Pasangan dingin itu akhirnya pergi ke mall tanpa ada pembicaraan apa pun. Yang ada hanya perintah dari sang debitur ke krediturnya yang harus menurut meski hatinya menolak atau mungkin menjeritkan rasa sakit karena perlakuan yang buruk.
Dina—gadis muda itu pergi dengan memakai kemeja garis-garis dipadukan rok panjang berwarna hitam. Rambutnya diikat biasa dengan poni yang membuat wajahnya terlihat seperti anak SMA.
Selama di mall Dina hanya mengekori di belakang Kala seperti anak ayam yang patut pada induknya. Kala yang menyadarinya mengernyit, ia menghentikan langkahnya membuat Dina secara tak sengaja membentur punggungnya.
"Aduh!" pekik Dina kaget melihat gapura kabupaten seperti Kala berdiri tegak di depannya. "Mas Kala kenapa berhenti mendadak? Kita sudah sampai?" tanyanya celingukan kesana-kemari.
"Lu ngapain jalan di belakang gua?" Kala mengernyit tak suka.
"Memangnya kenapa?" Dina justru kebingungan akan pertanyaan itu.
Kala berdecak geram, tanpa banyak berkata ia langsung meraih bahu Dina hingga wanita itu terbenam di pelukannya. Sebelum wanita itu banyak protes ia juga segera membawanya berjalan menuju toko ponsel.
"Gua nggak punya banyak waktu, lu lemot banget jadi orang," sergah Kala melirik Dina begitu sebal.
Dina tidak bisa begerak karena tubuhnya benar-benar dipeluk erat oleh Kala. Wanita itu diam mengikuti langkah kaki Kala yang cepat dan lebar dengan tertatih-tatih. Sesekali matanya melirik ke arah orang-orang yang menatap ke arah mereka membuat Dina tak nyaman. Ia memperhatikan penampilannya, takut aneh atau bagaimana sampai harus diperhatikan seperti itu.
"Mas, di wajahku ada yang aneh 'kah?" Dina mengangkat pandang ke arah Kala.
"Aneh?" Kala menaikkan alisnya tinggi-tinggi seraya bertanya heran.
"Semua orang banyak yang lihat ke arah kita. Di wajahku nggak ada yang aneh 'kan? Atau lipstikku belepotan atau bagaimana?" Dina semakin intens menghadap ke arah Kala. Meminta pria itu memperhatikan wajahnya agar tahu mungkin saja bedaknya uang ketebalan atau bagaimana.
Kala memandang Dina dengan raut wajah datar. Dihadapkan wajah polos dengan mata jernih yang bulat itu membuat jantungnya berdegup tak karuan. Ia memperhatikannya dan menilai tidak ada yang salah dari wajah itu.
"Cantik," ucap Kala spontan begitu saja.
"Mas Kala bilang apa?" Dina mengerutkan dahinya, ia mendengarnya namun tak yakin Kala memuji dirinya.
"Bilang apa emang?"
"Mas Kala bilang aku cantik?" Dina bertanya memastikan.
"Hem." Kala mengangguk membenarkan.
Dina yang tadinya masih ragu kini dibuat kaget akan jawaban yang diberikan Kala. Matanya memandang Kala yang berwajah sangat serius itu. Tiba-tiba saja rasa malu menyeruak dalam diri Dina membuat wajahnya memerah tanpa sadar.
Sudut bibir Kala terangkat membentuk senyum tipis menyadari rona merah di pipi Dina. Kala menyukainya.
"Ayo buruan, katanya mau kerja juga nanti," ujar Kala kembali merengkuh bahu Dina, mengajaknya segera pergi ke toko ponsel langganan.
Dina masih merasa malu sebenarnya, ditambah kini ia didekap seerat itu membuat ia bisa mencium aroma maskulin yang mengharuskan pada diri Kala. Aroma vanila musk yang tidak terlalu menyengat dan segar untuk dinikmati lama-lama.
"Dia itu memang aneh dan plin plan. Tadi sikapnya sangat kasar, sekarang malah bikin orang jantungan. Maunya apa sih dia ini," gerutu Dina dalam hatinya.
Sesampainya di toko ponsel, Kala meminta Dina memilih ponsel keluaran terbaru yang diberikan oleh pegawai toko. Wanita itu jelas kebingungan karena ponsel yang ditunjukkan bagus semua. Rasanya seperti mimpi bisa diajak pergi memilih ponsel mahal seperti itu, dulu dirinya hanya puas membeli ponsel bekas di konter dekat rumah.
"Lu mau yang mana?" Kala bertanya.
"Aku terserah Mas Kala aja deh, yang awet dan murah kalau ada," cicit Dina.
Kala melirik wajah Dina sekali lagi, wanita itu memang sangat menggemaskan sekali. Benar-benar polos membuat Kala selalu ingin menggigitnya.
"Ya udah, aku beliin yang awet tapi nggak mungkin murah. Nggak bakalan lah aku ngasih istri aku barang murahan," celetuk Kala tak meluapkan wajah sombong dengan balutan nada menyebalkan.
"Memang Mas Kala nganggap aku istri?" Dina balas menyeletuk dengan kalimat yang tak terduga.
Kala mengerutkan dahinya sangat dalam ketika mendengar pertanyaan itu. Ia meminta pegawai toko untuk mengurus aktifivasi ponsel sebelum akhirnya memusatkan pandangannya pada Dina. Sedikit tidak menyangka jika wanita polos itu akan bertanya seperti itu. Wanita itu menatapnya dengan tatapan biasa saja membuat Kala tak tahu apa yang tersembunyi di dalam hatinya.
"Memang istri 'kan? Istri kontrak yang udah gua beli dari bokap lu?"
Dina mengulum bibirnya membentuk senyum penuh luka. Ia mengangguk tanpa menyahut apa pun.
"Lu nggak sakit hati 'kan?" Kala bertanya tanpa perasaan sama sekali.
"Urusan sakit hati atau tidak itu adalah urusan aku. Mas Kala tidak perlu mengurusi perihal hati aku. Sesuai kesepakatan, begitu hutangnya lunas kita akan hidup kembali ke jalan masing-masing," ujar Dina datar saja nyaris tanpa emosi sama sekali.
Kala menyipitkan matanya, raut wajahnya berubah tak senang mendengar kalimat terkahir yang dikatakan oleh Dina.
"Hidup kembali ke jalan masing-masing? s**t, lu pikir bisa semudah itu, Din?"
Setelah keluar dari toko ponsel Dina menjadi lebih banyak diam. Padahal Kala masih ingin mengajaknya pergi ke toko pakaian guna membelikan wanita itu pakaian yang lebih pantas namun Dina menolak dengan alasan ingin langsung pergi bekerja.
Kala sebenarnya tak suka dibantah namun ia juga tidak punya kewajiban khusus untuk membelikan Dina pakaian. Akan sangat aneh jika ia memaksa dengan dalih tak suka jika Dina memakai baju yang itu-itu saja.
Mereka hendak meninggalkan mall ketika suara seruan memanggil nama Kala dari arah belakang menghentikan langkah keduanya.
"Kala?" Shaka—pria itu terheran-heran mendapati teman sekaligus patner kerjanya itu pergi dengan wanita yang tak asing. Dirinya datang bersama beberapa orang lain temasuk Inneke karena memang sedang melakukan sesi pencarian model dengan wajah baru untuk katalog terbaru di toko mereka. Tak disangka-sangka justru akan bertemu Kala di sana.
"Dina?" Shaka terang-terangan menatap keduanya dengan begitu heran.
Sementara Kala mengernyit ketika menyadari jika Shaka tahu nama Dina. Tetapi ia tidak berkomentar lebih.
"Asem, ditelepon nggak diangkat taunya malah jalan sama cewek. Siapa nih? Gebetan baru?" celetuk Inneke seraya memperhatikan Dina dari atas sampai bawah.
"Cewek?" Shaka justru yang membalas pertanyaan Inneke. "Kalian berdua pacaran?" tuduhnya disertai tatapan penuh selidik.
Dina terkaget-kaget akan pertanyaan itu, ia segera menatap Kala yang memasang wajah sangat datar.
"Bukan urusan lu," sergah Kala malas.
Ucapannya itu sontak disambut tawa renyah oleh Shaka. "Hahaha, ya nggak mungkin sih lu punya pacar. Siapa juga yang demen sama kulkas berjalan kayak lu," ujar Shaka penuh cibiran.
"Bacod banget lu!" Kala mendesis geram, rasanya ingin memukul temannya itu.
"Hahaha, iya 'kan ke? Kalau Kala punya pacar pasti aneh." Shaka masih mengejek dengan tawa renyah. "Eh, tapi kalian kok bisa berdua? Kalian saling kenal?" Sedetik kemudian tawa Shaka lenyap berganti wajah keheranan.
Kala memutar bola matanya malas, tak ada niat sama sekali untuk menjawab pertanyaan itu. Ia memperhatikan beberapa kru lain yang dibawa oleh Shaka dan Inneke.
"Kalian masih nyari modelnya? Belum dapat juga emang?" tanya Kala.
"Belum, lu sih minta wajah baru. Susah nyari cewek yang bukan seleb punya wajah cantik. Udah seminggu ini buang waktu kita," sahut Inneke ikut pening rasanya karena belum menemukan model yang cocok. Mungkin ada beberapa tapi belum masuk di hati rasanya.
"Sesusah itu emang?" Kala menatap Inneke dengan intens.
"Gua nyari yang personal brandingnya bagus, nggak bisa asal nyomot. Takutnya udah diangkat jadi BA malah keluarganya toxic, runyam yang ada," sahut Inneke.
Kala mengangguk mengerti, Inneke memang orang yang sangat selektif untuk masalah BA yang akan mereka gunakan. Karena image seseorang itu jelas bisa jadi pengaruh untuk produk jualan mereka nantinya.
"Kayaknya kita nggak perlu nyari jauh-jauh lagi deh." Celetukan Shaka terdengar membuat semua orang menatap ke arahnya. Shaka tersenyum santai dengan ekor mata yang menunjuk ke arah Dina. "Medina, dia cocok buat jadi BA kita."
Yang ditunjuk kaget begitu pun Kala dan Inneke. Mereka sontak memperhatikan Dina dengan tatapan yang sangat tajam membuat sang empunya langsung gemetar dan gugup.
"Maaf, ehm maksudnya apa?" Dina memberanikan diri untuk bertanya. Memang kemarin Shaka ada menawarkan kerjasama namun Dina masih belum terlalu paham.
"Yang kemarin gua tawarin, jadi model foto katalog di tempat kita, Din. Lu punya modal bagus, wajah lu juga cantik dan masih muda. Cocok buat jadi BA. Gimana Kala, Inneke?" ujar Shaka manggut-manggut dengan mata yang terus memandang Dina dengan tatapan berselera.
Kala yang menyadarinya tampak sangat tak senang, kedua tangannya mengepal erat melihat tatapan Shaka yang seperti itu.
"Boleh sih, tinggal dipoles aja makin cantik dia." Inneke menyetujui setelah memperhatikan wajah Dina dengan seksama.
"Kan? Apa gua bilang, Dina ini punya modal bagus. Masih muda lagi, cocok pokoknya. Mau ya, Din? Jadi model produk kita?" Shaka menjentikkan jarinya dengan penuh semangat, tatapan matanya bahkan tak lepas dari Dina yang masih kebingungan itu.
"Tapi aku nggak pinter buat foto, Mas. Aku juga—"
"Santai, santai, masih bisa diatur. Coba dulu aja gimana? Gajinya gede lo kalau misal jadi," sahut Inneke ikut merayu, ia juga merasa Dina akan menjadi bintang besar nantinya. Wajah polosnya itu yang membuat Inneke itu tertarik. "Nih ya, kalau misal jadi beneran. Kamu bisa mendapatkan komisi 75juta per sekali sesi foto, belum nanti tambahan pengikut di akun sosmed kamu makin banyak," imbuh Inneke.
Dina semakin kebingungan, ia ingin menjawab bagaimana? Mendengar iming-iming gaji berjuta-juta tadi jelas ia sangat berminat. 75 juta itu bisa gajinya 2 tahun menjadi pelayan restoran.
"Kayaknya kurang enak deh ngomong disini, kita ke restoran dulu aja sambil ngopi, ya Dina?" ajak Shaka.
"Nggak bisa!"
Bersambung~