Bab 14. Hinaanmu, Semangatku

1556 Kata
Kala terang-terangan memasang raut wajah tak setuju dengan tatapan mata yang luar biasa tajam. Namun, tak seperti sebelumnya Dina tampak pasrah. Kini wanita itu justru menantang mata Kala dengan sorot mata yang penuh tekad. "Dina, kamu setuju?" Shaka bertanya penuh semangat. Sesaat ia sempat saling lirik dengan Inneke yang wajahnya juga tengah menunggu jawaban dari Dina. Kala terus menatap Dina lebih tajam lagi, seolah ingin mengatakan jika meminta wanita itu mengurungkan niatnya. Dina menarik sudut bibirnya tak terlalu kentara, ia seolah ingin menjadikan hinaan Kala sebagai semangatnya. Lagipula tidak ada yang salah dari apa yang ia lakukan. "Saya mau coba dulu. Nanti hasilnya biar Mas Shaka dan mbak Inneke yang menentukan," jawab Dina disertai anggukan kepala. "Nah gitu dong! Jangan patah semangat, oke?" Shaka menjentikkan jarinya hingga berbunyi, seulas senyum penuh kepuasan terbit di bibir pria itu. "Hooh bener, kalau belum mencoba nggak akan tahu kemampuan lu dimana. Ini kan kita yang pilih, ada hasil yang kurang memuaskan itu udah tanggung jawab kami. Lu usaha dulu," timpal Inneke juga turut lega rasanya karena sudah menemukan model dengan wajah baru dan fresh from the oven. Kedua partner bisnis itu segera berunding dengan tim yang lain guna membahas konsep awal yang akan dilakukan Dina. Berbeda dengan Kala yang sudah diliputi amarah yang menggila. Pria itu sudah mengepalkan ingin memukul orang. Namun, setelah dipikir-pikir kenapa juga ia hanya semarah ini jika Dina menjadi model? Ia tidak punya hak khusus untuk melarang selagi pekerjaan wanita itu beres. Hanya saja hati yang tidak punya arah mata angin itu seperti porak poranda membayangkan wajah polos Dina menjadi pusat perhatian. Semakin lama Kala semakin kesal sendiri ketika mendengar teman-temannya memilihkan set dan kostum yang akan dipakai oleh Dina. Sangking kesalnya Kala sampai bangkit dari duduknya dengan gerakan yang luar biasa kasar hingga menimbulkan suara gaduh. Semua orang yang ada di situ sangat kaget dan menatap Kala keheranan. "Lu apa-apaan sih, Kal? Kayak orang PMS aja bad mood terus," celetuk Inneke geram sendiri melihat temannya seperti itu. "Lu nggak terima kalau pembantu lu kita jadikan model?" Shaka memahami gestur kemarahan dalam diri Kala karena ia sudah mengenal pria itu sangat lama. Kala memang sedang marah. Sebutan pembantu itu kembali membuat Dina tersentil, ia kembali memandang Kala tanpa ekspresi. "Nggak mungkin Mas Kala peduli sama pembantu kayak saya. Mungkin beliau memang lagi ada masalah pribadi," ujar Dina mengulas senyum tipis yang membuat Kala semakin kesal. "Ya emang, nggak mungkin gua peduli sama pembantu. Gua mau cabut!" sergah Kala tak ingin berlama-lama di sana karena tidak ingin membakar tempat itu karena api kecemburuan sudah meledak di dalam hatinya. "Cemburu? s**t! Sekarang pun hati gua sudah mulai serakah. Medina sialan!" *** Kala bermain billiard guna meredam emosinya. Melampiaskannya dengan bermain hobi lama yang sangat digemari. Namun, belum jalan setengah permainan ia tidak konsen. Dalam otaknya dijejali bayangan Dina akan menjadi luar biasa cantik dan menjadi pusat perhatian. Wanita itu pasti akan semakin berani atau mungkin malah melupakannya. "Kala, tumben lu kalah nih. Kenapa?" Salah seorang temannya sampai terheran-heran Kala yang selalu menang saat bermain billiard tiba-tiba tidak punya perlawanan sana sekali. "Nggak mood gua." Kala menghempaskan stik miliknya dengan kasar lalu mengambil bir di meja. Ia meminumnya guna menenangkan diri. "Nggak mungkin 'kan gua suka sama cewek kampungan itu?" Kala rasanya ingin tertawa menyadari kebodohannya ini. Masih menyangkal jika perasaan di dalam hatinya ini jelas bukan rasa suka. Lagipula untuk apa suka dengan wanita malam seperti Dina dengan keluarga yang punya latar belakang tukang judi. Semakin lama hati Kala semakin tak karu-karuan rasanya. Selama hidup di dunia ini baru kali ini ia dilanda kekalutan hati yang menyebalkan. Dan akhirnya Kala kalah dengan hawa kecemburuan yang membabi buta hingga melakukan tindakan diluar akalnya. Meninggalkan tempat billiard dan pergi ke kantor dimana Dina berada. "b******k! Tidak akan aku biarkan mereka merusak gadis polosku. Dia hanya milikku!" Batin Kala berteriak dengan lantang mengklaim jika Dina hanyalah miliknya. Tidak akan ia biarkan jika kepolosan itu dirusak oleh tangan-tangan tidak penting. Tak peduli mereka adalah tim-nya, Kala perlu memberikan batasan yang masih wajar. * Dina sudah selesai di make up natural yang menonjolkan beberpa poin penting. Matanya yang bulat dengan bulu mata lentik itu yang menjadi daya pikat paling indah dalam diri Dina. Rambutnya yang biasa hanya diikat biasa kini dicatok curly. Benar-benar cantik dengan kepolosan yang alami. "Kak Inneke, wuhhh ulala. So pretty girl!" Chiko—pria gemulai si make up artist yang baru saja mendadani Dina berseru dengan heboh. "Udah selesai, Chiko?" Inneke yang dipanggil segera mendekat guna melihat hasilnya. "Dina! s**t, lu cantik banget!" seru Inneke cukup kaget akan hasil yang tercipta. Dina benar-benar cantik meskipun hanya di make up natural. "Yups, rate 11/10 'kan?" Chiko tersenyum penuh kesombongan. "Chiko make up gitu loh. Cus! Gua yakin gambarnya makin mentereng nanti. Uwuh Medina, you so beautiful," puji Chiko mencubit gemas pipi Dina yang sejak tadi hanya patuh saja seperti anak kecil. "Kak, habis ini saya langsung foto? Pakai baju ini?" Dina bertanya. "No cantik! Lu pakai kaos dari kita, nanti di stylist sama Chiko sekalian. Kita pemotretan sambil nunggu Delvira. Ampun deh macetnya bisa sampai 3 jam kalau dia," jawab Inneke dengan guratan sebal di wajah. Sebenernya tak terlalu suka dengan orang yang terlambat, tapi mereka butuh sosok Delvira sang bintang yang sedang naik daun. Dina lalu diberikan satu kaos kedodoran ala anak-anak jaman sekarang dengan hot pants yang jika dipakai hanya menutupi pinggul. Chiko meminta Dina memakainya dulu di ruang ganti lalu pria gemulai itu merapikan kaos Dina dengan membuat simpulan di kaos yang membuat bagian perut dan pusatnya terlihat. "Emh, Mas ini harus banget kayak gini?" Dina bertanya takut-takut. Seumur hidup ia baru pertama kali ini memakai celana sependek itu. Ia malah risih ingin menutupinya tapi takut jika dimarahi. "Kayak gini gimana say?" Chiko justru bertanya bingung. Ia membantu Dina memasang peniti di kaosnya agar simpulan yang dibuat tidak lepas. "Aduh jangan panggil Mas dong, aku bukan Mas Mas Jawa. Panggil nama aja Chiko, pakai H- ya Medina." Pria itu menepuk lengan Dina seraya memasang wajah tak senang. Dina meringis seraya mengangguk, kedua tangannya sibuk menarik hotpants yang dikenakan karena benar-benar tidak nyaman rasanya. "Celananya kurang panjang sedikit, Mas eh Chiko. Apa aku bisa minta ganti celana lain?" tanya Dina ragu-ragu. Chiko justru tertawa. "Itu namanya fashion my pretty girl. Nevermind, kamu seksi dan mempesona," ujar Chiko kembali mencubit pipi Dina dengan gemas. "MEDINA!" Namun, sedetik kemudian terdengar suara bass yang mengejutkan keduanya. Dina belum sempat memberikan respon apa pun ketika lengannya ditarik dengan kasar hingga menjauh dari Chiko. "Mas Kala." Bibir Dina menyebut nama pria itu tanpa suara. Kaget juga kenapa Kala tiba-tiba ada di sana. Kala—pria itu terlihat sangat marah karena sempat melihat Chiko memegang pipi Dina. Ditambah kini ia melihat Dina memakai baju kurang bahan yang menunjukkan pusar dan pahanya. Wajahnya memerah oleh amarah yang seperti ingin memakan Dina saat itu juga. "Mas Kala ih, kenapa teriak-teriak? Sini aku belum kelar dandanin Dina, udah ditunggu di set," omel Chiko kembali menarik lengan Dina bermaksud menyelesaikan tugasnya. "Nggak usah pegang-pegang!" Kala menepis tangan Chiko dengan kasar. Kini kemarahannya beralih ke arah pria itu. "Maksud lu apa ngasih baju kayak gini ke Dina? Lu mau jadiin dia l***e pakai baju kurang bahan?" bentak Kala begitu kasar. Kemarahannya sudah naik tingkat level satu sekarang hingga ucapannya tak bisa dikontrol. "Anjir, Mas Kala ini aneh banget. Ini kan memang model paling trendy sekarang kaosnya yang mau dibuat sale. Tanyain aja Kak Inneke." Chiko membantah tak terima merasa pekerjaannya benar-benar. Kala berdecak begitu kasar, ia memanggil Inneke dan langsung memprotes keras gaya pakaian Dina yang menurutnya terlalu vulgar. Apa-apaan? Mana bisa ia membiarkan Dina seperti itu. Namun, sikapnya itu juga dibantah keras oleh Inneke yang menilai tidak ada yang keterlaluan dari baju yang dikenakan Dina. "Suruh dia pakai rok panjang, apa-apaan lu malah dandanin dia kayak l***e gini. Nggak suka gua!" "Kayak l***e gimana? Mulut lu jangan kurang ajar ya, protes sih protes nggak usah ngejudge kayak gitu. Salahnya dimana anjing!" Inneke terpancing hingga keributan itu semakin besar. Kala dengan sikap tak terimanya dan Inneke tetap mempertahankan fashion yang ia pilih karena ia merasa yang paling tahu trend anak muda sekarang. Shaka yang mencoba menengahi malah kena semprot keduanya membuat pria itu pening sendiri. "Lama-lama lu makin nggak jelas, sejak kapan lu ngurus kayak ginian? Jangan mentang-mentang saham lu paling gede lu mau seenaknya aja!" Inneke memaki tak karuan dengan suara yang begitu besar. Selama ini mau model jungkir balik pose kayang atau memakai baju kurang bahan mana ada Kala protes, sekarang tiba-tiba dimaki-maki seperti itu siapa orang yang tidak geram. "Nggak jelas gimana? Gua nggak mau katalog kita dinilai konten porno. Intinya jangan kasih dia celana pendek. Kalau lu ngotot, gua tarik semua duit gua!" Kala akhirnya mengeluarkan ancaman yang akan sangat susah ditolak oleh Inneke. "Anjing!" Inneke mengumpat kasar. Dina yang melihat itu sangat kebingungan. Ia jadi merasa bersalah karena dirinya Inneke sampai dimarahi seperti itu oleh Kala. Ia ingin berbicara apa malah takut jika akan memperunyam masalah. Ia sebenarnya heran kenapa Kala sensitif sekali dengan gaya pakaiannya. Toh pria itu juga sering merendahkan dirinya juga. Lama-lama Dina begitu sebal akan sikapnya yang semena-mena. "Mas Kala kenapa sih gitu banget sama aku? Seenggak maunya dia lihat aku maju?" Kala yang menyadari tatapan mata Dina itu tersenyum sinis sekali. Dalam hatinya mengakui kecantikan Dina semakin tumpah-tumpah sekarang. Untuk itulah ia menjadi tidak rela! Bersambung~
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN