itu dari semenjak mereka menikah, William tidak sudi menyentuh Emily lagi. Selama pernikahan, William hanya menjaga bayi yang ada dalam kandungan Emily, suka tidak suka, bayi itu tetap anaknya. William memang sudah mengingatnya, bahwa memang ia melakukan hal itu pada Emily, menanam benih di rahim Emily. Walau bagaimanapun dia masih memiliki hati, mana mungkin ia tega menelantarkan dan tidak mengakui darah dagingnya sendiri. Meskipun dirinya hancur karena harus kehilangan kekasih yang paling ia cintai, Athanasia. "Aku tetap akan menceraikan mu, Emily." Wanita yang saat ini sedang mengandung, usia kandungannya sudah menginjak tujuh bulan kandungan. Tiba-tiba, Emily menyentuh perutnya, "Wil, kamu tega banget sama aku. Perutku sakit, ah!" William tidak mendengarkan ucapan dan rintihan Emily, hatinya sedang kacau. Emosinya tidak stabil, karena kejadian di kantor Atha tadi. "Wil, perutku beneran sakit. Tolong aku, Wil." Emily masih memegangi perutnya, dengan peluh yang membasahi wajah pucatnya. "Ah, William tolong!" Ia menjerit hingga William pun terkesiap menoleh kearah Emily yang sudah tersungkur. "Kamu beneran sakit?" William memegangi perut Emily yang mengencang, ada darah segar yang mengaliri betisnya. "Ya Tuhan! Darah!" Emily pendarahan, ia menjerit ketakutan. William kalut dan panik, ia mengira bahwa Emily hanya berpura-pura. Tapi ternyata, ada darah, "kamu kenapa? Emily!" "Nggak tahu, Wil. Sakit!" Ia memekik dengan wajah penuh keringat dan tubuh gemetar. Secepatnya William langsung menggendong dan membawa Emily ke rumah sakit. Di dalam mobil Emily terus memegangi perutnya yang terasa begitu melilit. Seperti ada yang akan menerobos keluar dari inti tubuhnya. "Wil, aku akan mati!" William menyetir sambil terus menatap ke arah istrinya, "kamu diam, Emily. Jangan bikin aku bertambah panik!" Sentaknya. Emily pun hanya dapat menangis, menahan rasa sakitnya. "Sebenarnya kamu sudah waktunya melahirkan apa belum?" tanya William. "Seharusnya belum! Aku tidak tahu, Wil. Sakit!" William mengusap wajahnya kasar, ia tidak tahu kalau akan terjadi hal seperti ini. Dia juga tidak mau kalau sampai terjadi sesuatu dengan bayinya. Anak itu tidak bersalah, anak itu tidak pantas menderita, atas kelakuan Emily. Sesampainya di rumah sakit, Emily langsung di tangani oleh dokter. Dokter sempat memintanya untuk masuk, mendampingi Emily, tapi William menolaknya. William menunggu depan perasaan cemas. Ia tidak mau anaknya terluka. Walau harus meninggalkan Emily sekalipun, ia sudah berjanji pada dirinya sendiri. Untuk tetap mengurus anaknya dari Emily. Ia ingat semasa kecilnya, dahulu orang tua asuhnya di panti asuhan. Menemukan dia tergeletak di depan pintu panti asuhan tersebut, mungkin orang tuanya tidak menginginkan kelahiran dirinya, sehingga ia dibuang. William tidak ingin hal itu terjadi pada anaknya, meskipun hubungannya dengan Emily adalah sebuah rencana licik Emily terhadapnya. "Tuan William, bisa ke dalam sebentar. Dokter ingin berbicara dengan Tuan," ucap salah seorang suster. William tersadar dari lamunannya, "baik, saya akan segera masuk," sahutnya. Saat dia masuk menemui dokter. Emily masih dalam keadaan tidak sadar. "Dok, bagaimana kondisi kandungan istri saya?" "Tuan, istri anda terpaksa harus mengalami kelahiran dini atau prematur. Kandungan istri anda baru berusia 31 minggu, saat ini bayi Tuan sedang menjalani masa perawatan, karena kondisinya belum stabil, masih terlalu kecil dan butuh perawatan intensif." Dokter tersebut memberikan selembar kertas, berisi laporan tindakan yang baru saja dilakukan oleh Dokter tersebut terhadap Emily. "Maaf Tuan William, kami pihak dokter harus bertindak cepat, sebelum bayi Tuan tidak dapat di selamatkan. Beruntung, karena semuanya masih bisa di selamatkan, istri dan bayi Tuan, hanya saja saya harap agar Tuan dapat memperhatikan kondisi psikis istri Tuan William, ibu yang baru saja mengalami hal ini pasti sangat rentan, emosinya juga tidak stabil." William menahan amarahnya, ia merasa Emily tidak dapat menjaga kandungannya. Sampai akhirnya bayinya harus lahir sebelum waktunya. William tidak peduli dengan menjaga perasaan Emily, yang ia pikirkan hanyalah kondisi bayinya. "Baik, tolong lakukan yang terbaik untuk bayi saya, Dok," ujar William. "Kami akan berusaha yang terbaik, Tuan." Jawab Dokter tersebut. William menghampiri Emily, kondisinya begitu lemah. Ia tidak habis pikir, kenapa Emily tega menjebaknya, apa sampai sebegitunya cara Emily demi dapat menjadi istrinya, batin William mengutuk tindakan terkutuk wanita yang sudah melahirkan buah hatinya itu. "Emily, aku tidak suka dengan perbuatannmu, tapi bayi itu, dia tidak bersalah. Aku tetap akan mengakuinya, menjaganya dan merawatnya. Maaf, tapi aku tidak bisa mempertahankan pernikahan kita. Aku tidak mungkin mencintai wanita yang licik sepertimu, Emily." Wanita itu belum sadar, karena tadi ia harus kehilangan banyak darah, sehingga ia juga harus menjalani perawatan yang intens. William masih tidak tega mendiamkan Emily, walau nantinya ia tetap harus meninggalkan Emily, entah apapun resikonya, termasuk kehilangan kedudukan di posisinya sekarang. Karena semuanya adalah kuasa papa mertuanya, yaitu orang tua Emily. _____________
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN