Mata Cita terbuka perlahan, ketika mendengar namanya dipanggil hingga berkali-kali. Ia mengerjap pelan, guna menjernihkan pandangan yang sempat mengabur dan memastikan sosok pria yang berada di hadapannya. “Kak ... Duta?” gumam Cita sambil berusaha bangkit, tetapi kedua bahunya ditahan oleh pria itu. “Baring aja,” titah Duta lalu menoleh pada security yang masih berdiri di sebelahnya. “Pak, tolong ambilin air putih di belakang. Kalau ada yang hangat.” “Oke, Mas, Oke.” “Itu, Pak ... kena—” “Kamu pingsan di gudang,” sela Duta akhirnya bisa bernapas lega. Ia akhirnya bersila di karpet di samping Cita, lalu menggeletakkan kapas dan minyak kayu putih begitu saja. “Kok ...” Cita memegang kepalanya sambil mengingat-ingat. Yang Cita tahu, hal terakhir yang ia lakukan adalah membaca surat Ary

