8. Pria Asing

1442 Kata
Seperti biasa, ketika akhir pekan. Anjani bersama kedua sahabatnya menghabiskan waktu bersama, entah itu nonton bareng atau sekadar nongkrong di kafe atau resto dengan dekorasi instagramable. Atau kadang ketika hari minggunya, dan Anjani memilih bolos kerja, ketiga sahabat itu hanya berbaring di ranjang sembari mendengarkan musik seraya saling curhat satu dan lainnya. Dan kali ini, Anjani bersama Fitri dan Ami memutuskan untuk menghabiskan akhir pekan mereka di apartemen kekasih Fitri—Yogi. Lantas setelah maraton Drama Korea selama berjam-jam mereka memutuskan untuk berenang. Kebetulan gedung apartemen tersebut memiliki fasilitas kolam renang yang bisa digunakan oleh kerabat penghuni apartemen tersebut. Ada tiga jenis kedalaman air pada area kolam renang tersebut yang masing-masing terbagi untuk orang dewasa, remaja dan balita. Anjani, Fitri dan Ami sudah bercengkerama seru di tepi kolam dengan kaki yang menjuntai ke air kolam yang jernih. Ketiganya asyik membicarakan banyak hal, termasuk membicarakan seorang perempuan muda yang tengah berenang bersama pria berumur. Dengan julidnya, Fitri dan Ami berkomentar, “gue sih yakin kalau mereka bukan bapak dan anak,” ucap Fitri yang disahuti Ami dengan komentar tak kalah julidnya, “sama, gue yakin itu bukan bapak-anak. Ya kali, masa bapak sama anak gelendotan begitu kek orang pacaran. Mereka pasti lagi main gula-gulaan tuh.” “Gula-gulaan apaan sih?” Anjani yang sejak tadi memilih diam, bertanya penasaran. “Masa lo nggak tahu sih, Jan.” Fitri berdecak heran, begitu pun dengan Ami. “Tahu nih si Jani. Pasti karena kelamaan bucin sama Om Juna jadi kudet deh.” “Ya kalian udah tahu temannya kudet, tapi nggak mau kasih tahu apaan.” Anjani kini mulai berendam di air kolam yang hangat karena terpaan mentari pagi. “Itu tuh maksudnya, hubungan mereka sugar daddy dan sugar baby. Mereka lagi main gula-gulaan. Udah paham sekarang?” tukas Fitri. “Ooohh itu.” Anjani mengangguk paham. “Ya terserah mereka juga mau main gula-gulaan atau apa. Bukan urusan kita juga kan?” “Memang bukan urusan kita. Cuma kan geli aja gitu lihatnya. Masih muda bukannya kerja malah milih jadi simpenan om-om.” Fitri kembali julid. “Itu kan juga kerja, Fit. Kerja enak tapi.” Ami menyahuti dengan tawa yang cukup kencang. “Nggak boleh gitu, kita kan nggak pernah tahu kehidupan si cewek bagaimana sampai dia akhirnya milih jalan kaya gini sekarang. Mungkin dia dari keluarga kurang mampu atau mungkin ada alasan lainnya yang membuat dia terpaksa milih jalan ini. Sudah, kita nggak berhak nge-judge tuh cewek. Mending kita cari makan siang yuk, gue lapar.” Fitri dan Ami setuju. Mereka bertiga kemudian beranjak dari kolam renang. Tak lupa mengenakan handuk kimono untuk menutupi pakaian mereka yang basah. Setelah mandi dan berpakaian, mereka menuju sebuah restoran di lantai bawah. Tak disangka, di restoran tersebut, Anjani bertemu dengan Adinda dan Dimas yang juga tengah menyantap makan siang. “Miss Jani, makan bareng sama Dinda saja ya. Di sini.” Adinda yang begitu antusias bertemu dengan Anjani, menarik-narik lengan wanita itu. “Sayang, tidak boleh dong. Miss Jani mau makan bareng dengan teman-teman Miss Jani. Dinda makan sama Ayah saja ya.” Dimas mencoba membujuk sang puteri. “Tapi Dinda mau makan bareng sama Miss Jani. Dinda bosan makan berdua sama Ayah terus.” Adinda memasang wajah murung, berharap sang ayah mengabulkan permintaannya. “Nanti ya, kapan-kapan kita undang Miss Jani ke rumah Oma. Kalau sekarang, Miss Jani kan sedang liburan.” “Benar, Yah? Janji ya, Ayah nggak bohong.” Wajah Adinda kembali berbinar begitu mendengar bujuksan sang ayah. Dimas menatap Anjani dengan canggung, setelah tersadar dengan ucapannya yang keliru. Ia sudah salah membuat janji pada sang putri yang mungkin saja tidak bisa saja ia kabulkan. Untuk apa pula ia “Maaf Miss Jani, maksud saya ….” Dengan gerakan kasual ia mengusap ujung alisnya yang tidak gatal. “Tidak apa-apa, Pak. Saya paham. Nanti Bapak bisa kabari saya soal undangan makannya.” Anjani tersenyum maklum pada Dimas. Anjani akhirnya berpamitan untuk kembali ke meja di mana dua sahabatnya tengah menunggu. Namun sayangnya, begitu tiba di meja yang berjarak tak seberapa jauh dari meja yang ditempati Dimas dan Adinda, Anjani tak menemukan kedua sahabatnya. Ketika ia akhirnya menghubungi kedua sahabatnya, Fitri dan Ami kompak menjawab ada panggilan kerja mendadak. Dan Anjani tahu, kedua sahabatnya tengah mengerjainya. Awas ya kalian! Berbalik, Anjani dikejutkan dengan kehadiran Dimas yang sudah berdiri di belakangnya. “Pak Dimas.” “Maaf kalau saya mengagetkan Miss Jani. Saya lihat Miss Jani seperti orang kalut tadi. Ada apa?” Anjani menatap Dimas dengan pandangan terkejut. Ia tak menyangka dengan reaksi Dimas yang saat ini terlihat mengkhawatirkannya. “Teman-teman saya pulang, mendadak ada urusan, Pak.” “Oh begitu. Ya sudah, Miss Jani gabung ke meja kami saja kalau begitu.” Anjani berpikir sejenak dan akhirnya mengiyakan permintaan Dimas. Tidak ada yang salah juga jika ia menerima permintaan Dimas dan Adinda untuk makan bersama. Ia lajang dan yang ia tahu Dimas sendiri juga adalah orang tua tunggal. Terlebih lagi, Adinda adalah salah satu anak asuhnya di Love Daycare yang penurut dan selalu ceria. Mereka bertiga justru terlihat seperti keluarga kecil bahagia dengan satu anak yang super aktif dan ceria. Begitu menelan makanannya, Adinda selalu berantusias bertanya mengenai banyak hal pada Anjani. Sampai-sampai Dimas berulang kali menegur Adinda untuk berhenti berbicara dan fokus pada makanan mereka. Hingga akhirnya ketiganya telah menghabiskan makanan mereka dan bersiap untuk pulang. Anjani baru saja ingat jika ia tak mengendarai mobil. Saat akhirnya ia memutuskan untuk memesan taksi daring, Dimas dengan sukarela menawarkan diri untuk mengantar Anjani. “Biar saya naik taksi saja, Pak. Tidak apa-apa. Terima kasih,” ucap Anjani berusaha menolak. Alasan pertama karena ia tidak ingin merepotkan Dimas. Kedua, karena ia tidak ingin membuat kehebohan di rumah dengan diantar pulang oleh seorang pria. Anjani malas menjelaskan pada kedua orang tuanya jika ia tidak memiliki hubungan apapun dengan Dimas, agar orang tuanya tak salah paham nantinya. Namun karena hujan yang semakin deras disertai angin kencang justru mengantarkan Anjani ke apartemen Dimas. Anjani memutuskan menerima penawaran Dimas untuk mampir ke apartemen pria itu selagi menunggu hujan reda. “Saya buatkan cokelat hangat.” Dimas mengulurkan segelas cokelat hangat pada Anjani yang duduk dengan gelisah di sofa apartemennya. Tersenyum kecil, pria berumur tiga puluh lima tahun itu memandangi Anjani yang juga tersenyum kepadanya. “Terima kasih, Pak,” ucap Anjani menerima uluran segelas cokelat hangat dari tangan Dimas. Suasana canggung menyergap keduanya sesaat, hingga Dimas akhirnya pamit undur diri untuk menemani Adinda tidur siang. Sepeninggal Dimas, Anjani perlahan menyesap minumannya sembari menyusun kalimat di kepalanya untuk mengomeli Fitri dan Ami yang sudah dengan tega meninggalkannya. Ia kesal setengah mati pada kedua sahabatnya itu. Anjani tersenyum melihat Dimas muncul dari kamar Adinda. “Dinda sudah tidur, Pak?” “Sudah, barusan saja.” Dimas duduk di ujung sofa satunya. Pria itu lantas menoleh pada jendela di sisi barat ruangan memastikan hujan. Dan hujan masih turun cukup deras. “Masih hujan,” gumamnya kemudian. “Iya masih hujan, Pak.” “Kalau Miss Jani mau istirahat sembari menunggu hujan reda, bisa istirahat di kamar saya.” Dimas menawarkan. “Saya di sini saja, Pak. Tidak apa-apa.” “Atau istirahat di kamar Adinda, silakan.” Dimas memberikan opsi yang lain pada Anjani. Berusaha membuat tamunya merasa nyaman. “Tidak, Pak. Terima kasih. Saya di sini saja.” Tepat selesai mengatakan kalimat itu, Anjani mendengar dering suara ponselnya. Ia pun segera meraih ponsel tersebut dari dalam tas dan seketika keningnya berkerut mendapati nomor asing yang menyala-nyala di layar ponsel. Dimas yang ingin memberikan privasi pada Anjani akhirnya memutuskan untuk ke dapur. Pria itu duduk di meja makan, sembari menyesap kopi hitamnya. Sementara Anjani yang ingin memutuskan rasa penasarannya, akhirnya menjawan panggilan dari nomor asing tersebut. “Selamat sore, dengan Anjani,” ucapnya membuka pembicaraan. “Jani.” Anjani sangat hapal dengan suara itu. Suara dari pria yang ia cintai dan ia benci secara bersamaan—Arjuna Fusena. “Maaf salah sambung.” Ketus Anjani yang tidak ingin memperpanjang obrolan dengan Arjuna. “Jani, saya tunggu di lobi. Kita pulang bersama.” Kali ini suara Arjuna terdengar dingin di rungu Anjani. “Jani bisa pulang sendiri. Om Juna silakan pulang saja.” “Kita pulang bersama, atau saya akan ke atas.” “Kenapa Om Juna maksa-maksa Jani? Om Juna bukan ….” Anjani tidak meneruskan kalimatnya begitu ia sadar tengah berada di apartemen Dimas. Ia tidak mungkin mengatakan Om Juna bukan siapa-siapa Jani, sedangkan hubungan mereka adalah paman. Ia tidak ingin membuat Dimas bertanya-tanya dengan kalimatnya yang terdengar ambigu. “Saya Om kamu, Jani. Dan saya berhak khawatir ketika kamu berada di satu ruangan dengan pria asing yang bukan siapa-siapamu. Turun lah Jani, kita pulang bersama.” Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN