Bab 13. Sikap Memberontak

1136 Kata
"Nggak bisa!" Kala yang sejak tadi sudah menahan diri seketika meluap begitu saja kekesalannya. Ada rasa tak terima saat Dina dipandang seintens itu oleh pria lain. Ditambah pujian demi pujian yang membuat wajah Dina memerah membuat amarah dalam diri Kala tak bisa dikendalikan. Belum lagi tawaran jadi BA yang pastinya akan sangat mengesalkan. Baru membayangkan saja Kala tak terima dan kesal, bagaimana jika hal itu terjadi? Kala tidak akan membiarkannya! "Why?" Shaka mengernyit terheran-heran begitu Inneke dan juga Dina. Kala mendesis pelan pertanda menahan emosi. Diliriknya sosok Dina dengan tatapan tajam membuat wanita itu menundukkan wajahnya takut. "Dia masih kecil, umurnya belum legal buat jadi pekerja." Dan akhirnya alasan paling tidak masuk akal itu keluar dari bibir Kala. "s**t! Bagaimana ia mengatakannya kalau ia tidak rela jika Dina akan menjadi pusat perhatian? Bagaimana bisa ia membiarkan kecantikan Dina dinikmati orang selain dirinya?" Dalam batinnya Kala sudah mengumpat-umpat tak karuan. Ia tidak bisa terang-terangan menunjukkan kekesalan itu. "Memang umur lu berapa sih, Din?" tanya Shaka. "Tahun ini jalan 23 Mas," jawab Dina seadanya. "Ck, udah legal ini. Apanya yang masih kecil? Aman masalah itu, kita obrolin dulu deh ya. Gimana ke?" Shaka tak ambil pusing sekali Dina setuju dan menurutnya wanita itu memang harus setuju. "Iya kita ngobrol dulu. Nggak enak banget bahas kerjaan kayak gini." Inneke menyetujui dengan anggukan pelan. "Buat lu Kala, kalau lu masih ribet aja nggak usah ikutan meeting deh. Biasanya juga terima beres 'kan? Bikin ribet orang aja," tukas Inneke paling tidak suka jika ada hal yang menghambat pekerjaannya. Kala semakin jengkel tak terperi. Ia melirik Dina sekali lagi bermaksud meminta wanita itu menolak ajakan tim yang lain. Namun, apa yang ia harapkan dari gadis polos super lemot seperti Dina. Wanita itu justru memandangnya dengan mata jernih yang membuat ia kelimpungan sendiri. "Sialan lu emang, Din!" umpatnya dalam hati. Dina akhirnya diajak memesan minum di salah satu restoran sembari Inneke menjelaskan kontrak dan juga hal yang perlu Dina lakukan. Wanita itu menunjukkan rincian yang biasanya sering digunakan untuk menghitung komisi bulanan kepada semua tim di brand miliknya. Untuk ukuran model baru seperti Dina yang belum terlalu punya nama komisinya jelas tidak bisa terlalu besar, itung-itung kalau booming justru laba yang didapatkan juga banyak. Tetapi sebagai pebisnis tentu harus memikirkan kerugian juga, jangan mau untung aja. "75 juta untuk satu kali pemotretan, kontraknya satu tahun dalam artian foto lu masih menjadi hak kita selama masa berlaku. Foto lu nanti dipakai di katalog resmi kita, kalau misalnya bagus nih hasilnya kita adakan promosi ulang dan gaji lu bisa berkali lipat dari honor pertama. Dengan catatan kalau memenuhi target ya, Dina ...." "Satu kali foto itu saya harus apa saja mbak? Saya nggak bisa pose kayak gitu." Dina bertanya ragu, dalam otaknya ini sudah teracuni oleh iming-iming gaji 75 juta yang dikatakan Inneke. "Bisa macam-macam, buat video promosi sama foto katalog aja. Pasti bisa kok, jangan insecure dulu dong, seriusan kata Shaka tadi. Lu punya modal bagus, sayang nggak dimanfaatin," sahut Inneke dengan nada merayu. "Tapi saya nggak bisa gaya, saya—" "Nah, dia nggak bisa gaya tuh. Ngapain pakai model yang kayak gini? Udah cari yang lain aja," tukas Kala menyela dan menghasut agar para tim-nya itu tidak jadi memilih Dina sebagai BA. Inneke mendesis seraya melirik Kala dengan tatapan sebal. "Nggak apa-apa, Dina. Misal kita coba ambil sesi foto sebentar gimana? Nanti diarahin sama Chiko, tim make up kita," ujar Inneke menunjuk sosok pria gemulai yang ikut nimbrung namun sibuk dengan ponsel di tangannya. Dina melirik ke arah pria gemulai yang dimaksud, baru juga ia ingin menjawab ketika suara Kala kembali terdengar. "Maksud lu si boti ini lu suruh megang-megang Dina?" Kala mengeram pelan. Dalam otaknya sudah tercemar adegan pria gemulai itu akan memegang-megang wajah Dina dan anggota tubuh lainnya. "Nggak bisa ya, ke. Nggak bakalan gua izinin!" sergahnya tak bisa mengontrol emosi karena hati yang mulai memanas. "Lu ini kenapa sih, Kal?" Inneke akhirnya ikut terpancing dengan sikap Kala ini. "Udah deh jujur, Dina ini siapanya lu? Kelihatannya lu posesif banget sama dia? Pacaran lu sama dia?" tuduh Inneke tanpa tendeng aling-aling. Jelas saja ia sudah heran karena sikap Kala jauh dari kata wajar. Kala tidak bisa langsung menjawab ketika pernyataan itu dilontarkan. Mana mungkin ia akan jujur kalau mereka sudah menikah? Mereka pasti tidak percaya dan mungkin akan meledeknya habis-habisan. Dina yang duduk di depan Kala menunggu pria itu menjawab. Ia pun ingin tahu seperti apa sebenarnya Kala menganggap dirinya. "Kalau dari sikapnya sih iya, lu pacaran sama Dina?" Shaka ikut-ikutan menuduh, selain kebersamaan mereka tadi Shaka juga heran melihat sikap Kala yang seperti menghalangi Dina menerima tawaran itu. Kala mengepalkan tangannya emosi, ia melirik Dina lebih tajam dari sebelumnya lalu akhirnya menjawab dengan suara yang begitu dingin. "Dia bukan siapa-siapa, hanya sekedar gadis yang bekerja di rumah Mama. Tidak lebih dari itu." "Pembantu?" celetuk Inneke spontan begitu saja. Kala yang sudah dikuasai emosi mengiyakan pertanyaan itu membuat Dina merasakan nyeri tak biasa di dalam hatinya. Wanita muda itu menunduk menyembunyikan air mata yang tiba-tiba ingin tumpah. Ia tersenyum lebar, menyembunyikan tangisnya. "Lu pembantu di rumah Kala, Din?" Inneke bertanya memastikan. Dina mengangguk cepat-cepat. "Iya mbak, saya cuma pembantu. Akan sangat riskan kalau saja dipilih jadi model seperti usulan Mas Shaka dan Mbak Inneke. Lebih baik saya tidak menerima tawaran ini," ujar Dina sangat sopan. Kala tersenyum sinis, dalam hatinya puas sekali jika Dina memang gagal menjadi BA di tempatnya berbisnis. "Loh, riskan kenapa? Selagi keluarga lu baik-baik aja nggak masalah kok. Kita coba dulu, Dina. Sayang banget loh, tawaran di depan mata ini." Inneke justru semakin tertarik, ia sudah bisa menilai jika Dina ini memang wanita baik-baik terbukti dari caranya berbicara dan sikapnya yang sopan. "Iya Dina, malah bagus kalau kamu bisa berhasil. Siapa tahu kamu nggak perlu kerja lagi di tempat Kala. Tinggal dandan cantik depan ponsel dapat duit. Punya privilege bagus kok disia-siain," imbuh Shaka juga menyayangkan jika Dina malah mundur. "Ngapain sih bujuk cewek ini, cari yang lain aja udah. Palingan juga dia kaku banget pas foto," celetuk Kala mengompori dengan nada yang begitu sinis. Dina yang sejak tadi diam sampai mengangkat wajah karena perkataan Kala semakin kesini semakin keterlaluan. Pria itu seolah benar-benar meremehkan dirinya dan menganggapnya hanyalah kacung yang tidak berguna. Dina pun merasa tak terima. Meskipun ia berhutang ratusan juta kepada pria itu, bukan berarti dirinya harus mengalah terus jika harga dirinya diinjak-injak terus. "Nggak apa-apa, Kal. Semua orang berhak mencoba, kita coba take sekali. Lihat hasilnya nanti, gimana, Dina?" Shaka masih bersikeras, sungguh ia sudah begitu jatuh cinta dengan wajah polos Dina sejak pertama kali melihat wanita itu di depan Apartemen. "CK, gua bilang dia pasti—" Kala kembali mencemooh guna meragukan dalam diri Dina. Namun, secara tak terduga terdengar suara halus yang menyela ucapannya dengan nada paling tegas yang pernah Kala dengar. "Saya mau, Mas Shaka. Kapan pemotretannya dilakukan?" Bersambung~
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN