“Mas, kamu kok tega dengan Annisa? Dia masih saudara kamu, Mas,” ucap Lintang.
“Aku sebenarnya tidak tega, tapi kamu lihat Kak Zi, kan? Dia juga bingung, dan aku kasihan dengan Danish yang umurnya tidak lama lagi,” jawab Alvin.
“Tapi, kalian sapa lah mereka, Kak Monic juga seperti itu menyambutnya. Kamu tahu kan, usahaku berdiri lagi karena siapa?” tanya Monic.
Alvin hanya terdiam, dia memang tidak enak hati dengan Annisa karena keegoisan kakaknya dan Kakak iparnya. Alvin memilih bungkam, daripada perusahaannya ikut terkena imbas jika dia tidak menuruti kata kakaknya.
Thalia menepiskan tangan Danish yang masih memeganginya. Dia masuk ke dalam rumahnya dan tidak mau naik ke pelaminan bersama suaminya. Bagi Lia, untuk apa dia berada di pelaminan, semua sudah tahu kalau pernikahannya tidak layak disebut sebagai pernikahan.
Leon menyusul putrinya yang masuk ke dalam rumah. Sikap Leon benar-benar berubah. Dia menarik putrinya agar mau bersanding di pelaminan bersama Danish.
“Papa ...! lepasin ...! Thalia tidak mau!” Thalia menepis tangan Leon.
“Kamu sekarang sudah berani melawan papa, hah?!” bentak Leon.
“Papa jahat! Papa tega menjual anaknya demi sebuah perusahaan!” geram Thalia dan langsung masuk ke kamarnya. Thalia mengunci kamarnya, dia tidak pernah menyangka, papanya yang dulu menjadi sosok yang ia banggakan, sekarang menjadi seorang papa yang kejam.
Rere menghampiri suaminya yang sedang tersulut emosi. Dia mencoba menenangkan Leon, tapi yang ia dapat hanya bentakan Leon.
“Pa, biar Thalia meredakan emosinya dulu, papa jangan seperti ini,” ucap Rere.
“Diam kamu! Ini yang kamu ajarkan pada putrimu? Dia jadi pembangkang, seperti anak sahabatmu itu!” bentak Leon dan langsung meninggalkan Rere.
Baru pertama kalinya Rere dibentak oleh Leon selama hidup bertahun-tahun dengan Leon. Membina rumah tangganya yang harmonis dan penuh kehangatan, sekarang menjadi sebuah rumah tangga yang penuh dengan kepedihan. Hanya karena harta dan tahta, bisa merubah kepribadian seseorang. Rere mengusap air matanya yang luruh karena dibentak suaminya.
“Lia, ini mama, Nak. Buka pintunya,” ucap Rere dengan mengetuk pintu kamar Thalia.
Thalia membukakan pintunya, dia langsung memeluk mamanya. Hanya mamanya yang mengerti perasaannya saat ini.
“Mama .....” Lia memeluk dan menangis di pelukan mamanya.
“Kamu yang sabar, Nak. Kamu pasti bisa melalui ini. Nasi sudah menjadi bubur, kamu sudah menjadi suami Danish, jangan mempermalukan papamu dan keluarga Danish, ya?” tutur Rere.
“Ma, aku sangat mencintai Arkan, aku tidak bisa, Ma. Sakit rasanya, Ma. Kalau harus memilih, Lia lebih memilih pergi dari dunia ini, Ma. Semua sudah musnah. Cinta dan cita-cita Thalia musnah, Ma,” ucap Thalia dengan terisak memeluk mamanya.
“Sayang, jangan bicara seperti itu. Orang yang hebat, tidak langsung menjadi hebat, Nak. Tanpa ada rintangan dan masalah bertubi-tubi dalam hidupnya. Jadikan keadaan saat ini sebagai bahan belajar kamu menghadapi ujian kehidupanmu, kalau kamu bisa melewatinya kamu adalah wanita yang hebat, dan mama yakin kamu pasti bisa,” tutur Rere.
“Cuma mama yang mengerti Lia,” ucap Lia dengan sesegukan.
“Ikhlas dan sabar, Nak. Kamu punya Allah, tempat kamu mengadu selain pada mama. Biar papa seperti itu, kita hanya bisa mendoakan papa, agar tidak semakin parah sifatnya yang seperti itu.” Rere terus memberi wejangan kepada putrinya.
“Kamu sudah menjadi istri orang, Nak. Kamu harus bisa taat dengan suamimu, meski kamu tidak mencintainya. Kamu juga tahu, Danish sakit-sakitan. Mama pesan sama kamu, kamu harus ikhlas, sabar, dan yakin, kamu bisa melewati semua ini. Thalia wanita yang kuat,” tutur Rere.
“Iya, Ma. Terima kasih, mama selalu support Lia,” ucap Thalia.
“Ya sudah, kita keluar, ya? Jangan kecewakan papa,” ucap Rere dengan mengajak Thalia keluar.
Thalia membenarkan make-up nya yang sudah terlihat berantakan karena tadi menangis. Dia keluar dengan Rere untuk menemui Danish dan melanjutkan acara resepsi pernikahannya. Sebelum ke pelaminan, Thalia menemui Leon, dia meminta maaf pada papanya.
“Pa, maafkan Lia,” ucap Thalia dengan memeluk Leon.
“Maafkan papa juga, Nak,” ucap Leon.
Leon tidak menyangka Thalia akan meminta maaf padanya, padahal semua itu karena dirinya, semua itu disebabkan olehnya. Thalia menjadi menderita seperti ini karena keegoisannya, juga karena kasihan melihat Zidane juga Danish yang seperti itu. Apalagi dia bersahabat dengan Zidane dari dulu.
“Harusnya papa yang minta maaf, Nak,” gumam Leon dengan menatap sendu wajah putrinya.
“Lia, papa minta maaf.” Leon memeluk Thalia dan menangis.
“Antarkan aku ke pelaminan, Pa,” pinta Thalia.
“Iya, papa antarkan,” ucap Leon dengan menyeka air matanya.
Leon merasa sudah kehilangan wajah ceria putrinya, dan kehilangan putri kesayangannya karena setelah ini Thalia akan ikut tinggal di rumah Danish.
Leon berdiri di depan Rere setelah mengantarkan Thalia naik ke pelaminan. Dia melihat wajah Rere yang menunduk tidak berani menatap dirinya.
“Maafkan aku yang sudah membentakmu, harusnya aku tidak perlu membentak kamu dengan kasar,” sesal Leon dengan memeluk istrinya.
“Iya, Pa, mama tahu perasaan papa saat itu,” ucap Rere.
Rere sebenarnya masih sangat kecewa dengan sifat suaminya yang kembali seperti dulu. Namun, mau bagaimana lagi, melihat Danish yang seperti itu dia juga merasa kasihan dengan Danish.
^^^
Indonesia
Arkan sudah berada di rumahnya. Setelah kepulangannya dari Berlin, dia lebih suka mengurung diri di dalam kamarnya. Ikhlas, namun dia masih ingin menikmati kesendiriannya di dalam kamar yang menurutnya menjadi tempat ternyaman untuk menyendiri.
“Arkan, ini Kak Dio. Buka pintunya.” Dio mengetuk pintu kamar Arkan, dia tahu adiknya butuh support kakak-kakaknya setelah kejadian kemarin.
“Masuk, Kak! Enggak Arkan kunci!” Arkan menyahuti Dio dengan mengusap rambutnya yang basah dengan handuk, dia baru saja selesai mandi.
“Jam berapa kamu baru mandi?” tanya Dio dengan mendekati adiknya.
“Jam satu, kak. Kakak lihat, kan?” jawab Arkan dengan malas-malasan dan menunjukkan jam dinding di kamarnya pada Dio.
Dio duduk di sebalah Arkan yang sedang duduk di sofa. Dio menepuk pundak adiknya yang sedang terdiam.
“Gimana?” tanya Dio.
“Gimana apanya, ya kayak gini, Kak,” jawab Arkan.
“Sudah, jangan mengurung diri terus, kamu sudah tiga hari enggak ke bengkel, enggak kuliah. Mau jadi apa kamu, putus cinta malah sesat seperti ini,” ucap Dio.
“Seperti tidak pernah ngalamin patah hati saja kamu, Kak. Teori itu gampang, Kak. Yang susah praktiknya,” jawab Arkan.
“Siapa bilang? Semua mudah kalau kamu ikhlas,” sahut Najwa yang berada diambang pintu kamar Arkan.
“Kak Najwa kapan datang?” tanya Arkan.
“Baru saja, Key minta ketemu opa sama opanya. Jangan gini, dong. Masa adiknya kakak seperti ini? Kucel, jelek, enggak ada semangat hidup. Yang sudah, ya sudah, Arkan. Kamu yang sabar dan Ikhlas. Kakak tahu, rasanya seperti apa ditinggalkan orang yang kita cintai. Masa depanmu masih panjang, kalau kamu seperti ini terus, kamu mau jadi apa? Gelandangan?” ujar Najwa.
“Kakak ada-ada saja, Arkan lagi hibernasi, pengen di kamar saja, males ke mana-mana, nanti juga Arkan bakal ke bengkel lagi, terus ke kampus,” jawab Arkan.
“Hibernasi atau meratapi nasib lebih tepatnya?” sahut Raffi.
“Ini ada apa sih ke sini semua? Kayak aku itu buronan aja,” ujar Arkan.
“Ya, buronan yang sedang patah hati,” ucap Raffi.
“Kamu itu putus cinta sampai sekucel ini, Arkan. Padahal kamu itu paling tampan di antara abah, Raffi, dan Dio. Tapi, lihat wajahmu di cermin, Masya Allah, enggak ada bagus-bagusnya kamu,” ujar Shifa.
“Kan, ada lagi Kakak rempong satu ini,” ujar Arkan.
“Kita Cuma mau menghibur kamu, biar enggak bikin bunda khawatir,” ucap Dio.
“Aku tidak apa-apa, lihat aku baik-baik saja, kan?” ucap Arkan.
“Iya, tapi enggak usah mengurung diri terus dong. Refreshing kek, jalan, atau ke mana?” ucap Najwa.
“Cara menenangkan diri bukan larut dalam kesedihan seperti ini, Arkan. Ini namanya meratapi nasib, bukan menenangkan diri. Kamu masih punya kami, punya bunda, abah, semua sayang sama kamu. Meski kamu kehilangan satu cinta, tapi kamu masih memiliki orang-orang yang tulus mencintai kamu,” tutur Raffi.
“Iya, Kak Arkan tahu itu, tapi kakak tahu sendiri kan, rasanya seperti apa?” ucap Arkan.
Dio dan Raffi terus memberi nasihat pada adiknya. Bagaimana pun, Arkan memang masih sangat dini mengenal cinta. Cinta memang bisa merubah segalanya, yang indah menjadi sedih, begitu juga sebaliknya, yang sedih menjadi indah.
Soal perasaan memang tidak bisa dianggap sepele, apalagi kalau logika tidak digunakan, bisa-bisa menjadi boomerang dalam dirinya. Seperti Dio dan Najwa dulu, yang pernah menjalin hubungan dan nekat melakukan segala hal agar cintanya tak terpisahkan.
“Cinta itu juga butuh logika, Arkan. Kamu seperti ini bukan berarti kamu kalah, kamu tidak bisa mendapatkan orang yang sangat kamu cintai, bukan berarti kamu kalah, dan kamu terus berusaha memenangkannya. Kadang dengan adanya hal seperti yang kamu alami sekarang, kamu akan menemukan kebahagiaan lain,” ujar Dio. “Kamu belajar dari pengalaman abah, Kak Dio, dan Kak Najwa,” imbuh Dio.
“Arkan sudah janji pada diri Arkan, Kak. Arkan akan menutup hati Arkan untuk wanita lain, Arkan tidak bisa mencintai wanita lain selain Thalia,” ucap Arkan.
“Oke, tidak masalah kamu bicara seperti ini sekarang, tidak tahu hari esok, lusa, dan seterusnya. Karena kehidupan itu berputar, Arkan. Tidak berhenti di sini saja,” ucap Shifa.
“Ya... ya.... yaaa .... kalian bisa saja bicaranya. Memang hebat ya kakak-kakakku ini? Mana keponakanku?” tanya Arkan yang sudah ingin menghentikan topik pembicaraan yang membahas soal hatinya.
“Tuh di luar, gini dong, namanya Arkan. Masa seorang Arkan terpuruk dan jadi kurus kering karena ditinggal kekasih,” ujar Raffi.
“Kayla kangen sama kamu. Sudah, jangan sedih lagi, jangan terlalu meratapi nasib kamu, masa depan kamu masih sangat panjang. Masalah jodoh, hanya Allah yang tahu, serahkan padaNya, kamu pasti akan mendapatkan yang terbaik,” tutur Najwa.
Semua memeluk Arkan, betapa beruntungnya dia memiliki empat kakak yang sangat menyayanginya, dan selalu membarikan dukungan positif untuk dirinya. Arkan yang umurnya dua belas tahun labih muda dari kakaknya, dan adik yang paling kecil, membuat semua kakaknya sangat menyayanginya.
“Kalian memang kakak terbaiku, dan saudara terbaik dalam hidupku,” ucap Arkan yang masih berada di pelukan kakaknya.
Arkan keluar dari kamarnya, dia menyambut keponakannya yang sedang bermain dengan bunda dan abahnya. Suasana rumah Arkan menjadi rame, karena kakaknya pulang bersama dengan suami dan istrinya, serta anak-anaknya.
“Kalian lagi main apa, Sih?” Arkan mendekati empat keponakannya yang sedang bermain bersama bunda dan abahnya.
“Yeayyy... ada Om Arkan. Om, aku mau tidur sini, satu minggu, biar main sama Om terus,” ucap Kiara dengan bergelayut manja pada Arkan.
“Iya, kalian harus bobo di sini, satu minggu, jangan hanya Kiara saja, kamu juga ya, Key?” ucap Arkan. Dan, hanya di jawab dengan anggukan Keyla.
Arkan sejenak melupakan kesedihannya karena ada empat keponakannya yang lucu, belum lagi jika ada anaknya Rana dan Farrel di sini, pasti Arkan yang menjado rebutan keponakannya.
“Dah, kamu jadi baby sitter aja, daripada kamu murung terus di kamar,” ujar Arsyad.
“Abah, apaan sih, enggak lucu ihh...,” ucap Arkan.
^^^
Sudah satu bulan setelah pernikahan Thalia, Arkan semakin yakin, jika dirinya akan menutup hatinya untuk wanita lain. Namun, dia sebisa mungkin tidak terpuruk lagi karena patah hati. Dia sadar, bengkel butuh dirinya, dan dia juga harus menyelesaikan kuliahnya karena tidak ingin mengecewakan orang tuanya.
“Pagi, Bunda....” Arkan mencium bundanya yang sedang menata sarapan di meja makan.
“Pagi anak bunda yang tampan. Gini dong, dilihatnya kan seger, enggak seperti kemarin,” ucap Annisa dengan mencium pipi Arkan.
“Bunda besok Arkan mau touring sama Rangga dan lainnya, lama sudah tidak pernah touring, boleh, kan?” pamit Arkan.
“Iya boleh, yang penting bunda tidak ingin melihat kamu terpuruk lagi,” uca Annisa.
“Bunda, Arkan mohon, bunda jangan berhubungan dengan keluarga bunda di berlin lagi, ya? Juga dengan Tante Rere,” pinta Arkan.
“Ehhmm... sebenarnya bunda memang sudah menghapus semua kontak mereka, bahkan bunda ingin mengganti nomor bunda biar mereka tidak menghubungi bunda, tapi bunda masih menghargai perasaan kamu, Nak,” ujar Annisa.
“Bunda, Arkan juga ingin bicara seperti itu pada Bunda, tapi Arkan menghargai perasaan bunda. Sudah lah, yang lalu biarlah berlalu, Arkan sudah ikhlas dengan semua itu, Bunda,” ucap Arkan.
“Harus seperti itu, anak bunda yang satu ini dan paling tampan, jangan sampai kucel lagi, boleh kucel kalau di bengkel,” ujar Annisa.
“Jadi abah gak tampan?” ucap Arsyad yang baru saja keluar dari kamarnya.
“Siapa bilang abah gak tampan, kalau abah gak tampan, gak mungkin anak abah setampan ini,” jawab Annisa.
“Abah dosen tertampannya bunda, kan?” ledek Arkan.
“Iya, tapi sayang bunda dulu menolak,” sahut Arsyad.
“Ya, karena abah kamu angkuh, sombong, pendiam, ternyata seperti ini orangnya,” ucap Annisa.
“Jangan buka kartu merah, Bun,” ujar Arsyad.
“Sudah ah sarapan dulu,” ucap Annisa.
Semua kembali seperti biasanya lagi. Arkan sudah mulai menepikan rasa sakit hatinya, meski belum kering luka yang ia emban karena cinta. Setiap embusan napasnya hanya ada Thalia yang Arkan ingat.
“Suatu hari nanti, jika Tuhan menghendaki, aku akan bertemu kamu kembali, Lia. Aku yakin itu,” gumam Arkan.