Semua mata pegawai yang berada di sana otomatis menunduk penuh hormat. Yang datang bukan sembarang orang, dialah Devon, tangan kanan sekaligus asisten pribadi Brian Adam.
Meski semua terlihat begitu takut dan hormat pada Devon, tapi tidak bagi Tiffany. Gadis itu justru menatap Devon dengan wajah datar, seakan kehadiran pria itu bukan hal besar. Emily yang sedari tadi kesal dengan sikap Tiffany segera memanfaatkan kesempatan itu, kesempatan yang menurutnya adalah kebodohan Tiffany.
“Tuan Devon, perempuan ini sejak tadi membuat keributan di lobi. Dia mengaku ingin bertemu dengan Tuan Brian, padahal jelas sekali penampilannya tidak pantas. Dia bahkan berani bersikap kurang ajar pada saya,” ucap Emely.
Ucapan Emely membuat Devon menoleh dan menatap Tiffany dingin.
Tapi Tiffany justru terkekeh pelan, tidak mau kalah. “Justru aku yang harus mengadukanmu. Kamu pegawai yang sama sekali tidak tahu sopan santun melayani tamu. Kamu pikir aku mau berdiri di sini hanya untuk pura-pura? Aku datang karena memang diundang. Kalau perlu, aku harap Tuan Devon melaporkanmu langsung ke HRD untuk segera dipecat.”
Emily mendengus kasar. “Ha? Gadis miskin sepertimu berani berharap aku dipecat? Jangan mimpi. Tuan Brian tidak mungkin membuang pegawai setia hanya karena sampah seperti—”
“Cukup!” Belum sempat kata-kata kasarnya selesai, Devon yang sejak tadi diam menatap dingin. Suara beratnya terdengar tegas.
Emily terdiam, wajahnya langsung memucat.
Tanpa banyak basa-basi, Devon mengeluarkan ponselnya, menekan nomor dengan cepat, lalu berkata datar, “Segera proses pemecatan resepsionis atas nama Emily.”
Emily ternganga, wajahnya pucat pasi. “T-tunggu, Tuan Devon… Apa saya tidak salah dengar? Anda menurut dengan ucapan wanita ini?” tanya Emely tak percaya.
“Kesalahanmu adalah melayani tamu secara arogan. Tuan Brian tidak akan menyukai itu.”
“Tapi, tuan, saya….,” ucapan Emelly menggantung. Ia mulai menyadari sebuah kesalahan, ia menunduk. “Tuan, saya mohon… saya khilaf. Saya minta maaf.”
Namun Devon hanya menatapnya tajam tanpa emosi.
Tiffany merasa menang, ia pun melipat tangan di d**a, sedikit menyombongkan diri. Meskipun dia tidak begitu tahu alasan kenapa Devon mendengarkannya, tapi yang jelas Tiffany tidak akan menyia-nyiakan kesempatan untuk sombong di depan orang seperti Emelly.
“Sudah kubilang, kan? Melarangku tadi sama saja cari masalah, tapi kamu nggak percaya. Syukurlah akhirnya kau belajar.”
Emily menunduk, suaranya bergetar. “Saya minta maaf, saya salah. Nona, tolong bicara baik-baik pada Tuan Devon… jangan biarkan saya kehilangan pekerjaan.”
Tiffany menghela napas panjang, pura-pura berpikir lama. “Hm, seharusnya aku membiarkanmu menerima akibatnya. Tapi aku bukan orang sekejam itu. Anggap saja aku memaafkanmu… tapi ingat, jangan pernah ulangi sikap kurang ajarmu padaku lagi.”
Emily cepat-cepat mengangguk, wajahnya penuh penyesalan. Tiffany tersenyum puas, lalu menatap ke arah Devon.
“Bisakah kamu membatalkan pemecatannya, plisss,” ucap Tiffany penuh harap agar Devon mengabulkan permintaanya sekali lagi.
Tapi Devon justru menyipitkan matanya, seakan itu sebuah isyarat mengerikan untuk Tiffany.
“Tuan Brian sudah menunggu anda, Nona, jadi jangan buang waktu untuk masalah yang tidak penting sama sekali.”
Devon melangkah tanpa kembali menelpon HRD, untuk membatalkan pemecatan Emelly, ia pun menoleh ke arah Emelly.
“Maaf, tapi aku sudah mencoba,” ucapnya, lalu dengan tergesa menyusul Devon.
“Kenapa kamu begitu dingin seperti bosmu itu? Padahal kamu akan terlihat tampan jika cair sedikit saja,” ucap Emely dengan wajah yang ceria tanpa beban.
Sayangnya ia hanya mendapat tatapan dingin dari Devon.
Tiffany pun langsung mengalihkan pandangannya, diam hingga akhirnya pintu lift terbuka. Wajah ceria itu seketika redup saat mengingat jika dirinya akan bertemu Brian. Pria yang mendapat urutan pertama, dalam daftar orang yang paling ia benci saat ini.
Begitu pintu apartemen terbuka, Tiffany bisa melihat Brian yang sudah menunggu di ruang tamu apartemennya. Duduk dengan postur tegak, sorot matanya langsung tertuju pada Tiffany yang baru saja masuk.
“Kau terlambat,” ucapnya datar.
Tiffany mendengus. “Salahkan saja penjagaanmu yang terlalu berlebihan. Bahkan resepsionismu hampir saja membuatku dikeluarkan.”
Brian mengangkat alis, lalu menoleh pada Devon. “Sudah beres?”
“Sudah, Tuan,” jawab Devon singkat.
“Bagus.” Brian kembali menatap Tiffany. “Dengarkan baik-baik. Malam ini kamu akan ikut denganku ke rumah kakek. Aku ingin kamu bersikap seolah-olah kita pasangan yang romantis. Paham?”
Tiffany mengernyit. “Romantis…? Aku bahkan tidak mengenalmu dengan baik. Bagaimana aku bisa berpura-pura menjadi kekasihmu yang mesra?”
Brian mendekat, sorot matanya menusuk, membuat Tiffany sedikit mundur. “Kalau kamu tidak bisa, maka kontrak itu tidak berarti apa-apa. Aku tidak akan ragu membatalkannya, tapi sebelum itu….” Brian tak melanjutkan ucapannya, ia justru menatap ke arah d**a Tiffany.
Tiffany menelan ludah, dan reflek memegangi dadanya dengan kedua tangannya. “Baiklah. Kalau itu yang kamu mau, aku akan mencoba sebisaku. Tapi jangan salahkan aku kalau aktingku terlalu meyakinkan, dan membuatmu benar-benar jatuh cinta padaku.”
Brian langsung menatap dingin dan tajam ke arah Tiffany, membuat Tiffany langsung mengalihkan tatapannya. Niatnya mencairkan suasana ternyata tak disambut baik oleh Brian.
“Cepat ganti bajumu, dan jangan membuat aku menunggu lagi.”
Tiffany langsung menatap ke arah Brian. “Aku tidak membawa baju ganti. Lagipula ini sudah cukup sopan dan pantas, menurutku.”
“Pantas dimata kampunganmu itu maksudmu?” sahut Brian sinis.
Brian langsung menatap ke arah Devon, dan Devon pun langsung paham dengan tatapan itu. “Nona, mari,” ucapnya meminta Tiffany mengikutinya.
“Kemana?”
“Saya akan menunjukan tempat untuk anda berganti pakaian.”
Tiffany mengangguk, lalu ia mengikuti Devon. Sebuah kamar yang sengaja disediakan Brian untuk Tiffany. Beberapa gaun dengan merek mahal sudah disediakan, lengkap dengan peralatan makeup di meja rias.
“Gunakan waktu anda secepat mungkin agar tuan Brian tidak marah, nona,” ucap Devon kembali.
Tiffany mengacungkan jempol, lalu melangkah masuk. Ia tak lagi mengeluh dengan keadaannya saat ini, ia berusaha menikmati semuanya.
“Aku harap dia tidak membuat aku malu membawanya pulang menemui kakek,” ucap Brian pada Devon saat menunggu Tiffany.
Hingga akhirnya pintu kamar perlahan terbuka, dan Tiffany melangkah keluar dengan gaun biru safir yang membalut tubuh rampingnya. Potongan off-shoulder memperlihatkan leher jenjang dan bahunya yang anggun, sementara rambut hitam legamnya ditata dalam gaya low bun sederhana namun elegan. Beberapa helai tipis dibiarkan terurai di sisi wajah, memberi kesan lembut pada riasan natural yang ia poles–blush on peach di pipi, eyeliner tipis yang menajamkan sorot matanya, serta lipstik nude pink yang membuat bibir mungilnya tampak manis.
Sungguh, gadis keturunan tionghoa-surabaya itu terlihat sempurna.
Brian yang tengah berdiri menunggu sontak terdiam. Pandangannya terpaku, seolah lupa bernapas. Sorot matanya yang biasanya dingin nyaris retak, menyingkap sekelebat kekaguman yang berusaha ia sembunyikan.
Tiffany mengangkat dagunya sedikit, menyadari reaksi itu. “Apa aku cukup pantas untuk mendampingi seorang Brian Adam, sekarang?” tanyanya dengan nada menantang.
Brian cepat merubah cara pandangannya. “Setidaknya kamu tidak akan mempermalukanku di depan kakek.”
Tiffany hanya mengangkat kedua bahunya, berusaha untuk tidak kaget dengan respon datar Brian. Mereka pun beranjak menuju rumah kakek Brian.
Perjalanan menuju rumah utama keluarga Brian berlangsung hening. Tiffany duduk di samping Brian di dalam mobil mewah itu, sementara Devon menyetir dengan wajah dingin tanpa ekspresi. Tiffany berulang kali melirik ke luar jendela, mencoba menenangkan diri.
Namun semua rasa tenang itu lenyap seketika saat mobil berhenti di depan mansion besar nan megah. Gerbang besi hitam menjulang tinggi, dijaga beberapa pria berbadan tegap dengan tatapan tajam. Rumah itu berdiri megah dengan arsitektur klasik Eropa, tembok putih kokoh dengan jendela besar dan pilar-pilar tinggi.
Tiffany membeku. “Kenapa aku merasa tidak nyaman? Rumah ini seperti…..