Annisa memeluk putranya kembali. Dia tidak menyangka, dibalik hatinya yang sedang hancur, Arkan selalu menjadi penguatnya saat ada masalah yang sedang dia hadapi.
“Kamu penyemangat bunda, Sayang. Kamu selalu menjadi malaikat penolong bunda, dan penguat bunda,” ucap Annisa.
“Bunda jangan sedih lagi, ya?” ucap Arkan.
Arsyad yang duduk di sebelah pengemudi, dia menyeka air matanya melihat kedekatan Annisa dan Arkan seperti itu. Arsyad jarang sekali melihat Annisa dekat dengan anak-anak lainnya, sedekat Annisa dengan Arkan saat ini.
^^^
Seusai memesan kamar di hotel, Arkan duduk di gazebo yang ada di taman hotel. Arsyad melihat putrannya yang duduk sendirian di sana, dan menghampiri Arkan yang mungkin sedang memikirkan masalahnya dengan Thalia.
“Belum tidur?” tanya Arsyad dengan menepuk pundak putranya.
“Belum, Bah. Arkan tidak bisa tidur,” jawab Arkan.
“Arkan, abah tahu, perasaan kamu sekarang bagaimana, tapi kamu jangan seperti ini. Ini sudah malam, di sini dingin, kamu istirahat. Jangan sampai sakit hanya karena putus cinta. Masa depanmu masih panjang. Lihat bengkel Ayah Arsyil yang sangat membutuhkan kamu,” tutur Arsyad.
“Iya, abah .... Arkan tahu itu, Arkan hanya bingung saja, Bah,” ucap Arkan.
“Bingung kenapa?” tanya Arsyad.
“Besok Thalia mengajak bertemu Arkan, Bah,” jawab Arkan.
“Jangan menambah masalah lagi, Nak. Abah tahu, kalian saling mencintai, dan sekarang adalah saat-saat terakhir kalian berdua. Abah paham betul bagaimana perasaan kamu, tapi lebih baiknya hindari untuk bertemu dulu. Lusa juga kamu bertemu Lia,” tutur Arsyad.
“Iya, bertemu dia di pelaminan dengan laki-laki lain, Bah.” Suara Arkan semakin terdengar parau karena menahan tangis. Dia tidak bisa bohong dengan perasaannya yang sedang tidak karuan, meski mencoba menutupinya.
Arkan menunduk dan terisak, dia merasa sebagian nyawa hidupnya pergi entah ke mana. Rasa bahagia dalam hidupnya sudah sirna diganti oleh rasa kesedihan yang mendalam.
“Arkan sangat mencintai Thalia, Abah ... Apa Arkan bisa menjalani hidup Arkan lagi setelah ini. Arkan sudah tidak kuat menahan rasa sakit ini, baru kali ini Arkan merasakan perih dan sakit sekali,” ucap Arkan di sela-sela tangisnya.
“Arkan, kamu masih punya masa depan yang cerah. Jangan menyerah karena cinta, Nak. Abah tahu, tapi mau bagaimana lagi? Abah bisa saja mempertahankan Thalia untuk kamu. Kamu mau Abah menyogok Om Leon dengan perusahaan abah agar kamu tetap bersama Thalia? Abah bisa melakukan itu, sekarang pun bisa, tapi abah tidak mau ada kecurangan dalam suatu hubungan. Opa dan oma tidak pernah mengajarkan abah seperti itu, Nak. Abah selalu menjaga titah mereka,” tutur Arsyad.
“Arkan juga tidak menyangka, Bah. Om Leon dan Om Zi melakukan itu. Om Zidane memang memberikan sebagian perusahaannya untuk Om Leon, agar Thalia menikah dengan Danish,” jelas Arkan.
“Kamu tahu dari mana?” tanya Arsyad.
“Dari Thalia,” jawab Arkan.
“Jadi benar, apa yang abah curigai. Leon dan Zidane bermain belakang,” ucap Arsyad.
“Thalia melihat surat perjanjian mereka, Bah,” ucap Arkan.
“Kamu tahu, Nak? Perusahaan yang dikelola Om Zi itu milik Eyang Rizal, ayah dari bunda. Semua masih atas nama Bundamu, karena bunda anak semata wayang, dan ayahnya Om Zi, adalah anak dari om nya atau sepupunya Eyang Rizal. Mereka sebenarnya tidak berkuasa atas perusahaan itu, tapi bundamu terlalu baik, sama seperti orang tuanya, ya begitulah,” jelas Arsyad.
“Mereka jahat sekali sama bunda ya, Bah?” ucap Arkan.
“Ya, memang seperti itu, Nak. Tapi, bundamu benar-benar wanita yang tangguh, sabarnya melebihi apapun. Kamu pernah tahu soal Om Leon yang akan di jodohkan dengan bundamu dulu?” ucap Arsyad.
“Iya, dulu abah yang bercerita. Itu juga karena Om Zi ingin sebagian saham milik Om Leon, kan?” ujar Arkan.
“Ya, mereka seperti itu, selalu memandang dengan harta dan tahta. Sekarang kalau kamu ingin bertemu Thalia, kamu harus siap dengan ucapan mereka, abah Cuma mau ngasih saran kamu, sudah ikhlaskan Thalia. Abah yakin, kamu bisa mengikhlaskannya. Kamu sayang bunda, kan?” ujar Arsyad.
“Arkan sangat menyayangi bunda, Bah,” jawab Arkan.
“Jangan sedih lagi, jangan menangis lagi, boleh sedih dan menangis, tapi jangan terlalu larut dalam kesedihan kamu,” ujar Arsyad. “Ayo tidur,” ajak Arsyad.
“Bunda sudah tidur?” tanya Arkan.
“Dari tadi bunda sudah tidur, mungkin bunda lelah,” jawab Arsyad.
^^^^
Hari ini adalah hari di mana Arkan harus melepaskan seseorang yang sangat ia cintai. Dia harus merelakan kekasihnya menikah dengan saudara sepupunya. Arkan bersiap untuk menghadiri pernikahan Thalia dan Danish. Setelah kemarin dia menuruti penuturan abah dan bundanya untuk tidak menemui Thalia, pagi ini dia harus bertemu dengan Thalia yang akan bersanding di pelaminan dengan peria lain, yang tak lain adalah sepupunya sendiri.
“Lia, aku ikhlas melepasmu,” gumam Arkan.
Arsyad mendekati Arkan yang melamun dengan duduk di tepi ranjang.
“Semangat....!” Asyad menepuk pundak Arkan dan merangkulnya.
“Abah, Arkan tidak sanggup, Bah. Abah dan bunda saja yang ke sana,” ucap Arkan.
“Kamu laki-laki, kamu harus kuat, Nak,” sahut Annisa dengan mendekati putranya.
“Bunda, sakit sekali d**a ini, sesak sekali rasanya,” ucap Arkan dengan memeluk bundanya.
“Bunda tahu, Nak. Tapi kamu harus ikhlas,” tutur Annisa.
“Kamu putra bunda yang kuat, pasti kamu bisa melewati ini. Bunda yakin itu,” ucap Annisa.
“Arkan, kamu laki-laki, kamu jangan seperti ini, kamu harus kuat,” imbuh Arsyad dengan memeluk Arkan, memberi kekutan untuk putrnya.
Mereka masuk ke dalam taksi yang dipesan Arsyad untuk menuju ke rumah Leon. Arkan menatap jalanan yang cukup ramai tapi tetap teratur laju kendaraannya.
“Ya Allah, aku harus bagaimana saat nanti melihat mereka mengikrarkan janji suci?” gumam Arkan.
Taksi yang di tumpangi keluarga Arsyad sudah sampai di kediaman Leon. Mereka turun dengan di sambut dekorasi pernikahan yang sederhana namun mewah. Pelamina yang cukup luas juga terlihat jelas.
Mata Arkan menatap sendu. Ingin rasanya mengeluakan air mata, tapi dia harus menahannya. Cinta yang tulus untuk Thalia, kini berubah menjadi air mata kesedihan.
“Ayo, Nak?” ajak Annisa.
Arkan berjalan di tengah-tengah orang tuanya. Mereka masuk ke dalam dan di sambut oleh keluarga Zidane dan juga keluarga Leon.
“Aku kira kalian tidak datang,” ucap Monica.
“Zidane adalah saudaraku, jadi aku tetap datang!” jawab Annisa dengan tegas.
“Silakan duduk. Sebentar lagi Danish dan Thali akan menjadi suami istri yang sah,” ucap Monica.
Rere menatap Annisa dengan tatapan sendu. Dia ingin memeluk sahabatnya, tapi dia menghargai suaminya dan menghargai keluarga Monica. Rere sebenarnya tidak ingin pernikahan Thalia dan Danish terjadi. Dia mengetahui suaminya dengan Zidane bermain curang untuk pernikahan putrinya.
“Nisa, maafkan aku,” gumam Rere dengan menyeka air matanya.
Annisa mengepalkan telapak tangannya, dia benar-benar kecewa dengan apa yang sudah mereka perbuat.
“Aku janji, tidak akan pernah lagi menganggap kalian orang terdekatku setelah ini!” ucap Annisa dalam hatinya.
Annisa melihat putranya menatap ke arah meja akad Thalia dan Danish. Dia melihat Danish dan Thalia duduk berdamping dan bersiap untuk mengucapkan janji sehidup sematinya di depan wali dan para saksi yang hadir.
“Bunda....” Arkan memanggil bundanya lirih dengan menyandarkan kepalanya di bahu bundanya dan menatap langit-langit dekorasi tenda.
“Kamu yang ikhlas, harus ikhlas,” ucap Annisa dengan mengusap kepala putranya.
“Arkan akan mencoba Ikhlas bunda,” ucap Arkan dengan menahan tangisnya.
Arsyad menggenggam tangan putranya. Dia tahu rasanya seperti apa menyaksikan kekasihnya menikah dengan pria lain. Seperti apa yang dulu pernah Arsyad rasakan, saat Annisa resmi menjadi tunangan Arsyil, dan dirinya belum bertemu jodoh dengan Almira.
“Abah pernah merasakan ini, Nak. Kamu harus kuat.” Arsyad berkata lirih di telinga Arkan saat Arakn semakin terisak ketika mendengar Danish mengucapkan janji sucinya.
Kata Sah dari para saksi sudah terdengar nyaring di gendang telinga Arkan. Jantung Arkan serasa lepas dari tempatnya, dan entah kemana. Dia hanya terduduk lemah dengan dipeluk kedua orang tuanya. Arkan menangis dipelukan abah dan bundanya, merelakan kekasihnya menjadi istri sepupunya.
Thalia pagi ini sudah resmi menjadi istri orang. Pupus sudah impian Arkan untuk hidup dengan Thalia. Semua mimpinya sirna ditelan keegoisan saudaranya.
“Yang sabar, Nak. Semua ini sudah digariskan Allah. Kamu pasti bisa menjalani semua ini,” tutur Arsyad.
Isakan Arkan semakin terdengar lirih di sekitar orang yang berada di samping Arkan. Thalia melihat ke arah Arkan yang sedang menangis di pelukan kedua orang tuanya. Arkan melihat Thalia, meraka saling berpandangan dengan tatapan sendu.
Arkan bangun dari tempat duduknya, dia ingin memberi selamat pada Thalia dan Danish, dan setelah itu, dia ingin cepat-cepat meninggalkan pesta pernikahan Thalia. Thalia tidak mempedulikan semuanya, dia berlari menghampiri Arkan dan memeluk Arkan, setelah Danish menyematkan cincin kawin di jari manisnya.
“Arkan....” Thalia memeluk erat Arkan dan menangis dalam pelukannya.
“Selamat, Sayang. Kamu pasti bisa menjalani semua ini. Maafkan aku, aku tidak bisa mengubah takdir ini. Maafkan aku,” ucap Arkan dengan berlinan air mata memeluk Thalia yang sekarang sudah menjadi istri orang.
“Aku tidak bisa, Arkan. Aku mencintaimu,” ucap Thalia.
“Aku juga mencintaimu, tapi ini sudah ditakdirkan Allah, kita memang tidak bisa lagi bersama. Kamu yang ikhlas, kita sama-sama harus ikhlas, Sayang.” Arkan mengecup kening Thalia cukup lama. Tetesan air mata Arkan terasa di kepala Thalia, begitu juga air mata Thalia mengalir deras hingga membasahi kemeja Arkan.
Danish menghampiri mereka yang sedang melepas perih. Danish menarik Thalia agar menjauh dari Arkan.
“Selamat, jaga kekasihku. Jangan dia yang menjaga kamu,” ucap Arkan dengan menjabat tangan Danish.
“Jaga dirimu baik-baik, Sayang,” ucap Arkan dan langsung meninggalkan mereka.
Arkan mengajak bunda dan abahnya untuk pergi dari pesta pernikahan Thalia. Annisa dan Arsyad merangkul putranya yang masih sangat kacau keadaannya.
“Kak Arkan....!” Tita memanggil Arkan dan berlari mengejar Arkan.
Arkan dan kedua orang tuanya menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah Tita. Tita langsung memeluk Arkan, dia menangis, merasakan apa yang sedang Arkan dan Thalia rasakan.
“Kak, Tita sayang Kak Arkan, Tita sayang Kak Lia. Kalian jangan pisah! Tita benci kalian, kalian tega memisahkan Kak Lia dan Kak Arkan!” Tita berteriak di tengah-tengah tamu yang datang ke pesta pernikahan Thalia.
“Tita, jangan bicara seperti itu. Kak Arkan ikhlas. Jaga Kak Lia, kamu di sini, kan? Kak Arkan akan pulang. Jangan buat Kak Lia kesal. Kak Arkan titip Kak Lia, ya?” ucap Arkan dengan tersenyum pada Tita dan memeluk Tita.
“Kak, aku tidak akan sudi menganggap Danish kakak iparku. Kalau saja tidak ada hukum, aku ingin bunuh dia,” ucap Tita dengan lirih, tapi masih terdengar oleh Arkan, Arsyad, dan Annisa.
“Jangan bicara seperti itu. Sudah, Kak Arkan akan pulang ke Indonesia, kamu jaga Kak Lia. Karena Kak Arkan ragu, Danish pasti tidak bisa jaga kakakmu dengan baik,” ucap Arkan dengan mengusao kepala Tita.
“Oke, Tita akan jaga Kak Lia. Aku akan merindukan Kak Arkan.” Tita memeluk Arkan lagi.
“Tita juga akan merindukan abah dan bunda.” Tita berhambur ke pelukan Arsyad dan Annisa.
“Tita jaga diri baik-baik, ya? Jaga Kak Lia,” ucap Annisa.
“Jaga mama dan Kak Lia, ya?” ucap Arsyad.
“Itu pasti, abah, bunda,” jawab Tita.
Arsyad, Arkan, dan Annisa meninggalkan rumah Leon. Mereka tidak berpamitan dengan Leon dan istrinya, juga tidak berpamitan dengan Zidane, Alvin, dan beserta istrinya. Lintang tidak menyangka suaminya dan kakak iparnya akan melakukan hal semacam ini pada Arsyad dan Annisa. Lintang merasa berutang budi dengan Arsyad, karena berkat Arsyad usaha meubel nya maju lagi hingga sekarang.
“Alvin dan Kak Zidane benar-benar keterlaluan!” geram Lintang dalam hatinya.
Lintang sebenranya tidak menyetujui apa yang mereka lakukan. Bagi Lintang, keluarga Arsyad sudah menolongnya dari keterpurukannya. Dia bisa mendirikan usaha ayahnya lagi karena dibantu oleh Arsyad, dan sekarang usaha Meubelnya menjadi maju karena Arsyad dan Almarhum Opa Rico.
“Mas, kamu kok tega dengan Annisa? Dia masih saudara kamu, Mas,” ucap Lintang.
“Aku sebenarnya tidak tega, tapi kamu lihat Kak Zi, kan? Dia juga bingung, dan aku kasihan dengan Danish yang umurnya tidak lama lagi,” jawab Alvin.
“Tapi, kalian sapa lah mereka, Kak Monic juga seperti itu menyambutnya. Kamu tahu kan, usahaku berdiri lagi karena siapa?” tanya Monic.
Alvin hanya terdiam, dia memang tidak enak hati dengan Annisa karena keegoisan kakaknya dan Kakak iparnya. Alvin memilih bungkam, daripada perusahaannya ikut kena terkena imbas jika dia tidak menuruti kata kakaknya.