Tentang Sebuah Perasaan

1323 Kata
“Tentu saja tidak,” sahut Ema. Ia menoleh sekitar, lalu kembali menata Tiffany. “Jam istirahat hampir selesai, aku harus segera menghabiskan kopiku,” ucapnya lalu berlalu begitu saja. Tiffany menatap kepergian Ema. Entah kenapa tiba-tiba hatinya berbisik sesuatu, ‘Dia tidak mungkin sengaja melakukannya, kan?’ pikirnya. Sementara diwaktu yang sama, di ruang kerja megah berlapis kayu mahoni, Adrianus duduk di kursi kulit hitam yang besar. Di depannya berdiri salah satu anak buah kepercayaannya, Willem, yang baru kembali membawa laporan sesuai perintahnya. “Jadi informasi apa yang kamu dapatkan?” “Kami telah menyelidiki latar belakang gadis itu secara detail. Nama lengkapnya Tiffany Amalia Halim, putri dari mendiang Natalia Gunawan. Ibunya meninggal beberapa tahun lalu karena sakit. Sejak itu Tiffany tinggal bersama ayahnya, Billy Halim, yang dikenal sebagai penjudi berat. Selain itu, Nona Tiffany hanya pernah memiliki hubungan dengan seorang pria empat tahun yang lalu, tapi hubungan itu kandas karena perselingkuhan. Dan sampai sekarang nona Tiffany masih single, dia fokus mencari uang untuk menutup hutang-hutang kedua orang tuanya. Kami juga mendapat informasi bahwa beberapa hari lalu Billy sempat disekap oleh para rentenir, karena tidak mampu membayar hutang. Dan gadis itu datang menemui Tuan Brian, untuk meminta bantuan agar ayahnya dibebaskan.” “Jadi mereka belum lama kenal?” tanya Adrianus. “Menurut informasi yang saya dapat, Nona Tiffany baru pertama kali datang ke kantor menemui tuan Brian. Dan itu adalah pertemuan pertama mereka, Tuan.” Adrianus mengangguk pelan. Sorot matanya tajam, namun bibirnya membentuk senyum samar. “Hmm… anak itu mau membohongiku rupanya. Aku sudah bisa menebaknya sejak awal, jika Brian hanya ingin memberikan pernikah yang sudah di setting, untukku.” Adrianus menghela nafas. “Baiklah cucuku, kakek akan mengikuti permainanmu,” imbuh Adrianus, lalu ia menatap Willem. “Meski asal-usulnya sederhana, tapi aku bisa melihat ada sesuatu yang berbeda darinya. Dia gadis yang berani, tangguh, dan rela berkorban demi keluarganya. Itu tipe perempuan yang seharusnya mendampingi Brian. Bukan begitu, Willem?” “Benar, Tuan.” Adrianus tersenyum. “Siapkan pernikahan mereka secepat mungkin. Aku tidak ingin menunggu terlalu lama, hingga anak itu berulah. Dan satu hal lagi, Willem… sore ini juga sepulang kerja, jemput Tiffany. Bawa dia untuk melakukan fitting baju pengantin. Buat gaun yang spesial untuknya, aku ingin acara ini meriah. Undang beberapa pers untuk meliput pernikahan mereka. Kita buat seluruh pelosok negri tahu, jika cucuku akhirnya menikah.” “Baik, Tuan.” Willem menunduk hormat, lalu pergi. Dia akan bekerja keras untuk melaksanakan perintah tuan besarnya tersebut. Dengan uang, pesta besar yang akan dilakukan dua hari lagi, pun akan mudah dilakukannya. >>>>>>> Setelah pertemuan siang tadi, Ema seperti menghindari Tiffany. Entah hanya perasaan Tiffany atau bukan, tapi setiap kali Tiffany ingin menanyakan sesuatu, maka Ema akan punya alasan untuk segera pergi. Tiffany membereskan meja kerjanya, lalu segera beranjak dari ruang kerjanya. “Tiffany, tunggu!” Suara seorang pria membuat Tiffany menghentikan langkahnya. Ia menoleh, menatap Jerry tengah melangkah cepat ke arahnya. “Apa benar kabar itu?” tanya pria yang berstatus sebagai kepala administrasi di kantor, sekaligus pria yang selalu menunggu Tiffany membuka hati untuknya. “Kabar apa?” “Aku dengar kabar… kamu akan menikah?” suaranya rendah namun penuh emosi. Tiffany menoleh kaget. “Jerry? Dari mana kamu—” “Jawab aku!” potong Jerry tajam. “Apa benar kamu akan menikah dengan Brian Adam?” Tiffany terdiam sejenak, lalu mengangguk pelan. “Ya, benar.” Wajah Jerry memerah, lalu tertawa kecil. Tawa yang terlihat penuh luka dan kekecewaan. “Kenapa, Tiffany? Selama ini aku menunggumu, dan kamu tahu selama apa aku menunggumu. Katakan padaku, apa ini alasanmu selalu menolak perasaanku?” “Maafkan aku, Jerry. Aku tidak bisa menjelaskan semuanya sekarang. Tapi… aku tidak pernah memintamu menungguku.” Ucapan itu bagai pisau menusuk hati Jerry. Ia menatap Tiffany dengan mata penuh kekecewaan. Lalu mengangguk perlahan. “Kamu benar, kamu memang tidak pernah memintaku untuk menunggumu. Dan bodohnya aku selalu menunggumu,” ucap Jerry. Terlihat jelas matanya berkaca-kaca, membuat Tiffany merasa bersalah. “Maafkan aku Jerry, tapi kamu tahu sendiri jika perasaan tak bisa dipaksakan. Iya kan?” Jerry mengangguk, tapi hatinya benar-benar terluka. “Aku harap kamu bahagia dengan pilihan hatimu,” ucapnya yang langsung melangkah pergi. Tiffany hanya menatap kepergian Jerry dalam diam. ‘Aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya padamu, Jerry. Kamu orang baik, tapi aku benar-benar tidak mencintaimu. Kamu juga tahu jika hati tidak bisa dipaksakan, kan? Dan bukan hanya itu, aku juga tidak mau melukai perasaan Ema. Dia menyukaimu sejak dulu tanpa kamu sadari.’ Tiffany menghe nafas, lalu ia pun melangkah keluar. Namun Tiffany sedikit terkejut, saat ia keluar lobi saat itu juga seorang pria berjas hitam menghampirinya. “Nona Tiffany, saya diutus oleh Tuan Adrianus untuk menjemput anda. Silakan ikut, kita harus pergi untuk fitting gaun,” ucap pria yang tak lain adalah Willem. Tiffany terperanjat dengan ucapan pria yang kemarin ia lihat selalu ada disamping kakek Brian. “Eh? Fitting gaun? secepat itu, ya?” “Pernikahan anda dengan tuan Brian akan dilakukan dua hari lagi, nona.” Tiffany menelan ludah, wajahnya memanas. Ia berpikir, jika Brian benar-benar ingin mempercepat pernikahan mereka. Padahal, meski ia menyetujui kontrak pernikahan tersebut, tapi ia ingin sedikit mengulur waktu untuk itu. “Nona, jika anda terus diam, maka kita akan menyelesaikan ini sampai larut malam,” ucap Willem. Mau tak mau Tiffany pun akhirnya menurut. Ia masuk ke dalam mobil. Dan sepanjang perjalanan ia hanya diam, tak berani bertanya appun pada Willem. Setelah sampai, Tiffany sempat terkejut melihat butik yang ia tahu adalah butik ternama. Bahkan ia pernah melihat sosmed butik tersebut, dimana kebanyakan adalah para miliuner yang datang untuk memesan gaun pengantin mereka. Mungkin pemilik butik mengenal siapa Willem, sehingga Tiffany pun dilayani layaknya tamu VVIP. Tiffany pun mencoba beberapa gaun pengantin di butik mewah disana. Namun saat Willem mengatakan, jika gaun yang Tiffany pakai harus limited edition, merak pun akhirnya mengambil bahan gaun. Kain satin putih, renda halus, hingga payet berkilau menempel di tubuhnya. Para asisten butik sibuk menyesuaikan ukuran, dan memastikan jika gaun itu benar-benar cocok untuk Tiffany dan tidak mengecewakan Adrianus. Sementara Tiffany masih tak percaya dirinya sedang melalui proses ini. “Tuan Adrianus meminta kalian untuk menyelesaikan gaun nona Tiffany secepat mungkin. Paling lambat dua hari,” ucap Willem. “Dua hari? Itu waktu yang sangat singkat, Tuan,” sahut Milen, pemilik butik. “Jika kalian tidak sanggup, maka kami akan mencari—” “Kami akan usahakan. Kami akan lembur dan memastikan selesai tepat waktu,” ucap Milen cepat sebelum Willem berubah pikiran. “Kalian bisa jamin tidak akan mengecewakan?” tanya Willem dingin. Milen terlihat ragu, tapi ia juga tidak bisa menyia-nyiakan kesempatan ini. Banyak butik lain menunggu orderan dari keluarga Van Helder, jadi mana mungkin dia akan mengatakan tidak sanggup. “Em, kenapa kita tidak pilih gaun yang sudah jadi saja? Kan, banyak yang bagus juga?” ucap Tiffany tiba-tiba. “Tuan Adrianus menginginkan gaun istimewa untuk anda, Nona. Lagipula mereka juga sanggup untuk membuatnya dalam waktu singkat. Bukan begitu, Milen?” “Ya, tuan Willem benar. Kami pasti akan menyelesaikannya tepat waktu.” Tiffany pun hanya mengangguk. Sementara disisi lain, Brian melirik ke arah Devon yang datang sendiri. “Bukankah aku menyuruhmu untuk menjemput Tiffany?” “Nona Tiffany sudah meninggalkan kantor lebih awal, Tuan. Menurut satpam di sana, sudah ada yang menjemput nona Tiffany sebelum saya datang.” “Ya sudahlah, lagipula pernikahan ini akan dilakukan secara tertutup. Kita fitting baju sehari sebelum hari-H saja. Sekarang antarkan aku ke The Black Star, aku ingin menikmati malam sebelum benar-benar dapat aturan baru dari kakek,” ucap Brian. Malam ini Brian menikmati malamnya dengan wanita-wanita cantik di club elit, tapi dia tidak tahu kejutan yang sedang disiapkan kakeknya. Ia ingin sedikit merahasiakan pernikahannya dari publik, tapi kakeknya justru sebaliknya. Sementara Tiffany, dia hanya boneka yang harus menurut tanpa tahu hidupnya akan berubah dalam waktu singkat. Bukan berubah karena menjadi istri orang, tapi ketenangan yang ia miliki akan hilang karena sebuah kemarahan yang tak pernah ia bayangkan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN