Setelah perdebatan yang menguras emosi itu Inneke memilih jalan tengah. Menurut keinginan Kala dengan memberikan pakaian yang sopan kepada Dina. Yaitu celana kulot jeans dengan kaos yang sama namun dimasukkan ke dalam celananya.
Untungnya Dina memiliki body yang bagus sehingga mau memakai baju model bagaimana saja bagus. Kala pun sudah tidak misuh-misuh seperti sebelumnya meski masih terlihat sangat dongkol.
Bukan semata-mata Kala kesal, melainkan ia masih tidak rela jika wajah Dina akan dijadikan pusat perhatian setelah ini. Ingin protes lagi namun akan sangat berlebihan pastinya. Ia menekan sedikit rasa kecemburuan dalam hatinya untuk saat ini.
Batinnya itu bahkan tak henti mengumpat melihat Dina dipegang-pegang oleh Chiko demi mendapatkan pose yang baik. Yang lebih b*****t lagi hasil foto Dina sangat sempurna meski gayanya masih cukup kaku. Ya gimana, bukan perkara baju yang dikenakan melainkan orang yang memakai pun sangat cantik.
"Set terakhir ya, Medina. Ini aku ambil video, kamu jalan kayak arahan Chiko tadi." Sang photograper memberikan arahan kepada Dina seraya mengarahkan kameranya.
Dina memperagakannya dengan sangat hati-hati. Dari menyentuh ujung kaos, tersenyum manis dan juga menaikan rambutnya hingga bagian tengkuknya terlihat. Semua berjalan begitu saja seperti yang Dina sering dilihat di beberapa video di media sosial. Sialnya hal itu membuat Kala tak bisa memalingkan wajahnya sedikit pun dari sosok Dina.
"Sialan! Sialan! Gua habisin lu nanti di rumah, Din." umpat Kala begitu geram. Rasanya ia ingin menyeret Dina pulang sekarang.
"Cut! Voalahhhhh keren, mantul-mantul!" Suara seruan dengan nada yang sangat puas itu membuat semua tim ikut lega begitu pun Dina. Wanita itu sejak tadi sudah gugup sekali karena takut hasilnya akan jelek, syukurnya semua tim sepertinya puas.
"Good job, Din! Keren banget nih," puji Inneke memberikan acungkan jempol kepada model barunya itu.
"Ya keren dong, modelnya gua gitu yang milih." Shaka ikut-ikutan dengan menepuk dadanya begitu bangga.
"My pretty girl, selamat ya! Hasilnya cantik, cantik nih!" Chiko ikut-ikutan memberi selamat dan ingin mencubit pipi Dina lagi namun Kala lebih sigap menepisnya kasar.
"Aw, Mas Kala ini suka ngagetin aja. Ada model baru langsung diincar," cibir Chiko tak mendapatkan balasan apa pun dari Kala.
Pria itu lebih fokus kepada sosok wanita yang berhasil membuat hatinya awur-awuran sejak tadi.
"Udah selesai semua 'kan? Gua mau bawa Dina pulang," kata Kala tak peduli lagi bagaimana anggapan teman-temannya setelah ini. Ia sudah geram sejak tadi dan merasa ingin segera membuat perhitungan dengan Dina.
"Pulang?" Shaka mengerutkan dahinya. "Boleh aja sih, soalnya Delvira masih lama katanya. Harusnya mereka bisa satu set, tapi kelamaan dia. Gua minta nomor lu aja Din, biar besok hubunginnya gampang," ujar Shaka mengeluarkan ponselnya.
"Nomor telepon ya, Mas. Sebentar saja ambil ponsel dulu." Dina mengangguk setuju dan segera beranjak. Tetapi tangannya dipegang erat oleh Kala. "Mas Kala lepasin dulu, aku mau ngambil ponsel," ujar Dina menatap Kala.
Kala mengeraskan rahang dengan hati yang semakin terbakar luar biasa. Bukannya dilepaskan ia justru menarik tangannya lebih kuat.
"Nggak ada nomor telepon, kalau ada perlu hubungin gua aja. Dia masih kerja sama gua, jadi gua punya hak buat ngatur," ucap Kala penuh penekanan.
Shaka baru saja ingin memprotes namun Kala tak memberikan kesempatan sedikit pun. Pria itu langsung menarik tangan Dina lalu diajak pergi keluar ruangan pemotretan tanpa peduli tatapan penuh keheranan dari semua orang yang ada di sana.
"Mas Kala, pelan-pelan dong. Ini mau pulang? Aku harus ganti baju dulu, bajunya—"
"Diam lu!" bentak Kala benar-benar sudah tidak mau mendengar apa pun. Ia hanya ingin membawa Dina pulang, titik!
Dina memanyunkan bibirnya peranda tengah sangat kesal. Ingin memprotes pun sepertinya percuma saja jika Kala sudah kesal seperti itu. Dirinya menurut saat pria itu memintanya mengambil tas lalu mereka pulang bersama.
Namun, saat mereka hendak turun dari lantai tiga bersamaan dengan Delvira yang baru saja datang bersama managernya. Wanita itu memang ada sesi pemotretan sekaligus membahas detail kontrak kerja.
"Kala!" Delvira menyapa dengan wajah terkaget-kaget. Sedikit tidak menyangka jika akan bertemu pria itu disini.
Kala memasang wajah yang sangat dingin. Tidak ada niat sedikit pun untuk membalas sapaan itu.
"Mas Kala, dipanggil sama mbaknya kenapa diam aja?" Dina menarik lengan Kala dengan lembut, merasa kasihan karena sapaan wanita cantik itu diacuhkan.
Kala mendesis pelan karena kepolosan istrinya itu. Apakah Dina ini tidak tahu jika wanita yang ada di depannya bisa menjadi saingan? Mengingat wanita itu adalah wanita yang seharusnya menjadi istri Kala karena perjodohan gila itu.
Delvira yang menyadari Kala tidak datang sendiri seketika berubah masan wajahnya. Ia memperhatikan Dina dengan pandangan kaget namun sinis setelahnya.
"Seingatku dia tidak secantik itu kemarin," batin Delvira.
"Kala, kamu ada keperluan juga disini? Aku baru aja mau taken kontrak dan pemotretan karena mau diangkat jadi BA. Aku—"
"Sayangnya aku tidak peduli," tukas Kala langsung sarkas. Melirik pun enggan, dengan sengaja segera meraih bahu Dina lalu diajak pergi begitu saja dari hadapan Delvira.
"Kala!" Delvira ingin menahan tetapi ia ingat harus jaga image saat ini. Meski hati dongkol setengah mampus Delvira menahan dirinya dulu. Ia cukup penasaran kenapa Kala ada di tempat itu.
"Apa mungkin dia juga jadi BA disini? Kalau iya akan sangat bagus untuk mendekatinya. Aku harus laporan sama Om Bagas," batin Delvira. Rasanya semakin penasaran dengan pria dingin yang bernama Kalandra itu.
***
Sesampainya di Apartemen Kala langsung mengajak Dina ke kamar. Ia mendudukkan wanita itu di sofa yang menghadap ke jendela kaca besar di sana. Dengan gerakan kasar Kala melepaskan jaket yang membungkus tubuhnya karena sejak tadi sudah sangat kegerahan. Bukan karena hawanya, melainkan rasa kecemburuan yang membabi buta.
"Seneng lu? Seneng jadi pusat perhatian kayak gitu?" Omelan pertama langsung Kala lontarkan dengan nada yang begitu kesal.
Dina tidak menyahut langsung, ia justru menatap wajah Kala dengan seksama. Wajah pria itu bersungut-sungut hingga memerah sampai ke telinga.
"Aku seneng." Dina menjawab dengan sangat polos membuat Kala kian kesal. "Mau merubah nasib kan bagus Mas. Siapa tahu aku bisa nyicil utang sekalian."
Kala menunduk memerangkap Dina, wajah penuh amarah itu membuat Dina cukup ketakutan. "Segitu inginnya lu lepas dari gua, Din? Apa nggak cukup kenyamanan yang gua kasih ke lu?"
"Bukannya Mas Kala yang bilang, kalau aku cuma istri penebus utang? Selagi utang belum lunas, berarti aku masih istri Mas Kala 'kan?" Dina menjawabnya takut-takut. Ia mengatakan apa yang sebelumnya Kala katakan padanya.
Kala berdecak geram, diraihnya leher Dina dengan kasar seperti ingin mencekiknya. "Lu tahu tugas istri itu apa aja?"
Dina mengatupkan bibirnya rapat sebelum mengangguk ragu. "Aku sudah menjalankannya dengan baik selama ini. Setiap pagi aku memasak untuk Mas Kala, aku juga nyiapin baju Mas Kala. Beres-beres, semuanya aku lakukan. Semua tugasku sudah benar 'kan?" jawab Dina seadanya dan jelas polos saja.
Kala yang tadinya sangat kesal mendadak lenyap begitu saja kekesalannya. Berganti kegemasan akan sikap istrinya yang sangat polos itu. Kala memperhatikan wajah Dina yang sangat polos, darahnya berdesir hebat oleh perasaan gila yang sulit dikendalikan.
"Lu nggak usah sok ngomongin tugas istri. Sedangkan lu aja nggak pernah jalanin kewajiban seorang istri. Cih!" sergah Kala mencoba mengendalikan dirinya meski rasanya sangat susah.
"Kewajiban istri yang mana lagi yang belum aku lakukan?" Dina mengernyit heran. Berpikir keras apa sih yang sebenarnya suaminya itu inginkan.
"Medina!" Kala membentak geram, kenapa Dina polos sekali? Rasanya Kala ingin memakan wanita itu sekarang juga.
"Kenapa sih? Mas Kala mau apa? Ya ngomong dong, jangan apa-apa marah kayak orang kurang jatah aja," omel Dina menepis tangan Kala dengan kasar. Tak tahu lagi bagaimana menanggapi sikap Kala yang selalu aneh dan membingungkan menurutnya.
"Itu lu tahu, gua kurang jatah makanya kesel," ceplos Kala. "Lu katanya istri yang taat kewajiban, mana? Lu nggak pernah tuh menjalankan kewajiban lu ke gua?"
"Kan Mas Kala nggak minta." Dina menjawab acuh namun wanita itu tidak tahu jika sikapnya itu seperti sebuah panggilan keras yang sinyalnya langsung ditangkap oleh Kala.
"Sekarang gua minta, hak gua sebagai suami lu." Dengan gerakan mudah Kala menarik pinggang Dina hingga tubuhnya merapat dengannya.
Bersambung~