“Sekali lagi saya mohon maaf, Pak. Ini sepenuhnya adalah kelalaian kami. Dan kami berjanji untuk ke depannya akan lebih hati-hati lagi dalam menjaga Adinda.” Anjani berkata sungguh-sungguh pada ayah Adinda. Mengakui kelalaian pengajar dan pengasuh di Love Daycare setelah insiden jatuhnya Adinda.
Pria di depan Anjani yang bernama Dimas itu tersenyum maklum. “Tidak apa-apa, Miss. Saya paham. Anak seusia Adinda memang sedang aktif-aktifnya. Saya sendiri sering kuwalahan, kok. Tidak apa-apa, yang penting bagaimana daycare ini sudah bertanggung jawab pada anak saya, itu sudah lebih dari cukup.”
“Terima kasih banyak, Pak Dimas. Terima kasih atas pengertian dan kebaikan Bapak.” Anjani tersenyum lega, karena ayah Adinda rupanya memaklumi insiden jatuhnya Dinda.
Anjani lantas mengantar Dimas dan Adinda hingga ke mobil. Ia sempat melambaikan tangan pada gadis cilik berusia tiga tahun yang memang memiliki memang lebih aktif dari anak-anak lainnya.
“Pak Dimas ganteng ya, Mbak?” Amel yang sejak tadi mengekori Anjani, berbisik begitu mobil Dimas meninggalkan Daycare.
Anjani menoleh pada Amel dengan dahi berkerut, lalu menggeleng pelan. “Kenapa? Kamu naksir Pak Dimas?”
“Ya kalau dibilang naksir ya jelas naksir lah, Mbak. Masa mau nolak duda super hot macam Pak Dimas sih,” seloroh Amel. “Masalahnya, Pak Dimasnya mau nggak sama aku, gitu?”
“Besok aku tanyain deh ya, Pak Dimasnya mau apa enggak,” Sahut Anjani dengan wajah menggoda.
“Eh lah, ya jangan, Mbak. Mau ditaruh di mana mukaku nanti kalau ketemu Pak Dimas.”
Anjani pun semakin menggoda Amel yang berusia lebih muda dua tahun darinya itu. Hingga para pengajar lainnya turut menggoda Amel begitu tahu Amel naksir Pak Dimas.
Anjani pulang setengah jam kemudian, setelah memberi arahan pada seluruh tim Love Daycare untuk lebih ekstra hati-hati lagi dalam menjaga anak-anak. Tiba di rumah, Anjani disambut dengan aroma masakan sang mama yang membuat wajahnya seketika berbinar. Gadis itu selalu menyukai masakan sang mama, yang menurutnya adalah masakan terenak di dunia. Akan tetapi sangat disayangkan, karena ia sama sekali tak mewarisi keahlian sang mama dalam hal masak-memasak.
“Mamaaaa, Jani pulang,” teriak Anjani setelah mengucapkan salam lebih dulu.
“Kurang kencang teriaknya.” Sinta yang masih mengenakan apron melotot pada Anjani yang baru saja memasuki ruangan dapur.
“Maaf, Mama. Habisnya takut Mama nggak dengar kalau Jani pulang.” Anjani ngeles. Selanjutnya meraih tangan kanan sang mama, dan menciumnya takzim.
“Mandi dulu sana. Malik udah nungguin dari tadi di taman belakang. Katanya mau nonton balapan bareng kamu.”
Ajani teringat ia punya janji dengan sepupunya itu untuk nonton bareng MotoGP. “Ya sudah, Jani mandi dulu deh. Nanti tolong sampaikan ke Malik ya, Ma, suruh langsung ke atas aja.”
Setengah jam kemudian begitu Anjani selesai mandi dan keluar kamar, ia mendapati Malik yang sudah duduk di sofa memangku setoples camilan dengan layar televisi yang menampilkan komentator MotoGP.
Anjani hanya mampu menggelengkan kepala, melihat dua toples camilan yang sudah tidak ada isinya. Malik memang hobi sekali makan dan badannya sudah sedikit obesitas.
“Sudah dulu makannya.” Anjani merebut toples yang berada di pangkuan Malik. “Masa balapannya aja belum mulai, kamu udah ngabisin keripik tiga toples.”
“Kak Jani, rese deh. Itu kan punya Malik.” Bocah laki-laki itu merengek. “Nggak seru kalau nonton TV nggak sambil makan.”
“Katanya mau jadi pembalap tapi nggak mau diet. Gimana sih, Malik!” cibir Anjani yang lantas memosisikan duduknya di samping Malik.
“Dietnya nanti kalau udah gede, Kak. Sekarang kan Malik masih masa pertumbuhan.”
“Masa pertumbuhan, tapi badan udah kaya Om, Om. Masa Malik kalah sama Om Juna. Om Juna aja ….” Anjani menghentikan ucapannya begitu sadar ia telah menyebut nama seseorang yang tak seharusnya ia sebut.
“Om Ar kenapa?” Malik bertanya penasaran memandangi Anjani.
“Nggak apa-apa.” Anjani menggelengkan kepala. Anjani lantas mengalihkan topik pembicaraan seputar pembalap yang ia jagokan menang dalam balapan malam ini. Ia mengutuk mulutnya yang telah tanpa sadar menyebut nama itu.
Saudara sepupu itu pun akhirnya menonton dengan fokus balapan dari kuda besi ber-CC besar tersebut. Hingga entah di menit ke berapa, Anjani terlelap di samping Malik yang masih fokus menonton balapan.
…
Arjuna baru tiba di rumah, ketika sang adik—Wulan meminta tolong padanya, untuk menjemput Malik di kediaman Anjani. Arjuna tentu saja mengiyakan. Setelah membersihkan diri lebih dulu, pria itu bergegas mengemudikan Rush miliknya ke kediaman Anjani. Meski mungkin ia akan mendapati wajah sinis gadis itu, ia tetap bersemangat untuk datang menjemput Malik.
Arjuna memberi salam begitu tiba di teras rumah Anjani. Lalu tak berapa lama, ia mendengar suara Sinta yang menyahuti salamnya dan setelahnya pintu terbuka dari arah dalam.
“Ar,” sapa Sinta mendapati adik tirinya begitu membuka pintu.
“Saya mau jemput Malik, Mbak.” Arjuna memberitahu maksud kedatangannya.
“Oh, iya. Malik lagi nonton bapalan sama Jani di atas. Kamu langsung ke atas saja ya.” Sinta pun membuka pintu rumahnya lebih lebar.
Arjuna mengangguk dan mulai melangkah masuk ke dalam rumah yang dulu hampir tiap hari ia singgahi itu. Sebelum Anjani beranjak remaja, ia memang kerap menghabiskan waktunya bersama gadis itu. Entah menemani Anjani bermain atau belajar.
“Oh ya, Ar.”
Arjuna yang hendak menaiki anak-anak tangga menghentikan langkah dan menoleh pada Sinta dengan pandangan bertanya. Ia cukup terkejut dengan permintaan sang kakak yang memintanya untuk tinggal lebih lama di rumah itu karena Sinta dan Suseno akan pergi untuk menjenguk rekan kerja Suseno yang tengah dirawat di rumah sakit.
Arjuna tentu saja tak bisa menolak permintaan Sinta. Meski ia tahu Anjani akan membenci kehadirannya di rumah itu. Arjuna memutuskan untuk menunggu hingga mobil yang ditumpangi Suseno dan Sinta meninggalkan rumah dan ia baru menuju lantai dua.
Di anak tangga terakhir, Arjuna sudah bisa melihat sosok Anjani yang tertidur di sofa, sedangkan Malik tertidur beralasan karpet. Arjuna pun berjalan mendekat. Ia mengamati wajah Malik lalu mengusap rambut bocah lelaki itu pelan. Selanjutnya pandangannya beralih pada Anjani yang nampak tertidur pulas. Gadis itu bahkan mendengkur lirih dengan mulut sedikit terbuka membuat Arjuna terkekeh pelan.
Arjuna lantas menghela napas ketika melihat bibir tipis Anjani yang mengingatkannya pada kejadian ciuman mereka enam tahun lalu. Seharusnya saat itu ia bisa mengontrol dirinya untuk tidak membalas ciuman Anjani, sehingga Anjani mungkin tidak merasa begitu sakit hati seperti sekarang. Akan tetapi semua sudah terjadi, dan ia hanya bisa menyesali semuanya. Dan berharap bisa memperbaiki hubungannya dengan Anjani. Karena sekali lagi, bagaimana pun mereka adalah sebuah keluarga.
Dengan perlahan, Arjuna meletakkan tubuh Anjani pada tempat tidur gadis itu. Anjaninya benar-benar sudah dewasa. Tubuhnya terbentuk dengan sempurna dengan lekukan yang membuat pria manapun akan memandangnya lebih lama. Dan Arjuna semakin jatuh cinta pada gadis yang menggeliat pelan, ketika ia menyelimutinya. Namun ia sadar perasaannya pada Anjani tidak seharusnya ada.
Tak ingin semakin terjerumus dengan perasaannya, Arjuna memutuskan meninggalkan kamar Anjani, setelah mendaratkan kecupan ringan pada kening gadis itu seraya membisikkan kata maaf untuk kesekian kali.
Bersambung