"Wil, aku hamil."
Emily menatap William yang sedang berdiri dengan wajah pucat dan mata membulat. "Apa? Apa kamu bilang, hamil?"
William menggeleng, mana mungkin Emily hamil. Bagaimana mungkin, setelah satu bulan yang lalu mereka berhubungan. Lalu sekarang, ini semua tidak mungkin, kan? Batin William menolak kenyataan.
"Kamu nggak percaya, Wil? Ini anak kamu, sumpah, aku cuma melakukan hal itu sama kamu. Tolong, kamu harus tanggung jawab, William. Nikahi aku,"
Dengan raut yang tidak dapat di gambarkan, suasana hati yang tak dapat di jelaskan saat ini. William tidak habis pikir, kenapa semuanya menjadi sangat rumit seperti sekarang. Setelah satu bulan ini dia tidak memberi kabar pada Athanasia, dan kenyataan yang begitu menyesakkan lagi, mendengar kabar Emily sedang mengandung janin yang di buahinya secara tidak sengaja.
"Wil, kenapa kamu diam? Kamu nggak berniat kabur dari tanggung jawab, kan? Kamu udah janji akan menikahi ku, kalau sampai aku hamil." Emily menyentuh lengan William yang hanya terdiam membisu.
"Emily, tapi aku sudah memiliki kekasih. Aku sangat mencintai Atha, dia satu-satunya wanita yang ada dalam hatiku, sungguh...,"
"Lalu?"
"Kamu mau lari?"
"Aku nggak peduli, Wil."
Emily, sama sekali tidak berubah pikiran. Secara fakta ia memang tengah mengandung bayi William. Tapi, semua itu adalah jebakan darinya, yang sengaja agar William menidurinya. Lalu semuanya berjalan terlampau cepat bahkan diluar perkiraannya. Saat pagi ini ia mengeceknya, muncul dua garis biru di alat pendeteksi kehamilan tersebut.
"Kamu harus tetap nikahin aku!" Emily bersikukuh, tetap ingin William segera menikahinya.
"Aaarrrggh!!"
"Kamu ngerti nggak? Aku bersumpah satu-satunya yang aku cintai cuma Athanasia! Cuma dia, Emily! Aku tidak mencintaimu," tekan William sambil mengacak rambutnya, kesal. Wajahnya merah padam, dengan rahang yang mengeras.
"Persetan dengan hal itu, Wil! Nyatanya kamu udah menghamili aku! Kamu tetap harus menikahi ku, apapun yang terjadi, atau kamu lebih suka papa tahu semuanya? Ia pasti tidak akan tinggal diam, kalau sampai tahu bahwa putri satu-satunya, telah dihamili pria yang tidak mau bertanggung jawab. Padahal, selama ini kalau bukan papa yang membuatmu sukses. Maka kamu bukan siapa-siapa, William!"
Pria itu bertambah geram. Kenapa Emily malah mengungkit kebaikan papanya. Seolah ia ingin mengancam, agar dirinya tidak lari dari tanggung jawab. William stress, kepalanya serasa akan meledak. Masalahnya terlalu banyak, ia bahkan sudah tidak dapat berkata-kata lagi. Kenyataannya sekarang, posisinya terpojok. William tidak dapat menghindar dari tanggung jawab tersebut.
'Atha, maafin aku. Aku begitu mencintaimu, tapi setelah ini, kamu akan membenciku. Maafkan aku, Atha, aku sungguh bodoh!'
Emily masih menatapnya dengan tajam. Mengintimidasinya, agar tidak mencoba melarikan diri. "Jadi, apa jawaban kamu, William?"
Dengan gemetar, William bukan sedih karena takut Emily marah. Tapi hatinya sakit, ia mengingat Atha yang sedang menantinya dengan setia. Betapa jahatnya dia, malah mengkhianati kekasih yang begitu tulus mencintainya. Kalau saja selama ini dia dapat menjaga jarak dari wanita lain, seperti Emily. Mungkin saja peristiwa seperti ini tidak akan pernah terjadi. Penyesalan memang selalu datang belakangan.
"Aku akan menikahi mu, Emily."
Wanita itu tersenyum di dalam hatinya. Matanya memancarkan raut bangga atas kemenangan. "Terima kasih, Wil. Karena kamu mau bertanggung jawab, aku sungguh menderita, kuharap jangan kamu menambah derita itu lagi."
Akting yang sempurna dari seorang Emily Clarys. William membisu tak dapat berkata-kata. Hatinya hancur, ia teringat kekasih hatinya. Athanasia, maafkan aku. Batin William merasa pedih.
Sebulan kemudian, saat usia kandungan Emily menginjak bulan ke dua. Papa Emily yang bernama Mr.Jonas. Beliau memberikan kepercayaan penuh atas kendali usahanya kepada William. Setelah pria itu resmi menjadi menantunya.
Ya, tepat seminggu setelah Emily mengatakan bahwa ia hamil. William langsung menikahinya. Keduanya pun merayakan resepsi sederhana. Karena William menolak di adakan pesta besar-besaran.
William perlahan semakin sibuk. Saat ia di minta mengurus usaha papa mertuanya. Hingga setiap malam ia terus lembur bahkan tidak pulang ke rumah. Emily meradang, pasalnya semenjak kejadian kecelakaan yang ia buat, William tidak pernah menidurinya. Pria itu selalu menghindari Emily. Padahal dengan segala cara mulai dari menggoda William dengan lingerie dan berbagai upaya lainnya. Tetap saja suaminya itu tidak bergerak hasratnya untuk menyentuhnya.
Emily geram, ia tidak mungkin memberikan obat penyulut gairah lagi. Emily juga ingin di sentuh dengan perasaan cinta dari suaminya. Tapi, nyatanya William memang tidak mungkin melakukan hal itu, dia tidak akan mendapatkan cinta William. Sikap suaminya yang mendadak berubah dingin, dari sikap awal William yang ia kenal lembut dan ramah. Semuanya telah hilang dan sirna. Emily mungkin menikah dengan William, tapi pernikahannya terasa hambar. Karena suaminya tidak pernah sudi menyentuhnya lagi.
Lima bulan berlalu, saat ini kehamilan Emily sudah menginjak usia kandungan ke enam. Perutnya juga semakin membesar. William juga sudah menyelesaikan penelitiannya. Semua usahanya berhasil dan sukses. Seharusnya Wiliam bahagia, karena impiannya telah terwujud. Tapi, hatinya malah semakin teriris miris, saat kenyataan membuatnya ingin mati saja.
"Atha, seharusnya aku pulang. Atha, maafin aku."
Emily tidak ingin seperti ini terus. Ia berpikir bagaimana caranya agar suaminya itu dapat segera melupakan kekasihnya, Athanasia.
Emily berpikir ingin membuat Atha membenci William dengan membuat gadis itu tahu, bahwa saat ini William sudah menikah dengannya.
Malam itu, William sudah tertidur. Emily membujuk papanya agar mendesak William untuk pergi ke China. Mengurus beberapa kerja sama yang akan di lakukan di negara tersebut. Tentu saja bukan tanpa alasan. Saat itu Emily membuka laptop suaminya, ia mulai mengetikkan sebuah pesan email.
Atha, aku akan pulang minggu ini. Tepat dihari minggu. Kita bertemu di bandara. Aku menunggumu. William Jiazhen.
Emily menekan tombol send. Email tersebut akhirnya terkirim. Tentu saja tanpa sepengetahuan William, suaminya.
Sebenarnya William menolak untuk pulang ke China. Tapi mertuanya mendesaknya agar mau melakukan pekerjaan tersebut. Tentu saja, William tidak mungkin menghindari Atha terus menerus. Ia juga harus mengatakan hal yang sebenarnya pada Athanasia. Terlebih sebentar lagi Emily akan melahirkan.
William berniat menjelaskan semuanya pada Atha, tapi betapa terkejutnya ia saat di bandara malah melihat gadis yang dicintainya itu datang menemuinya. Siapa yang memberitahu hal itu pada Atha, kenapa Atha bisa datang ke bandara. Ini semua tidak mungkin kebetulan. Ini semua mustahil.
"Wil, dia siapa?" Atha menatapnya penuh tanya.
"Siapa kamu?" Emily menatap tajam ke arah Atha.
Saat itu William tidak memiliki kekuatan. Ia sudah selesai. Ia benar-benar tamat.
"Atha, aku bisa jelaskan."
Gadis itu menjauh, bergerak mundur berusaha menghindari William yang terus berusaha mendekat. Saat Emily secara gamblang dan bangga menyebut William sebagai suaminya.
"Su-suami?" Atha bukan hanya terkejut. Atha nyaris pingsan, hingga membuat William ingin sekali memeluknya, menjelaskan semuanya.
Tapi, Atha tidak membiarkan hal itu. Atha tidak mau mendengarkan penjelasan Wiliam.
_________________