Sebuah Pilihan

1073 Kata
Tiffany akhirnya mendekat dan mengambil lembaran kontrak itu. Matanya menyapu setiap kalimat yang tertulis di sana. Isinya begitu jelas. Disana tertulis jika Tiffany bebas melakukan kegiatan apa pun, selama tidak melampaui batas statusnya sebagai istri Brian Adam. Di dalamnya juga tercantum bahwa Brian berkewajiban memberi nafkah setiap bulan, sebesar lima puluh juta per bulannya. Hal yang paling melegakan bagi Tiffany adalah adanya pasal tegas yang mengatakan jika Brian tidak akan menyentuhnya, selama Tiffany tidak melakukan kesalahan yang bisa memancingnya untuk menuntut – tanggung jawabnya sebagai seorang istri. Tugas Tiffany hanya satu, berpura-pura menjadi istri yang baik di depan kakek Brian. Dan itu semua yang Tiffany pahami saat ini. Selesai membaca, Tiffany kembali menatap pria itu sambil tersenyum. “Baiklah, aku setuju. Tapi aku harap kamu menepati semua yang tertulis di sini.” Brian hanya mengangkat bahunya acuh. Dengan gerakan seenaknya, ia mengambil bolpoin di meja lalu melemparkannya ke arah Tiffany. “Aku tidak suka membuang waktu. Cepat tanda tangan. Setelah itu semuanya selesai. Besok kita menikah.” Tangan Tiffany yang hendak menandatangani kontrak mendadak terhenti. Matanya membulat menatap Brian. “Besok…? Apa perlu terburu-buru begitu?” “Ini aturanku.” Tatapan Brian tajam menusuk. “Kalau aku bilang besok, maka besoklah pernikahan itu akan dilakukan.” Tiffany menelan ludah. Ia menggaruk tengkuk lehernya, berusaha mencari alasan agar pria itu tidak serius dengan ucapannya. “Tapi…, aku bahkan belum tahu siapa saja yang akan kuundang. Semua temanku pasti kaget kalau mendadak mendengar kabar ini.” Senyum sinis muncul di wajah pria itu. “Apa kamu pikir pernikahan ini akan dilakukan dengan pesta mewah? Kamu benar-benar gadis bodoh. Kita akan menikah secara tertutup.” Tiffany mengangguk. “Tapi aku bahkan belum bertemu dengan kakekmu. Beliau juga pasti kaget jika tiba-tiba kamu menikahiku. Bagaimana kalau beliau curiga, karena pernikahan ini terlalu tergesa-gesa? Bukankah itu bisa membongkar segalanya?” Untuk pertama kalinya, Brian tampak mempertimbangkan ucapannya. Benar juga, kakeknya bisa saja curiga bila pernikahan ini dilakukan terlalu mendadak. “Baiklah. Kita menikah sesuai jadwal yang akan ditentukan kakek. Besok malam kamu ikut denganku ke rumah untuk menemuinya.” Pernyataan itu membuat Tiffany sedikit lega. Tanpa ragu lagi, ia menandatangani kontrak tersebut, lalu mendorongnya kembali ke arah Brian sambil mengukir senyum tipis. Namun senyum itu seketika memudar saat menyadari tatapan pria itu dingin menusuk. Brian mengambil kontrak dari tangannya, ikut menandatangani, lalu melemparkannya sembarangan ke atas meja. Setelah itu ia mendekat, membuat Tiffany spontan mundur hingga akhirnya terpojok di sofa. “A-apa yang akan anda lakukan?” suara Tiffany bergetar. Brian tak menjawab. Ia terus melangkah sampai jarak mereka hanya sejengkal. Tiffany terduduk, napasnya memburu. “Ingat satu hal, Tiffany. Jangan pernah melakukan kesalahan yang bisa membuatku marah. Kalau sampai itu terjadi, kontrak ini tidak ada artinya lagi sehingga tidak ada penghalang bagiku, untuk menyentuh setiap inci tubuhmu.” “Aku akan mengingatnya… dan mencatatnya baik-baik di kepalaku. Sekarang, tolong menjauhlah dariku.” Brian mundur perlahan, lalu memberi aba-aba dengan tangannya. “Sekarang pulanglah. Besok datang lagi kemari tepat waktu.” Tiffany tak membuang kesempatan itu, ia segera meraih tas kecilnya, lalu segera beranjak menuju pintu. Ia sedikit mengulas senyum saat pintu dengan mudah terbuka, dan sebelum ia melangkah keluar, Tiffany sempat menoleh ke arah Brian. Di sana Brian memperlihatan remot pintunya, seakan memberitahu Tiffany bahwa segala ada dalam kendalinya. Tiffany hanya bisa memutar bola matanya sebal. Ia pun melangkah keluar tanpa menoleh lagi, tapi mengomel sendiri setelah ia masuk ke dalam lift. “Benar-benar konyol. Dia memintaku datang jauh-jauh hanya untuk menandatangani kontrak pernikahan bodoh ini, dan melihatnya bercinta dengan seorang pe la cur. Benar-benar menjijikkan. >>>>>>>>>>>>>> Sesuai perjanjian, esok harinya setelah pulang kerja, Tiffany akhirnya datang ke apartemen Brian. Kali ini ia datang sendiri, tanpa jemputan dari Devon. Namun begitu sampai di lobi, ia dibuat kesal karena tak bisa masuk karena penjagaan di apartemen mewah itu terlalu ketat. Lebih menjengkelkan lagi, ia lupa meminta nomor telepon Brian, sehingga tidak bisa menghubunginya untuk memberi tahu bahwa ia sudah menunggu di bawah. “Apa kamu tidak bisa menghubungi Tuan Brian? bilang saja kalau aku sudah ada di sini menunggunya,” tanya Tiffany pada Emily, resepsionis yang berjaga di meja depan. Emily menatapnya dari atas ke bawah dengan sorot meremehkan. Bibirnya melengkung sinis. “Memangnya siapa kamu, berani-beraninya menyuruhku? Kalau kamu memang ada perlu dan ingin bertemu dengan tuan Brian, kenapa kamu tidak menghubunginya langsung?” “Aku lupa minta nomor teleponnya,” jawab singkat Tiffany. “Cih, lihat saja penampilanmu. Dari pakaian kampunganmu ini saja aku bisa menebak, mustahil Tuan Brian mengundangmu. Kalau pun iya, mungkin kamu datang hanya untuk bekerja jadi cleaning service di apartemennya. Tapi aku tidak menerima laporan akan ada cleaning service hari ini. Jadi pergilah, jangan bikin keributan pura-pura ingin bertemu orang penting pemilik apartemen ini.” Tiffany sempat tertegun, arena baru tahu jika Brian adalah pemilik apartemen tersebut. Namun ucapan merendahkan itu membuatnya kesal. Tangannya mengepal kuat. Kalau saja ia tidak menahan diri, mungkin vas bunga di meja resepsionis itu sudah melayang ke arah Emily. Namun Tiffany bukan tipe yang mudah kalah. Ia menyilangkan tangan di d**a, lalu tersenyum sinis. “Kamu tahu, menolak untuk membantuku menghubungi Brian sama saja cari mati. Aku bisa saja memintanya untuk memecatmu, tahu?” Emily langsung tertawa keras. “Hahaha! Siapa kamu sampai berani meminta Tuan Brian memecatku? Apa kamu istrinya, sampai dia harus takut padamu. hah?” Jawaban itu membuat Tiffany semakin muak. Ia membalas dengan nada penuh percaya diri. “Ya. Aku akan menjadi istrinya hanya dalam hitungan hari. Dan saat itu terjadi, aku pastikan kau yang pertama kali akan kutendang keluar dari sini.” Kata-kata Tiffany justru membuat Emily tertawa lebih keras, sampai menarik perhatian rekan-rekannya yang ikut mengejek. “Kamu benar-benar gila. Mana mungkin Tuan Brian mau menikahi orang sepertimu? Melirikmu saja sepertinya tidak mungkin,” sahut Emily, disambut tawa teman-temannya. Salah satunya ikut menyindir, “Kalau memang mau jadi istri Tuan Brian, kenapa kamu bahkan tidak bisa menghubunginya? Aneh sekali.” Mendengar itu, Emily mendengus sebal, lalu berkacak pinggang menatap Tiffany. Tatapannya penuh hinaan. “Sebaiknya kamu pergi sebelum aku panggil security untuk menyeretmu keluar.” “Aku tidak akan pergi,” Tiffany tetap menantang. “Kecuali kamu mencoba menghubungi Brian dan bilang padanya aku sudah menunggunya di sini.” Emily kehilangan kesabaran. Ia menghampiri Tiffany dengan wajah merah padam, lalu meraih tangan gadis itu kasar. Namun langkahnya mendadak terhenti ketika seseorang memasuki lobi. Aura dingin langsung menyelimuti ruangan. Emily spontan melepaskan genggaman tangannya pada Tiffany, lalu menunduk hormat pada orang tersebut.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN