4

3268 Kata
"Nabilla." lirih Nakyta. "Ko ada disini bang? Itu kenapa mojok-mojok gitu? Loh ko Kyky nya kayak abis nangis? Abang apain sobat gua?" Berbondong pertanyaan langsung menyerbu Fariz dengan teriakan yang bisa memekakkan telinga siapa saja yang mendengarnya. Nabilla yang habis dari kamar mandi terkejut mendapati abangnya ada didalam kamar dengan posisi yang mungkin saja membuat orang akan salah paham, bahkan dirinya pun sudah salah paham dengan melihat kakaknya itu sedang menghimpit sahabatnya sendiri. Dengan tenang Fariz bangkit dari kasur berjalan melewati Nabilla yang masih menatapnya, "berisik." hanya satu kata yang dikeluarkan Fariz saat berpapasan dengan adiknya di ambang pintu lalu berjalan kembali pergi menuju lantai bawah. Dengan cepat Nabilla mendekati Nakyta "kamu nggak kenapa-napa 'kan? Abang aku nggak macem-macem 'kan?" Tanya Nabilla dengan mata yang mulai menelusuri tubuh Nakyta yang masih membeku. Memastikan abangnya itu tidak melakukan apapun. "Ng .... nggak tadi mata Kyky keliliipan kebetulan tadi abang kamu kesini nyari kamu trus liat Kyky jadi ya dia bantuin buat niupin mata Kyky. Nggak usah khawatir gitu, ah." Terang Nakyta yang tentu saja bohong. Bahkan ia sendiri juga tidak tau kenapa Fariz datang ke kamar. Kenapa juga Fariz ada di rumah pada waktu ia sedang ada di rumah ini juga. "Bener? Nggak bohong 'kan? Bilang aja kalo memang abang aku macem-macem." Nabilla masih khawatir, apalagi melihat wajah Nakyta yang pucat begitu. Nakyta mengucek matanya untuk lebih memastikan agar tidak terlihat berbohong "Iya nggak apa-apa Nab. Kamu nggak boleh suudzon sama Kak Fariz, itu abang kamu sendiri loh. Nggak boleh gitu." "Aku nggak maksud gitu. Abis posisi kalian tadi buat aku mikir yang iya iya." "Iya tapi kamu juga nggak boleh gitu sama abang kamu. Tadi itu kesannya kamu nuduh tanpa tau apa yang terjadi, sambil teriak pula. Lain kali jangan kayak gitu, itu bisa masuk ke fitnah. Kamu tau kan kalo fitnah itu lebih kejam daripada pembunuhan." Bukannya menjelaskan keadaan dirinya, Nakyta lebih memilih menasihati Nabilla yang sudah menuduh kakaknya melakukan hal-hal yang tidak - tidak padanya, walau memang sebenarnya itu lah yang terjadi tapi Nakyta masih tetap memikirkan sikap Nabilla. Seperti Ibu bukan? Ibu yang selalu menasihati anaknya tanpa perlu menunjukkan betapa rapuh dirinya. Maka dari itu kenapa Nabilla sangat khawatir jika terjadi sesuatu hal yang menimpa Nakyta. Ia tidak ingin kehilangan Nakyta, sosok kakak baginya dan juga ia tidak ingin tidak ada yang menasihatinya lagi seperti yang biasa dilakukan oleh Nakyta. "Ngomong-ngomong, cacing perut Kyky pada demo nih." ucap Nakyta dengan senyum. Wajahnya pun tidak sepucat tadi Nabilla langsung menepuk jidatnya. "Lupa kamu kan nggak boleh telat makan. Ayo makan tapi kamu yang masak oke." ajak Nabilla menarik tangan Nakyta yang tersenyum melihat Nabilla yang mendadak heboh. - - - Suasana meja makan terlihat hening hanya terdengar suara mangkok dan piring yang sedang ditata dimeja makan. Tidak ada yang mengeluarkan suara sedikit pun. Disana Nakyta tengah menyimpan hasil masakan di meja makan dibantu dengan Nabilla yang menyiapkan beberapa piring, sendok serta gelas. Sedangkan Fariz hanya diam di meja makan dengan ponsel yang tak pernah lepas dari genggamannya bahkan matanya pun fokus menatap layar. "Itadakimas” ucap Nabilla setelah selesai menyiapkan piring dan mengalaskan makannya, dengan menangkupkan kedua tangannya seperti orang jepang yang akan memulai makan bahkan mengucapkan bahasanya. Nakyta hanya tersenyum menggelengkan kepala melihat tingkah sahabatnya lalu ikut duduk dikursi yang berada disebrang Nabilla sehingga posisi mereka yang saling berhadapan sedangkan disisi kanan dan kiri mereka terdapat Fariz yang masih setia dengan handphonenya. "Bang lu nggak makan?" Tanya Nabilla sambil menyuapkan makanannya. Melihat Fariz yang masih asyik dengan handphone nya bahkan piringnya pun masih bersih. "Hmm." jawab Fariz masih fokus dengan handphone nya. "Makan dulu lah bang, nanti bisa dilanjut main game nya." ujar Nabilla lagi Fariz hanya diam tidak menjawab hingga membuat Nabilla mendengus kesal. Sudah bagus dirinya mau berbasa basi menawarkan abangnya untuk makan tapi tidak pernah ditanggapi dengan baik. Padahal ia juga masih sebal dengan kejadian tadi, walau dirinya juga salah. Nakyta yang melihat mereka hanya menunduk takut sambil sesekali melirik kakak adik itu. Tanpa mengeluarkan suara dan sedikit mengeluarkan keberaniannya, Nakyta mengambil piring Fariz yang masih kosong bersih dan langsung mengisinya dengan nasi dan beberapa lauk pauknya, tentunya ayam goreng crispy yang tidak dilewatkan oleh Nakyta. Setelah semuanya dengan perlahan Nakyta menaruh piring itu dihadapan Fariz yang langsung menaruh handphone yang ia pegang, menyendok makanan yang sudah diambilkan oleh Nakyta tadi. Nabilla yang melihat itu langsung berdecih. Bagaimana mungkin kakaknya itu langsung memakan makanannya itu setelah dialaskan oleh Nakyta? Kenapa tidak bilang kalau ingin disediakan, benar-benar aneh. Mereka pun langsung makan kembali, menikmati hasil masakan Nakyta. "Oh ya bang, sorry tadi gua nuduh yang nggak-nggak ke lu. Abis tadi gua kaget liat lu mepet-mepet gitu ke Kyky gua kira lu nyium sobat gua." Uhukk. Seketika Nakyta langsung tersedak makanannya sendiri yang masih ia kunyah di dalam mulutnya. Dengan terbatuk Nakyta menepuk dadanya sendiri dengan wajahnya yang sudah mulai memerah dan matanya berkaca-kaca. Fariz langsung menyerahkan gelas minumnya kehadapan Nakyta yang langsung diterimanya dan meminumnya sampai habis. "Nab!!" Ucap Nakyta memperingati. "Sorry." Jawab Nabilla merasa bersalah. Suasana kembali hening setelah itu, mata Nakyta melirik kearah Fariz yang menatapnya sekilas lalu kembali melanjutkan kembali makannya. Dering handphone Fariz membuatnya langsung menghentikan aktifitas makannya, melirik handphone nya sebentar lalu mengambil handphone nya. "Hmm." jawab Fariz lalu kembali lagi memasukkan makanan ke dalam mulutnya, tak lama ia langsung menyerahkan handphone nya pada Nabilla. Nabilla langsung menerima handphone itu dan menempelkannya ke telinga "iya?" "Malam ini?" Tanya Nabilla dengan mengerutkan keningnya. Kemudian mengangguk kepala dan menatap Nakyta dan Fariz giliran "harus ikut?" "Ya udah." sambungan sudah ditutup lalu Nabilla langsung menyerahkan handphone itu ke Fariz. " Mamah nyuruh kita ke Cibubur, nanti Pa Jajang yang nganterin kita bareng Om Herman paling malem mereka kesini. Disuruh siap-siap." jelas Nabilla. "Lama?" Kini Fariz yang bertanya tanpa menatap Nabilla. "Nggak cuman dua hari katanya disana, nanti pulangnya bareng sama Ayah sama Mamah. Ky kamu juga ikut." "Mending nggak usah Kyky bisa pulang, nanti balik lagi kesini kalo kamu udah pulang." tolak Nakyta karena ia yakin jika anak-anak Ibu sudah disuruh ikut ke Cibubur pasti pada kumpul keluarga dan semua keluarga Nabilla pasti ada semua. Nakyta merasa tidak enak jika hadir diantara keluarga besar mereka nanti. Walau sudah tidak heran lagi bagi keluarga Nabilla karena sudah beberapa kali Nakyta ikut menghadiri acara keluarga itu, namun sampai sekarang Nakyta tetap merasa tidak enak hati, ia merasa canggung. "Nggak! Pokonya kamu harus ikut, mamah aku nyuruh kamu ikut. Nggak ada penolakan, kita harus siap-siap sekarang." ujar Nabilla tidak terbantah. "Iya iya." Nakyta menghela nafas dan kembali menunduk melanjutkan makannya tanpa nafsu. Sedangkan Fariz langsung melirik Nakyta dengan bibir yang sedikit menyungging senyum, tanpa disadari oleh dua gadis yang berada di kedua sisinya. - - - Sayup-sayup Nakyta mendengar suara mengaji. Suara yang sangat merdu bahkan membuat Nakyta langsung membuka mata dan menikmati suara lantunan ayat suci yang membuatnya tenang. Diliriknya jam yang menempel di dinding menunjukkan pukul 04.16. Sebentar lagi masuk Shubuh, dengan cepat Nakyta bergegas turun dari ranjang kasur dan berjalan keluar kamar. Berhubung kamar mandi disini hanya ada dua, satu di luar kamar dan satunya lagi berada di kamar utama yang ditempati orangtua Nabilla. Rumah ini pun tidak bertingkat membuat orang yang berada di dalam kamar harus keluar untuk bisa ke kamar mandi, bahkan rumah yang berada di Cibubur ini tidak terlalu besar, hanya berisikan tiga kamar, dapur, ruang tamu yang merangkap ruang tv, musholla dan halaman depan yang kecil serta garasi mobil. Langkah Nakyta terhenti ketika melihat sebuah ruangan yang sengaja tidak diberi pintu. Matanya terenyuh melihat Ibu yang sedang mengaji dengan bercucuran air mata di dalam mushola itu. Bahkan air mata itu pun tidak kunjung berhenti ketika Ibu tengah berdoa pada Sang Pencipta. Doa seorang Ibu khusus untuk anaknya membuat mata Nakyta berkaca-kaca. Bahkan Nakyta tau seluruh doa yang diucapkan oleh Ibu yang tak lain adalah meminta anak-anaknya selalu dalam lindungan dan bimbingan - Nya. Yang membuat Nakyta merasa tersentuh adalah ketika Ibu meminta agar anak pertamanya yang tak lain adalah Fariz Pramudya Husada agar dapat kembali seperti dulu, agar dapat bersama berkumpul dengan keluarganya. Ibu merasa menyesal dan ingin sekali melihat anaknya sama halnya seperti anak laki-laki pertama yang tangguh dan terlebih sangat menyayangi keluarganya bukan anak yang mengasingkan diri sendiri dari keluarganya. Nakyta menghembuskan napas perlahan lalu berbalik melanjutkan niatnya untuk mengambil wudhu. Namun Nakyta terkejut ketika mendapati Fariz yang berdiri tak jauh darinya. Fariz yang baru saja disebut dalam doa Ibu tadi. Nakyta melihat Fariz yang tengah berdiri di depan pintu kamarnya dengan tangan kiri yang memegang handle pintu dan tangan kanan yang ia masukkan ke dalam saku celananya. Wajahnya cerah dan segar dengan rambutnya yang basah dan masih meneteskan beberapa butir air, seperti habis wudhu. Fariz menatap Nakyta sekejap lalu berbalik dan masuk ke dalam kamar, sedangkan Nakyta berjalan menuju kamar mandi. Nakyta keluar dari kamar mandi dengan seluruh wajah, tangan dan kakinya yang basah terkena air wudhu. Disaat yang bersamaan Fariz juga keluar dari kamarnya yang bersebrangan dengan kamar mandi, baju koko berwarna putih serta sarung kotak-kotak biru langit yang melekat dikakinya. Tangannya yang menenteng sebuah peci hitam hendak dipakainya. Matanya menatap Nakyta sekilas lalu melangkah berjalan keluar akan pergi ke mesjid karena adzan sudah mulai berkumandang. "A ... apa kakak denger semua doa Ibu?" Entah keberanian darimana Nakyta bisa mengatakan hal itu pada Fariz hingga membuat langkah kakinya terhenti. Bahkan ini kali pertama ia bertanya padanya, dan pertanyaan yang menurut Nakyta sedikit pribadi karena ini menyangkut masalah keluarga Fariz yang tidak diketahui oleh Nakyta sendiri. Fariz hanya menolehkan kepalanya ke samping tanpa mau menatap Nakyta yang berada dibelakangnya, tanpa perlu repot memutar tubuhnya unyuk menghadap Nakyta. Fariz melanjutkan kembali langkahnya. " A ... apa nggak ada keinginan buat ngewujudin doa Ibu, kak?" Pertanyaan Nakyta terlontar kembali saat melihat Fariz yang hendak pergi. Namun Fariz hanya diam dan dengan acuh langsung berjalan kedepan pintu, membukanya lalu menutupnya kembali dengan sedikit keras sehingga menimbulkan bunyi berdegum yang lumayan keras. Nakyta menghela napas. Merutuki kebodohannya yang bertanya seperti itu. Memang apa urusannya? Fariz atau Nabilla bahkan Ibu yang menginginkannya pun tidak meminta bantuan Nakyta? Jadi untuk apa ia dengan berani bahkan lancang bertanya hal seperti itu. Pasti Fariz akan marah, itu sudah pasti. "Eh kirain masih tidur tadinya mau Ibu bangunin. Ibu tunggu ya, sekalian bangunin Nabilla kita shalat berjamaah." Nakyta mengangguk dan kembali kekamar mengambil perlengkapan shalat sambil membangunkan Nabilla yang memang sedikit sulit untuk dibangunkan. - - - Seperti biasa para perempuan tengah sibuk bertempur di dapur. Nakyta yang tengah membantu Ibu memasak di dapur sedangkan yang dilakukan Nabilla hanya duduk dikursi memperhatikan mereka memasak. "Masya Alloh Nab, bantuin mamah napa? ko malah diem gitu, kebiasaan." Gerutu Lia- Ibu Nabilla. "Nggak mau, trauma. Berdua juga cukup nggak perlu tambahan orang buat bala bantuan." "Ni anak ya, kapan bisanya kalau cuman duduk manis. Nih potongin sayuran ini. Nanti siang semua keluarga pada kumpul ke sini loh." Nabilla langsung menerima beberapa macam sayuran yang berada dalam wadah yang disodorkan mamahnya. Dengan malas Nabilla mengambil pisau serta talenan. Lia hanya menggelengkan kepala melihat kelakuan anaknya yang sangat malas. Bagaimana bisa Nabilla memotong sayuran sambil duduk dikursinya dengan talenan dan sayur yang berada dipangkuannya. Nakyta tersenyum melihat kelakuan unik sahabatnya itu. Tak lama seseorang berjalan memasuki dapur dengan keringat yang membasahi seluruh tubuhnya bahkan kaos oblongnya pun turut basah. "Mah, air." suara baritonnya tepat berada di belakang tubuh Nakyta yang sedang membolak-balikkan masakan langsung berhenti lalu kembali fokus memasak setelah ada jeda beberapa saat. "Duh Fariz ambil sendiri bisa 'kan. Tangan mamah kotor." ucap Lia yang tengah membersihkan daging ayam di tempat pencucian piring. Fariz hanya diam lalu melangkah menuju samping Nakyta dan menyenderkan tubuhnya dipinggiran tempat penyimpanan bumbu masakan tak jauh dari kompor. Tangannya kini beralih memainkan handphone dan melupakan keinginannya untuk minum. Padahal ia membutuhkan minum setelah habis berolahraga jogging keliling komplek. Bukan lupa hanya saja ia tengah menunggu seseorang yang peka untuk mengambilkan minumnya. Tak lama sebuah gelas sudah bertengger manis disampingnya. Fariz melirik orang yang membawakannya itu dan langsung mengambil gelas tersebut, meminumnya dengan mata yang sekarang fokus menatap Nakyta. Orang yang menghentikan aktifitas menggorengnya sejenak hanya untuk mengambilkan air minum untuk dirinya. Begini lah cara Fariz untuk menyuruh Nakyta dihadapan orang tanpa ada yang curiga jika dirinya itu tengah menyuruh. "Udah ngambil minumnya?" Tanya mamahnya yang tidak melihat bahwa Nakyta sudah mengambilkan minuman untuknya. "Hmm." jawab Fariz lalu pergi begitu saja dengan membawa gelas yang masih tersisa setengah. "Anak itu nggak berubah, masih aja dingin. Kapan punya cewenya kalau gitu terus." ujar mamah menatap kepergian Fariz sambil menggelengkan kepala lalu kembali melanjutkan bagiannya mencuci daging ayam. "Percuma ganteng, nggak laku." ucap Nabilla menimpali. "Emang kamu laku?" Kini Lia yang bertanya balik. "Yeee mamah nggak tau aja gimana Nab. Gini-gini juga, Nab mah banyak yang ngejar. Iya nggak Ky?" Nakyta hanya tersenyum sedangkan mamah Nabilla hanya mendengus tidak percaya dengan ucapan putrinya itu. "Trus mana? ko nggak ada yang ke rumah? Bohong kamu ya, percuma cantik tapi nggak laku." kini malah Lia mengejek Nabilla yang langsung cemberut mendengar ejekan dari sang mamah. "Astaga, Nab. Ini anak bener-bener ya. Liat Ky, kelakuan kembaran kamu itu. Masa disuruh potong-potong sayur aja nggak bisa." lanjut Lia melihat Nabilla yang memotong sayur dengan potongan yang sangat kecil. Nabilla hanya tersenyum tanpa dosa sedangkan Nakyta hanya tertawa melihat hasil karya Nabilla yang benar-benar diluar dugaan itu. "Kamu memang harus banyak belajar dari Nakyta." - - - Suasana kolam renang yang tak jauh dari komplek itu tampak sepi. Hanya ada beberapa orang yang tengah berenang atau bersantai dipinggir kolam sambil berjemur. Karena rengekan dari Bani -adik Nabilla- akhirnya mereka berada disini. Nabilla yang sudah berenang dengan santainya di tengah kolam sedangkan Bani yang asyik bermain air di kolam anak yang tak jauh dari Nakyta yang juga ikut duduk di pinggir kolam memperhatikan Bani. "Ky, ayo berenang." ajak Nabilla yang mengapung di tengah kolam melihat Nakyta yang hanya duduk diam bahkan bajunya pun masih kering hanya celana nya saja yang basah. Nakyta hanya tersenyum menggeleng dan kembali memperhatikan kolam anak dengan mengayunkan kedua kakinya di dalam air. Mengawasi Bani agar tidak pergi kemana-mana atau tidak tenggelam walau tidak mungkin karena air dalam kolam itu hanya setinggi d**a Bani yang masih berumur delapan tahun. "Kak Kyky, sini main bola sama Bani." kini suara cempreng khas anak laki-laki memanggil Nakyta dengan membawa sebuah bola karet berwarna biru tua yang disekelilingnya terdapat benjolan seperti duri. Nakyta tertawa. " Sama kakak Nabilla ya mainnya." teriak Nabilla lalu berenang ketepi kolam dan keluar dari kolam menghampiri Bani yang langsung tersenyum senang. "Ka Kyky juga ayo ikutan." pinta Bani yang langsung mendapatkan gelengan dari Nakyta, "Berdua aja sama Kak Nab ya." Bani mengangguk lalu melempar bola ke arah Nabilla yang berjarak sekita satu meter dihadapannya. Bani Zain Khusain, anak ketiga dari Lia dan Bambang- Ayah Nabilla. Bani yang dekat dengan Nakyta dan selalu menempel dengannya jika sudah bersama bahkan Bani selalu acuh terhadap Nabilla kakaknya dan lebih memilih bersama Nakyta. Terlalu asyik dengan permainan bola mereka tanpa sadar jika Fariz tengah fokus memperhatikan Nakyta yang tertawa bahagia memperhatikan kedua orang yang tengah saling lempar bola bahkan saling menyipratkan air kewajah. Berbeda ketika berada dekat dengan dirinya, hanya akan ada wajah pucat dengan tatapan takut yang akan selalu ditunjukkan gadis itu padanya. Walau sedikit rasa bangga akan ketakutan Nakyta namun disisi lain ia tidak ingin melihat Nakyta seperti itu jika melihatnya. Sungguh ia sangat iri dengan orang lain yang selalu diperhatikan oleh Nakyta, yang selalu mendapatkan senyuman, yang selalu mendapatkan sapaan serta mendapatkan perhatian dari gadis itu. Nakyta perhatian dan peduli padanya? Iya .... dia seperti itu namun terpaksa karena adanya dorongan serta paksaan darinya. Tidak tulus seperti kepada orang lain. Nakyta selalu acuh terhadapnya. Dari awal pertemuan mereka pun seperti itu, Nakyta tidak memandangnya bahkan menganggap ada pun tidak. Entah apa yang merasuki Fariz sehingga ia ingin sekali mendapatkan perhatian dari Nakyta. Ingin dilihat oleh gadis itu, ia benar-benar sangat penasaran dengan diri Nakyta. Selama hampir tiga tahun mereka tidak pernah saling menyapa hingga tragedi itu akhirnya menimpanya. Membuat Fariz berhasil mendapatkan hampir seluruh perhatian Nakyta padanya walau dengan ancaman. Tapi menurut Fariz memang sudah selayaknya Nakyta mendapatkan itu karena karena gadis itu hampir saja menghilangkan salah satu nyawa orang yang disayanginya. Nakyta tersenyum melihat keakraban kakak beradik itu. Walau Nabilla terkesan cuek terhadap adiknya tapi dia tidak pernah melupakan adiknya dan selalu menganggap bahwa adiknya itu ada. Nabilla hanya acuh tak acuh terhadap adiknya itu. Nakyta terkesiap ketika mendapati salah satu tangannya digenggam oleh seseorang. Nakyta menengok ke samping, disana ada Fariz yang tengah duduk santai disampingnya dengan jemari kanannya yang menggenggam erat tangan kiri Nakyta. Perlahan Nakyta menggeser sedikit tubuhnya agar tidak terlalu berhimpitan dengan Fariz. Tubuh Nakyta kini merasa tidak tenang, ia teringat dengan kejadian tadi pagi. Apa Fariz akan marah padanya? Bagaimana kalau Fariz akan melakukan sesuatu yang seperti biasa ia lakukan. Bagaimana Fariz melakukannya di tempat yang ramai seperti ini? Apalagi ada Nabilla disini. Apa kesalahannya sangat fatal kali ini? Tapi ia hanya bertanya saja, walau memang ada sedikit harapan pertanyaan tadi pagi itu dipikirkan kembali oleh Fariz. Setidaknya keluarga sahabatnya itu tidak seperti sekarang ini. Terlihat bahagia diluar namun didalam sangat kacau. "Maaf." ucap Nakyta. "Buat?" Tanya Fariz tanpa menatap Nakyta. "Udah ikut campur urusan kakak, padahal Kyky nggak berhak." lirih Nakyta menundukkan kepala. "Bagus kalo tau." jawab Fariz hingga membuat Nakyta diam dan semakin menundukkan kepalanya. Fariz melirik Nakyta dari sudut matanya dan kembali menatap ke depan. "Ta ... tapi maaf kak kalau Kyky lancang. Memang apa yang ngebuat kakak nggak bisa ngewujudin keinginan Ibu?" Nakyta menatap Fariz penuh minat. "Tapi kalo kakak nggak mau ngasih tau juga nggak apa-apa. Itu hak kakak." ucap Nakyta lagi saat sadar kalo ia terlalu ingin tau. Fariz menarik napas lalu menghembuskannya perlahan menatap Nakyta, "Kamu tau? Ada hal yang nggak bisa kita ubah walau dengan apapun, bagaimanapun caranya dan oleh siapapun. Alasan aku nggak mau bukan karena nggak bisa, tapi memang udah nggak ada niatan untuk mau. Kepercayaan udah nggak bisa aku kasih lagi sama mereka. Kepercayaan itu ibarat kertas, sekali diremuk nggak akan bisa kembali rapi kayak semula, kusut. Dan aku emang nggak mau ngasih mereka kertas yang udah kusut." Nakyta terpana menatap Fariz. Bukan karena apa yang diucapkan Fariz mengenai orangtuanya namun karena baru kali ini ia mendengar kata-kata yang panjang keluar dari mulut Fariz itu. Biasanya ia akan berbicara tidak akan lebih dari lima kata, tapi ini bisa dibilang satu kalimat bahkan paragraf. Nakyta berdehem untuk mengembalikan kondisinya lalu menatap Fariz penuh minat lagi, "emang nggak ada kesempatan kedua?" Tanya Nakyta mengambil kesempatan. Kapan lagi Fariz mau mengobrol panjang tanpa memerintah padanya. Kesempatan yang langka juga bagi Fariz untuk mau mencurahkan isi hatinya pada orang lain. Setidaknya ia ingin memberikan kepercayaannya pada Nakyta agar mau sedikit mengerti akan sikap dirinya. Fariz kembali menatap ke depan. "Berkali-kali bahkan lebih dari kesempatan kedua tapi mereka nggak pernah sadar. So ... udah nggak ada lagi yang namanya kesempatan kedua. Bukannya tadi udah bilang kalau aku nggak mau ngasih mereka kertas lusuh bin kusut itu. Sampe kapanpun!!" "Bukannya itu bakalan nyakitin kakak sendiri? Bukannya setiap anak bakalan merasa bersalah kalau nggak bisa mewujudkan keinginan orangtuanya, apalagi anak itu terdidik buat selalu bersikap hormat dan patuh sama orangtuanya. Kakak menutup diri dengan cara menyakiti orangtua kakak karena sikap kakak yang acuh sama mereka, tapi kakak juga lebih sakit kalau ngelakuin hal itu 'kan." Walau jujur saja Nakyta belum tau apa yang sebenarnya terjadi dalam keluarga sahabatnya ini. Fariz hanya menghela napas melirik Nakyta. Yang dikatakan Nakyta memang ada benarnya. Dengan sikap ia yang mengacuhkan kedua orangtuanya itu justru bukan membuatnya merasa nyaman namun malah menambah luka pada dirinya. "Itu lebih baik daripada harus berpura-pura dalam keadaan baik-baik aja." jawab Fariz membuat Nakyta terdiam mengerti. %%%
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN