Vino berjalan pelan ke arah sopir yang belum di ketahui namanya, sopir tersebut sedang mengelap mobil yang barusan di cuci.
“Bisa kita berbicara sebentar?” tanya Vino datar dari belakang tubuh bulat dan gempal itu.
Sopir tersebut terkejut dengan kedatangan Vino yang datang tiba-tiba. Dia langsung menghentikan pekerjaannya dan membersihkan tangan dari sisa-sisa air.
“Boleh, mau bicara apa Ya?” tanya dia.
“Gimana kalau kita duduk di sana saja?”
“Tidak usah, saya mau tanya sama Anda, kenapa Anda melaporkan pemandu yang kemarin itu kepada Pak Wibowo?”
“Oh itu, Maaf Mas saya hanya ingin menjaga nama baik perusahaan.”
“Anda jangan bohong!”
“Benar Mas, saya hanya ingin menjaga nama perusahaan agar lebih banyak lagi wisatawan yang mau menggunakan jasa perusahaan ini.”
“Jangan bohong! kamu bukan orang terpenting di perusahaan ini dan kamu tidak mendapatkan keuntungan apa pun meski mencari muka sama Pak Wibowo!” bentak Vino yang membuat sopir tersebut menjadi ciut.
“Iya Mas, maaf saya terpaksa melakukan itu.”
“Iya, tapi kenapa?”
“Karena keponakan saya di kampung baru datang kesini untuk mencari pekerjaan tapi saya belum menemukan pekerjaan yang pas untuk dia.”
“Dan Bapak menyingkirkan orang lain demi keuntungan Bapak?!”
“Maaf Mas, pikiran saya sudah buntu, karna sedang banyak masalah, di tambah lagi dengan datang keponakan, mau saya tolak tidak enak dengan orang tuanya.”
“Bapak Sudah berani berbuat, Berarti Bapak harus berani bertanggung jawab! sekarang bapak bereskan mobil itu, kita pergi ke rumah Rania untuk menjelaskan Siapa dalang di balik pemecatan dia!”
“Tapi mas ....”
“Kenapa? Bapak keberatan?! asalkan Bapak tahu ya! Rania sudah menamparkan saya karena kelakuan bapak, dia pikir saya yang telah mengadu sama Pak Wibowo sehingga dia dipecat!”
“Iya Mas, saya minta maaf.”
“Cepat siapkan mobil, saya tunggu di depan 5 menit, kalau tidak, saya akan membuat perhitungan sama Bapak!”
“Iya Mas.”
Sopir tersebut segera mengelap mobilnya dengan cepat, kemudian memanaskan mesin dan pergi bersama Vino ke rumah Rania.
Setelah sampai di rumah Rania, Pak sopir seperti enggan untuk turun, di lihat dari mimik wajahnya yang ogah-ogahan untuk mengakui kesalahannya.
“Saya tidak perlu memaksa anda kan?!”
Vino membuka suara setelah lama menunggu agar Sopir itu segera turun, tapi dia tidak beranjak dari tempat duduknya.
“Apa saya benar-benar harus melakukan itu?”
“Iya! Harus! Saya tidak mau orang menganggap saya buruk!”
Tubuh bulat gempal itu turun dari mobil dengan rasa malas. Nevan duduk di dalam mobil untuk memantau si sopir.
“Assalamu’alaikum.” Sopir itu mengucap salam di depan pintu rumah Rania yang terbuka.
“ Waalaikumsalam oh bapak, bapak yang kemarin antar Rania pulang kan?” Mamanya Rania keluar.
“Iya Bu, mbak Rania-nya ada?”
“Rania ada, cuman dia lagi kurang enak badan.”
“Bisa saya bicara sebentar dengan Mbak Rania? Tidak lama kok bu.”
“Sebentar Pak Ya, saya panggilkan dia dulu.”
Mamanya Rania masuk ke kamar Rania setelah permisi. Rania sedang tidur.
“Rania di luar ada sopir yang kemarin mengantar kamu,” ucap Mamanya pelan, karna tahu Rania tidak benar-benar terlelap.
“Ngapain dia mah? Mau ngehina Rania juga seperti bosnya?”
“Udah ah kamu jangan gomong kek gitu, gak boleh berburuk sangka, keluar sebentar, Mama juga tidak tahu dia katanya ingin berbicara sama kamu.”
Rania bangkit dari tempat tidurnya, dan keluar untuk menemui tamu dia.
“Iya Pak, ada apa?” tanya Rania yang to the point karna pikirannya sedang kacau.
“Sebelumnya Bapak mau minta maaf.”
“Minta maaf kenapa?”
“Yang membuat Mbak Rania dipecat bukan karena mas Vino, tapi, karena saya, Saya benar-benar minta maaf Mbak.”
Seketika amarah Rania seperti ada di puncak, dia ingin menimpuk badan gempal tersebut dengan bakiak Mamanya, tapi melihat Mamanya juga ikut mendengar obrolan mereka, akhirnya Rania mengurungkan niatnya.
Bagaimana dia tidak kesal, yang pertama dia sudah kehilangan pekerjaannya, yang ke dua di sudah, ah sudah! Jangan di bahas, bikin malu Rania.
“Kenapa Bapak tega melakukan itu sama saya?”
“Saya minta maaf Mbak, saya terpaksa melakukannya!”
“Terpaksa melakukan karena apa?”
“Saya butuh pekerjaan Mbak untuk keponakan saya yang baru datang dari kampung.”
“Jadi bapak menjelek-jelekkan saya agar Bapak bisa memasukkan keponakan Bapak di sana?”
“Saya benar-benar minta maaf Mbak, saya sudah salah.”
“Ya Sudahlah, sudah terjadi juga, saya pun sudah mengikhlaskan kalau saya tidak bisa bekerja lagi di sana.”
“Jadi gimana dengan tamparan Mbak kepada Mas Vino?” tanya sopir yang membuat Mamanya Rania dan dia kaget Mendengar pertanyaan tersebut.
Rania kalut mendengar sopir tersebut mengucapkan di depan muka Mamanya Rania. Dia takut di sembur sama Mamanya, Mamanya memang sangat memanjakan dia, tapi tidak untuk hal yang salah, harus siap-siap pasang kuping, biar tidak panas.
“Rania apa kamu menampar orang?” tanya Mamanya yang mulai membesarkan kelopak matanya untuk terbuka.
“Maaf Ma, itu hanya kesalahpahaman, itu juga karena Bapak ini! Rania pikir yang melaporkan Rania lelaki itu, Ternyata bukan.” Jawab Rania dengan lemah lembut dan ekspresi penuh penyesalan.
“Kamu harus minta maaf sama dia!”
“Ya Ma, nanti Rania minta maaf.”
“Bawa dia ke rumah, Mama juga mau minta maaf gara-gara kelakuan kamu!”
“Untuk apa sih Ma? Udah cukup Rania saja yang minta maaf.”
“Rania ...!” Mamanya mulai melotot.
“Iya Ma iya, ya udah Bapak nggak ada keperluan lagi di sini kan? silakan Bapak pulang, bikin repot saja!”
“Rania!” Mamanya kembali menegur Rania.
“Iya Ma, habis kesal!”
“Saya minta maaf Mbak kalau begitu saya permisi, Assalamualaikum.”
“Wa’alaikumsalam.” Jawab Rania dan Mamanya.
“Kamu ini ada-ada saja, main tampar orang sembarangan, apalagi yang kamu tampar itu lelaki, kalau dia macam-macam sama kamu gimana?”
“Apalagi kamu sering pulang malam, kalau tiba-tiba dia sekap kamu gimana?”
“Kalau dia sampai dendam sama kamu gimana?”
Masih banyak lagi kalau-kalau yang di ucapkan Mamanya Rania, jika Rania tidak memeluk Mamanya sambil mengelus pipi yang sudah mulai berkeriput itu dengan menggoda “Mama cantik kalau lagi kalem.” Mungkin tidak akan berhenti sampai di situ.
Rania sengaja menggoda mamanya dengan kalimat tersebut, mengisyaratkan supaya mamanya berhenti merepet untuk dia, karna mendengar ucapan Rania yang memintanya untuk berhenti ngomel memakai sindiran halus, mamanya pun akhirnya diam membuat Rania tersenyum.
"Nah, kalau kalem begini aura kecantikan mama itu makin terpancar dari wajah Mama," ucap Rania sambil bergelayut manja di dalam pelukan mamanya.
Bersambung . . .