Chapter 17 - Samudera Kenangan

2410 Kata
Semua kembali seperti biasanya lagi. Arkan sudah mulai menepikan rasa sakit hatinya, meski belum kering luka yang ia emban karena cinta. Setiap embusan napasnya hanya ada Thalia yang Arkan ingat. “Suatu hari nanti, jika Tuhan menghendaki, aku akan bertemu kamu kembali, Lia. Aku yakin itu,” gumam Arkan. ^^^ Arkan memarkirkan sepeda motornya di tempat parkir. Dia sejenak mengingat aktivitas sehari-harinya sebelum Thalia menikah. Setiap pagi, saat dia sudah sampai di tempat parkir kampusnya, dia selalu menelfon atau video call dengan Thalia. Namun, sekarang beda. Sudah tidak ada canda dan tawa dengan Thalia, sudah tidak bisa lagi mendengar suara manja Thalia yang menangis saat menelfonnya karena rindu yang menggebu. Sejuta kenangan benar-benar memenuhi pikiran Arkan saat ini. Arkan tidak bisa memungkiri, melupakan Thalia adalah hal terberat dalam hidupnya, tidak seperti melupakan seseorang yang dulu juga pernah dicintainya, seperti Lily atau seseorang yang pernah ia taksir lainnya. Arkan terus berlayar di samudera kenangan dengan Thalia. Dia semakin tenggelam mengingat semuanya, mengingat apa yang telah ia lalui selama bersama Thalia. “Kak maaf, bisa geser sepeda motornya?” ucap mahasiswi yang suaranya tak asing bagi Arkan. “Kamu lagi, kamu lagi.” Arkan bicara dengan lirih dan menggeser sepeda motornya. “Makanya kalau parkir jangan serakah, Mas,” ucap mahasiswi itu. “Silakan, Mbak....” Arkan mempersilakan dia memarkir motornya dan langsung pergi meninggalkan mahasiswi tersebut dengan kesal karena membuyarkan lamunan Arkan tentang Thalia. Arkan berjalan menuju kelasnya. Sebenarnya dia masih ingin di rumah, tidak ingin bertemu dengan siapa-siapa, tapi dia juga berpikir kalau dirinya punya masa depan yang harus ia raih. Arkan menghampiri Rangga dan duduk di sampingnya. Arkan memang satu bulan jarang berangkat ke kampus. Dia mengerjakan semua tugas kuliahnya di rumah, tanpa tatap muka dengan dosennya. “Sudah?” tanya Rangga. “Sudah apanya?” Arkan balik bertanya pada sahabatnya itu. “Sudah meratapi nasibnya? Kamu mau jadi apa kalau gini terus, Arkan...,” ucap Rangga. “Entahlah, Ngga, aku tidak tahu. Kamu pasti tahu, kan? Rasanya seperti apa?” ucap Arkan. “Ya aku tahu, aku pun sama, tapi aku tidak pernah sampai down seperti kamu,” ucap Rangga. “Lo mah karena gagal masuk TNI AD, jadi seperti ini, Ngga?” ujar Arkan. “Iya, aku gagal di tes terakhir, dan sebulan setelah itu, aku gagal lagi, hubunganku dengan Anya harus kandas, karena Anya dijodohkan dengan anaknya sahabat papanya. Kamu tahu rasanya? Sudah jatuh tertimpa tangga pula, dan tertindih beton!” jelas Rangga dengan menepuk punggung Arkan. “Jangan karena cinta, kamu gagal segalanya. Aku mengalami itu semua sebelum kamu,” imbuh Rangga. “Kamu putus dengan Anya?” tanya Arkan. “Yah... ketinggalan jaman kamu, bro...! Sudah lama. Katanya kamu sahabat ku, malah enggak tahu,” jawab Rangga. “Siapa suruh enggak cerita,” ucap Arkan. “Karena aku yakin, setelah kejadian itu ada hal yang lebih baik lagi untukku,” jawab Rangga. “Makanya, sudah jangan sedih mulu, ikut touring dengan anak-anak motor sebelah, pasti seru,” ujar Rangga. “Hmmmm.... aku ikut, enggak ada yang bawa pasangan, kan?” tanya Arkan. “Enggak ada sih, tapi ada juga cewek yang ikut, dan mereka pada bawa motor sendiri, sih,” jelas Rangga. “Enggak salah cewek bawa motor sendiri? Enggak bahaya tuh?” ujar Arkan. “Udah biasa kali, kamu aja enggak pernah sama aku sekarang, sibuk ngurusin Thalia terus kamu,” ucap Rangga. “Ya, seperti itulah,” ucap Arkan dengan memijit keningnya. “Nanti, kita kumpul di kantin, bahas rute touring kita. Pokoknya seru deh, harus ikut kamu.” Rangga memaksa Arkan untuk ikut, karena dia tidak ingin Arkan terus meratapi nasibnya yang seperti itu. ^^^^ Arkan berjalan mengekori Rangga untuk berkumpul dengan teman-teman komunitasnya Rangga. Arkan sebenarnya tidak ingin ikut kumpul, tapi mau bagaimana lagi, Rangga memaksanya, dan ada benarnya juga Rangga mengajak dirinya, agar dirinya tidak terlalu larut dalam kesedihannya. Setelah Rangga gagal menjadi TNI-AD dan putus dengan Anya, dia masuk ke komunitas Touring temannya. Itu semua agar dirinya tidak terlalu larut dalam kesedihan kaena gagal mencapai impiannya. Arkan duduk di samping Rangga, dia dikenalkan dengan teman-teman Rangga yang sudah menunggunya. “Ini yang katanya teman kamu itu, Ngga?” tanya salah satu teman Rangga. “Iya, Dev,” jawab Rangga. “Selamat bergabung, aku Devan, senang bertemu dengan kamu, dan alhamdulillah punya kawan baru lagi. Aku ketua komunitas di sini,” ucapnya dan menyambut Arkan dengan hangat. “Aku Arkan, terima kasih sudah mengizinkan aku bergabung di sini, Devan,” ucap Arkan. “Ini sudah kumpul semua, kan?” tanya Rangga. “Masih ada yang belum selesai kelas sih, tunggu saja sebentar,” jawab Devan. Arkan mengobrol dengan teman barunya, entah siapa lagi namanya, dan mengobrol sesuai alur saja agar dia tidak memikirkan Thalia yang telah pergi dari hatinya. “Hai maaf, terlambat,” ucap seorang mahasiswi. “Halaaahhh... kebiasaan kamu, Ca,” ucap Devan. “Seperti tidak tahu aku sedang berhadapan dengan dosen yang super galak!” ujar mahasiswi yang di panggil Devan dengan panggilan Ica. “Kamu jadi mau ikutan program akselerasi, Ca? Kamu kan baru masuk semester dua ini, Ca? Otak kamu itu isinya apa, Ca? SMA kamu lewat jalur  Akselerasi, ini kuliah juga iya?” Devan mencecar pertanyaan pada Ica. “Ya, kan buat persiapan nanti, kamu tahu kan, aku harus dapat nilai A. Dan dosen itu selalu saja ngasih nilai B. Apa salahku coba?!” ucap Ica yang saat itu diliputi kekesalan karena dia habis protes dengan dosennya. “Masih mending lo B, nah gue, C,” celetuk Willy, salah satu anggota lagi. “Sudah, sudah, ini ada anggota baru, Ca. Kamu kenalan dulu, deh,” ucap Rangga. “Eh kamu yang tadi, kan?” ucap mereka bersamaan. “Kalian saling kenal?” tanya Rangga. “Dia pemilik Bengkel AR Otomotif, kan?” tanya Ica. “Jadi kamu pemilik bengkel langganan kita, bro?” tanya Willy. “Iya, bengkel itu punya ayahku, tapi aku yang melanjutkan sejak aku SMA,” jawab Arkan. “Kenalkan aku Frischa, teman-teman biasanya memanggiln aku Ica.” Frischa mengulurkan tangannya dan dan Arkan menjabatnya. “Arkan,” jawabnya dengan dingin. “Oke, kita kembali ke jalan yang benar lagi,” ucap Devan. Ada beberap cewek yang ikut dalam komunitas yang diketuai Devan. Semua anak-anak di dalam komunita itu sangat solid, dan benar-benar persahabatannya kental sekali. Arkan juga semakin akrab dengan teman yang lainnya, kecuali dengan teman cewek, dia sangat dingin sekali dengan cewek. Memang Arkan seperti itu, sebelum mengenal Thalia pun, dia dingin dengan cewek, tapi tidak sedingin sekarang. Setelah sudah selesai membahas untuk touring minggu depan, Arkan langsung pamit dengan Rangga dan lainny untuk ke bengkel. Pekerjaannya di sana sudah ia tinggalkan selama berminggu-minggu. Dia tidak ingin mengecewakan pelanggannya karena keadaannya sekarang ini. “Aku cabut dulu, ya? Kasihan temanku sudah di bengkel dan banyak sekali pekerjaan yang belum selesai,” pamit Arkan. “Oke, thanks, sudah mau gabung dengan kita,” ucap Devan. Arkan langsung meninggalkan semuanya. Dia tidak mau lama-lama kumpul dengan mereka yang sudah tidak membahas hal penting. Arkan melajukan sepeda motornya menuju ke bengkelnya. ^^^ Arkan sudah sampai di depan bengkelnya. Rasanya dia enggan untuk masuk ke dalam. Lagi dan lagi dia ingat semua hal yang dia lalui dengan Thalia di bengkelnya. Saat dia sudah sampai di bengkel, dia langsung mengabari Thalia, menelefon, atau video call dengan Thalia. “Lia, rasanya baru kemarin kita merajut cerita di sini, tapi sekarang, kamu sudah menjadi milik orang. Aku tidak bisa sepertri ini terus, aku harus bisa membesarkan bengkel Ayah Arsyil,” gumam Arkan. “Hei.... malah melamun! Ayo masuk.” Donni yang baru saja belanja sparepart langsung turun dari mobilnya dan menyapa Arkan. “Om Donni, kebiasaan sukanya ngagetin saja!” ucap Arkan dengan mencebikkan bibirnya. “Lagian kamu, siang bolong seperti ini melamun,” ujar Donni. “Sudah, jangan terlalu down seperti ini, Arkan. Kamu tidak boleh seperi ini. Lihat, bengkel ini butuh kamu,” tutur Donni. “Iya, Om. Rasanya seperti ini ya, Om? Sakit, tapi tak berdarah,” ucap Arkan. “Setiap manusia, pasti pernah merasakan patah hati, Arkan. Tapi ingat, jangan sampai kamu luruh dalam kesedihan kamu. Masa depan kamu masih panjang. Ayo masuk, semua pelangganmu sudah menanyakan mekanik terandal di sini,” tutur Donni. “Iya om, Arkan akan membenahi semua, Arkan akan mencoba menepis rasa sakit ini,” ucap Arkan. “Gitu dong, jangan sampai seorang Arkan sampai down karena cinta, cemen sekali kalau sampai seperti itu,” ujar Donni. “Iya, om, Iyaaa....” Arkan langsung masuk ke dalam meninggalkan Donni. Dia menghampiri Fajar terlebih dahulu, setelah itu ke dalam rumah dan mengambil baju wearpacknya untuk bekerja. Arkan kembali mengingat Thalia. Di mana pun dia berada, yang berhubungan dengan Thalia, pasti dia selalu ingat. Tapi, dia tidak ingin larut dalam kesedihannya. Arkan keluar dari dalam, dia langsung menuju pit kerjanya. Sudah lama sekali dia tidak menyentuh tools-setnya untuk bekerja. “Sudah meratapi nasibnya?” tanya Fajar yang sedang sibuk mengerjakan pekerjaannya. “Hmmm... seperti itulah,” jawab Arkan dengan mulai mengerjakan pekerjaannya. “Tuh lihat antreannya, banyak, kan? Mereka maunya kamu yang mengerjakan, kapan pun kamu datang, mereka menunggu. Makanya aku selalu cerewet supaya kamu cepat-cepat ke sini. Sudah, Arkan masa depan kamu masih cerah, lihat bengkel ini, butuh kamu,” ucap Fajar. “Iya, iya, kayak bapak kamu saja ih, cerewet!” tukas Arkan. “Kalau kamu gak di cerewetin, gak akan sadar, bos!” jawab Fajar. Arkan hanya tersenyum saja. Seberat apapun beban hati yang ia pikul, dia berusaha untuk kuat dan tegar. Semua demi orang-orang yang sangat menyayanginya, dan demi bengkel peninggalan mendiang Ayah Arsyil. “Mas, minggu depan kamu mau ikut touring?” Arkan menawari Fajar untuk ikut touring. “Ke mana?” tanya Fajar. “Tadi sih bahasnya ke daerah B, mau enggak?” jawab Arkan. “Minggu depan, ya? PR kita masih banyak tuh.” Fajar menunjukkan beberapa sepeda motor yang berasa di pit antrean. “Gampang, pasti selesai, Cuma beberapa motor saja kok,” ujar Arkan. “Iya, tapi itu berat-berat pekerjaannya, Arkan,” ucap Fajar. “Lihat ada berapa mekanik di sini? Jangan takut gak selesai, ikut, ya?” Arkan sedikit memaksa Fajar untuk ikut touring bersamanya. “Oke, aku ikut.” Fajar mengiyakan ajakan Arkan. Dia sebenarnya tidak ingin ikut touring, tapi karena Arkan semangat, dan ini adalah suatu kemajuan Arkan agar tidak terpuruk lagi karena Thalia. ^^^ Arkan sudah lama tidak ke cafe kakak sepupunya. Setelah dari bengkelnya dia mengajak Fajar ke cafe milik Rana. Arkan ingin menikmati kesendirian tanpa adanya kesedihan lagi di hatinya. Arkan memarkirkan sepeda motornya di samping sepeda motor Fajar. Mereka langsung masuk ke dalam cafe. “Baru putus cinta sampai gak pernah mampir ke sini,” ucap Rana. “Jangan terlalu terpuruk karena cinta, ingat masa depan kamu masih cerah, Arkan,” tutur Rana. “Ih, iya... iyaaa... kenapa semua orang cerewet sih hari ini?” ujar Arkan. “Karena kamu butuh di cerewetin!” tukas Rana. “Mau pesan apa?” tanya Rana. “Enggak usah tanya deh, kakak kan tahu apa kesukaan aku,” jawab Arkan. “Kali saja sudah berubah,” ucap Rana. Rana memanggil waitres untuk mencatat pesanan Arkan dan Fajar. Rana sedang menunggu Leo menjemputnya, karena Leo baru saja selesai meeting, jadi dia belum sempat menjemput Rana. “Kakak tumben belum pulang?” tanya Arkan. “Kak Leo belum jemput kakak, dia baru selesasi meeting, paling sebentar lagi,” jawab Rana. “Tumben Mbak Elin enggak di sini, Mbak?” tanya Fajar. “Dia sedang di cafe cabang,” jawab Rana. Mereka mengobrol dengan menikmati minuman kopi dan beberapa makanan ringan yang Arkan pesan tadi. Arkan tidak banyak belajar dari kakak dan sepupunya. Semua perjalanan cinta kakak dan sepupunya terlalu menguras emosi. Dan, dia yang baru seperti ini, ditinggal kekasihnya menikah dengan laki-laki lain yang tak lain adalah sepupunya sendiri, malah terpuruk seakan tidak ada gairah hidup lagi. “Kamu itu mau jadi apa kalau terpuruk terus. Tante Shita itu khawatir sama kamu dari kemarin tanya terus sama Pakde, karena kamu mengurung diri di kamar,” ujar Rana. “Kak Rana tahu bagaimana rasanya, kan?” ucap Arkan. “Iya, sih. Tapi, jangan seperti itulah, kamu kan laki-laki, Arkan,” ujar Rana. “Hmmm... ini sudah enggak, kan?” jawabnya dengan tersenyum. “Harus seperti ini dong, iya kan, Mbak?” ujar Fajar. “Wah ada yang sedang habis patah hati nih? Untung saja masih mau ke sini,” ujar Leo yang sudah datang untuk menjemput Rana. “Siapa yang patah hati? Aku kan sedang happy? Lihat, aku happy Kak Leo,” ucap Arkan. “Gini dong, namanya laki-laki,” ucap Leo dengan menepuk pundak Arkan. “Hmmm... iya... iya... sana ajak istri kakak pulang, kasihan sudah lama menunggu kakak, Nadia juga pasti sendirian, kan?” ujar Arkan. “Iya ini mau pulang, kita juga mau kencan dulu, sekalian dinner,” ucap Leo dengan mencium kepala Rana. “Jiahhh... udah tua kencan mulu, enggak tahu adiknya sedang patah hati,” ucap Arkan. “Kan sudah sembuh, sudah kakak cabut dulu, ya?” pamit Leo. “Ayo sayang, kita pulang,” ajak Leo. “Oke, Kak Rana pulang, ya?” pamit Rana. ^^^ Di tempat duduk lain, Frishca duduk bersama teman-temannya. Mereka bercanda dengan bermain uno stacko. Mereka terdengar ramai karena saking serunya bermain. Arkan melirik ke arah meja yang terdengar ramai tawa wanita. Pandangannya tertuju pada seseorang yang ia kenal. Dia melihat Frischa yang juga melihatnya. Frischa tersenyum pada Arkan, dan dia kembali melanjutkan bermain dengan teman-temannya. Frishca tidak mempedulikan Arkan yang terlihat dingin. “Ca, lo dari tadi lihat siapa?” tanya salah satu teman Ica. “Itu ada teman kuliah. Lebih tepatnya kakak tingkatku, sih,” jawab Frishca. “Oh, dia?” tanya teman Ica. “Yups, dia. Udah jangan dilihatin, dia orang aneh, dingin banget dengan perempuan,” ujar Ica. “Dia demen sesama kali... Sekarang jamannya kan seperti itu,” ujarnya. “Husss... jangan sembarangan....!” tukas Frischa. Arkan terus memandangi ke arah Frishca dan teman-temannya yang dari tadi seperti sedang membicarakan Arkan. Dia terus melihat Frishca dengan tatapan dingin hingga Frishca salah tingkah karena Arkan terus melihatnya. “Dia lagi, dia lagi... Dia mirip dengan Thalia, cara bicaranya, cerewetnya, dan aku lihat semangat dalam hal pendidikan pun sama dengan Thalia. Ah, enggak, sama sekali tidak mirip, mungkin karena aku masih selalu terngiang wajah Thalia, jadi semua yang berhubungan dengan Thalia terus muncul.” gumam Arkan. Arkan tidak pernah bisa sehari tidak memikirkan Thalia, setiap hal yang ia lalui, dia selalu mengingat kenangan bersama Thalia.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN