Dia Tidak Pantas disebut Ayah

1435 Kata
“Ingat, jangan sampai membuat masalah dan berperanlah sebagai pasanganku dengan baik,” ucap Brian dengan nada dinginnya. Tiffany memutar kedua bola matanya, lalu dengan sigap menggandeng tangan Brian. Tentu saja apa yang dia lakukan membuat Brian terkejut. “Apa yang kamu lakukan?!” “Berusaha berperan dengan baik sebagai pacar gadunganmu!” sahut Tiffany sedikit ketus. Brian menghela nafas, lalu kembali melangkah. Jantung Tiffany semakin gugup saat langkahnya semakin dekat ke arah pintu, dan begitu pintu terbuka, Tiffany langsung merasakan hawa dingin menusuk. Dari dalam rumah, seorang pria tua berjalan keluar dengan tongkat kayu berukir. Rambutnya memutih, namun sorot matanya tajam, penuh wibawa. Garis rahangnya keras, wajahnya menyimpan bekas luka samar. Aura yang dipancarkannya membuat Tiffany merasakan sesuatu yang menakutkan. Adrianus van Helder, kakek Brian. Mantan mafia yang kini dikenal sebagai pengusaha besar dengan pengaruh tak terhitung. “Selamat malam, Kek,” Brian mendekat, lalu mengecup memeluk sang kakek. Tiffany tertegun, buru-buru ikut melangkah. Adrianus menoleh padanya. Tatapan matanya menusuk, seolah menilai dari ujung kepala sampai kaki. “Dan ini gadis yang kau bawa?” suaranya berat, penuh wibawa. Tiffany menunduk sopan, berusaha menahan gugup. “Perkenalkan, saya Tiffany, Kek.” “Hmm,” Adrianus menyipitkan mata. “Kamu cantik… meski aku bisa lihat rasa takutmu. Jangan khawatir, kamu akan baik-baik saja selama tidak membuat kesalahan.” Tiffany terdiam, lalu tersenyum canggung. Brian melingkarkan tangan ke bahunya, membuatnya terlonjak kecil. “Jangan menakuti Tiffany. Dia sudah cukup gugup bertemu denganmu, Kek.” Senyum tipis muncul di wajah Adrianus, gurat-gurat tua membuatnya terlihat lebih ramah. “Aku hanya menguji nyali. Tapi ternyata dia masih berani tersenyum.” Mereka pun masuk dan duduk di ruang tamu. Tiffany duduk dekat Brian dan tak melepaskan tangannya dari pria tersebut. “Apa yang membuatmu menyukai cucuku?” Pertanyaan itu sungguh membuat Tiffany kebingungan. Ia terdiam, tapi tatapan mata Adrianus seakan memaksanya untuk segera menjawab. Tiffany mencoba bersikap natural. Ia menoleh ke arah Brian sambil tersenyum. “Brian selalu membuatku tenang, Kek. Meski kadang sikapnya dingin, tapi aku tahu dia sangat mencintaiku. Aku tidak punya alasan pasti, kenapa aku begitu takut kehilangannya.” Brian jelas terkejut dengan akting spontan Tiffany. Tapi ia merasa puas dengan jawaban Tiffany, yang terdengar cukup meyakinkan kakeknya. Ia meraih tangan Tiffany dan mengecup punggungnya. “Dia yang membuatku bertahan dari semua kesibukan, dan dia juga yang membuat aku merasakan apa artinya hidup,” sahutnya dengan nada meyakinkan. Adrianus terkekeh. “Romantis juga kalian berdua. Siapa sangka cucuku yang keras kepala ini, akhirnya bisa jatuh hati pada seorang gadis kecil sepertimu.” Tiffany merona, meski dalam hati ia bergumam, ‘jatuh hati dari mana, kek? Ini semua sandiwara, bahkan aku ingin muntah mendengar ucapannya tadi.’ Mereka mengobrol lebih lama. Ternyata di balik sosok menakutkan itu, Adrianus justru hangat. Ia gemar bercanda, bahkan sempat membuat Tiffany tertawa dengan cerita masa mudanya. Namun saat suasana semakin akrab, kalimat yang keluar dari mulut Adrianus membuat Tiffany tercekat. “Kalau begitu, tidak ada alasan untuk menunda. Kakek ingin pernikahan kalian dipercepat. Bagaimana jika weekend ini?” Tiffany terbelalak. “Secepat itu, Kek?” Adrianus mengangguk mantap. “Ya. Kakek tidak mau membuang waktu. Lagipula, kakek berharap kamu bisa merubah tabiat buruk Brian. Dan segera memberikan cucu buyut untukku, sebelum aku pensiun dari dunia ini.” Kata-kata itu membuat Tiffany menoleh ke arah Brian, yang hanya memasang wajah datar seolah tidak peduli. Namun dalam hati Tiffany menjerit. ‘Merubah tabiat Brian? Duh, Kek… itu misi yang mustahil. Bagaimana bisa merubah tabiat tukang teh celup sepertinya?’ Namun bagaimanapun juga, Tiffany tak bisa menolak. Weekend, maka hari itu akan menjadi hari pernikahannya dengan Brian. Setelah perbincangan hangat hingga malam, akhirnya Brian dan Tiffany pamit. Adrian tersenyum hangat mengantar mereka hingga pintu utama, dan begitu mobil mereka hilang di balik gerbang, senyum diwajahnya seketika hilang. Adrian mengangkat tangannya, seketika orang kepercayaannya pun mendekat. “Cari tahu semua tentang gadis itu, jangan ada yang tertinggal sedikitpun informasi tentangnya,” perintahnya. “Baik, Tuan.” >>>>>>>>>> “Aktingmu bagus juga,” ucap Brian. “Terimakasih atas pujiannya,” sahut Tiffany sambil tersenyum, senyum palsu yang dipaksakan lebih tepatnya. “Besok Devon akan menjemputmu. Kita akan fitting baju dan mencari cincin untukmu.” “Bukankah kamu bilang kita akan menikah secara tertutup? Kenapa harus fitting baju segala?” Brin menoleh ke arah Tiffany. “Apa kamu lupa jika kakek ingin kita menikah weekend ini? Meskipun acara ini tertutup, tapi bukan berarti kamu akan memakai gaun murahan. Jadi menurutlah tanpa membuat aku muak dengan komplainanmu itu.” Tatapan mata dingin itu membuat Tiffany diam. Ia memilih menatap keluar jendela tanpa melanjutkan perdebatan. ‘Dia yang punya uang, dia yang berkuasa, dan dia juga yang punya aturan. Jadi bodo amat, sih. Sebaiknya aku nggak perlu ambil pusing.’ Mobil berhenti depan pintu gerbang, Tiffany turun dan langsung masuk kedalam rumah. Begitu dia membuka pintu, Billy langsung menoleh ke arahnya. “Akhirnya kamu pulang juga. Apa tadi tuan Brian yang mengantarmu?” tanya Billy. Tiffany hanya mengangguk, matanya menatap ke arah meja ruang tamu. “Apa ayah akan terus menghitung uang itu?” Billy tersenyum. “Tentu saja tidak. Ini beda lagi, sayang.” “Uang dari mana lagi?” “Coba tebak,” sahut Billy masih dengan senyum bangga. Tapi Tiffany bergeming menatap ayahnya. “Nomorku tembus dan menang. Kita jadi kaya, Tiffany,” imbuh Billy. Tiffany hanya menghela nafas sambil memutar kedua bola matanya. Ia memasang wajah datar, lalu melangkah ke kamarnya. “Tiffany! apa kamu tidak senang Ayah menang. Lihatlah, ayah dapat lima puluh juta, setara gaji kamu lima bulan.” Tiffany menghentikan langkah, lalu menatap ke arah sang Ayah. “Apa yang harus aku banggakan dengan uang hasil judimu itu, Yah? Lagipula, Ayah menang judi baru kali ini. Tapi apa ayah lupa berapa kali kalah judinya? sudah sepuluh kali lipat dari yang ayah dapatkan hari ini. Dan kekalahan ayah itu yang membuat kita banyak hutang, sampai aku terpaksa harus menikah dengan pria jahat itu!” jelas Tiffany mengeluarkan kekesalannya. “Tunggu,” ucap Billy, ia langsung menghampiri Tiffany. “Apa maksudmu kamu, kamu akan menikah dengan tuan Brian?” “Ya, sebagai istri kontraknya yang pasti berada di bawah aturannya.” “Itu artinya kamu juga akan dapat uang darinya, selama kamu jadi istrinya. Iya kan?” Tiffany terdiam, menatap Billy dengan tatapan penuh amarah. “Kenapa kamu malah diam, Tiffany?” tanya Billy kembali, bahkan ia tak peduli dengan tatapan Tiffany yang jelas terlihat marah padanya. “Apa Ayah hanya memikirkan uang tanpa memikirkan nasibku?! Meskipun aku mendapat uang darinya, tapi aku juga harus mengorbankan masa depanku. Apa Ayah tidak peduli itu?!” sahut Tiffany. Nada bicaranya meninggi penuh amarah. Billy justru langsung tertawa bahagia, bahkan menepuk-nepuk bahu putrinya. “Akhirnya! Tiffany, kamu benar-benar membuat Ayah bangga. Kamu akan jadi nyonya kaya! Hidupmu akan terjamin. Jangan khawatirkan masa depanmu, sayang. menikah dengan tuan Brian, sudah pasti masa depanmu terjamin bagus. Ayah yakin itu.” Namun hati Tiffany semakin sakit. Ia menatap ayahnya dengan getir. Andai Billy bukan satu-satunya keluarga yang tersisa, mungkin ia sudah pergi dan tak pernah kembali. Bahkan mungkin ia akan membiarkan Billy mati di tangan para rentenir itu. >>>>>>>>> Keesokan Harinya, Tiffany datang ke Kantor seperti biasa. Namun kali ini, ia masuk ke ruangannya dengan wajah muram. Ema, sahabat sekaligus rekan kerjanya, langsung menyapanya dengan rasa ingin tahu. “Kenapa wajahmu kusut begitu?” tanyanya sambil menyeruput kopi. Tiffany menghela napas panjang. “Kamu pasti tidak akan percaya dengan takdir mengerikan di hidupku, Ema.” “Apa?” Tiffany menatap Ema dengan wajah memelas. “Aku akan menikah, Ema.” “Benarkah? Dengan siapa?” tanya Ema tanpa terkejut sedikitpun, lalu ia menyesap kopi panasnya. “Brian.” Pffff! Ema hampir menyemburkan kopi di mulutnya, bahkan ia sedikit terbatuk karena sangking terkejutnya. “Brian Adam? Orang yang aku sarankan agar kamu datang menemuinya untuk minta bantuan?” Tiffany mengangguk lemah. Ema menutup mulutnya, antara kaget dan tak percaya. “Astaga, Tiffany! Itu kabar luar biasa! Semua gadis di luar sana rela mati demi bisa berdampingan dengan dia. Dan kamu… kamu justru yang dipilih?” Tiffany mendengus. “Luar biasa apanya? Aku bahkan tidak mencintainya.” “Cinta itu tidak penting, Fan. Setidaknya dia mau menikahimu tanpa hanya menjadikanmu sebagai wanita pemuasnya, iya kan? Tiffany langsung menoleh. “Apa maksudmu?” “Emmm.., setahuku, dia adalah pria kaya yang suka menikmati wanita. Sebelumnya aku ragu menyarankan kamu datang padanya, karena aku yakin dia tidak akan meminjamkan uang secara mudah. Tapi—” “Tunggu,” potong Tiffany. “Kamu sudah tahu sebelumnya, jika dia akan meminta imbalan yang menjijikan dengan uang yang akan ia keluarkan? Kamu tidak sengaja mengirimku ke sana, kan Em?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN