Bab 11. Membatasi Diri

1254 Kata
Kala rasanya sudah benar-benar gemas melihat sikap Dina yang dinilai terlalu polos itu. Sangking gemasnya ia menggigit bibir wanita itu cukup kuat. "Aduh, kenapa digigit!" Dina berteriak sambil mengusap bibirnya yang terasa perih. "Mas Kala pikir bibirku permen yupi? Sakit!" "Lu polos banget sih, Din. Gemes gua." Kala tak bisa menahan dirinya, ia menguyel-uyel pipi wanita itu dengan kedua tangan. "Aku nggak polos." Dina bersungut-sungut sebal. "Siapa bilang aku polos? Aku tahu kok tentang ciuman dan sebagainya." "Dan sebagainya apa?" Kala yang tadinya sudah sangat bernafsu itu kini berubah menjadi penuh kegemasan. Wajah Dina yang bersungut-sungut kesal itu entah kenapa menjadi hiburan tersendiri bagi dirinya. "Ya itu," sahut Dina menundukkan wajah. Ia merasa malu sendiri ingin menyebutkan apa yang di otaknya. "Itu apa?" Kala sengaja menggoda dengan mengejar mata wanita itu. Ia rela menunduk membuat wajah mereka sangat dekat. "Mas Kala nyebelin banget sih, udah deh jangan ganggu terus," rengek Dina mendorong bahu Kala agar menjauh. Ia yakin wajahnya saat ini sudah memerah padam. Kala tersenyum tipis, sikap Dina itu lucu sekali menurutnya. Padahal ia sangat benci jika mendengar ada wanita yang merengek, apalagi kalau sengaja dibuat-buat. Tetapi Dina jelas berbeda, ketika melihat wajahnya yang merah hingga menjalar ke leher dan telinga ia merasa sangat menyukainya. "Makanya jadi orang nggak usah sok polos. Bikin gemes orang aja," ucap Kala kembali mengacak-acak rambut Dina lagi membuat seluruhnya berantakan. "Mas Kala!" Dina mendesah geram, membenarkan rambutnya dengan wajah yang masih sangat kesal. "Jangan diberantakin dong, aku jelek nanti." "Kan emang jelek, rambut apaan nih." Bukannya berhenti Kala malah terus mengacak-acak rambut Dina. "Mas Kala nyebelin banget sih." Dina semakin bersungut-sungut akan sikap suaminya itu. "Aku mau tidur, udah ah nggak usah ganggu!" cetusnya beranjak meninggalkan Kala. "Eh siapa yang ngizinin lu tidur?" Dengan satu tarikan mudah Kala membuat tubuh mungil Dina terhempas ke pangkuannya. Semua terjadi begitu saja, kini Kala tengah memeluk wanita itu dengan lengan kokohnya membuat Dina terdiam. Sesaat mereka sempat beradu pandang sebelum akhirnya Dina menggeser tubuhnya. "Mas Kala ish! Mau apa lagi sih? Aku harus tidur, ngantuk!" "Temenin gua nonton." Setengah jam selanjutnya Kala terpaku pada layar televisi yang menyala. Terang saja tak ada yang menarik dari drama yang ditonton. Namun secara sengaja ia meminta Dina untuk menemaninya dengan dalih malas keluar. Padahal sebenarnya memang tidak ingin keluar karena ada yang lebih menarik di Apartemennya. Apa lagi kalau bukan Dina. Wanita itu kini tengah berkantuk-kantuk di samping Kala namun tidak berani mengatakan ingin tidur. Sementara Kala sendiri tak tahu sedang memikirkan apa, bola matanya itu sesekali melirik Dina yang akhirnya tak tahan menahan kantuk hingga menyadarkan kepalanya pada bahu. "Din," panggil Kala. Tidak ada sahutan menandakan jika wanita itu sudah tertidur. Kala mematikan televisi di depannya, meraih kepala Dina yang bersandar di bahu. Sudut bibirnya terangkat menjadi senyum tipis ketika melihat wajah Dina yang terlelap damai. Dengan gerakan lembut Kala meraih wanita itu ke dalam gendongan. Sejenak Kala memandang wajah wanita itu sebelum akhirnya merebahkannya di ranjang. Tidak seperti biasanya yang menyuruh Dina tidur di sofa, namun Kala membawa wanita itu tidur bersamanya. Mungkin karena merasa nyaman Dina meringkuk di pelukan Kala. "Selamat tidur, Medina," lirih Kala seraya impulsif mencium pipi Dina lalu menariknya ke dalam pelukan. Tanpa sepengatahuan Kala, sosok wanita mungil yang ada di dekapannya itu belum benar-benar tidur. Dina hampir tertidur tadi, akan tetapi ketika Kala meraihnya ke dalam gendongan ia jadi terbangun. Sengaja berpura-pura tidur karena berpikir Kala akan membiarkannya saja di lantai. Namun, yang terjadi justru hal yang mengejutkan. Dina memejamkan rapat-rapat seraya memeluk Kala lebih erat. Tak bisa dipungkiri hatinya, jika setelah mengenal pria ini Dina merasa jauh lebih aman karena tidak lagi harus bekerja di dunia malam untuk menutupi hutang Bapaknya. Secara tidak langsung Kala memang menjadi penyelamat hidupnya meski ada harga yang harus dibayar. "Mas Kala itu sebenarnya maunya apa? Kenapa memberikan kenyamanan seperti ini padaku. Aku takut ...." *** Keesokan paginya, Dina bersikap seolah tidak terjadi apa pun semalam. Mereka menghabiskan sarapan bersama tanpa ada niat untuk membuka obrolan. Padahal biasanya Kala sering menghina makanan yang dimasak Dina, entah kurang pedaslah, entah kurang asin dan masih banyak lagi. Berbeda dengan pagi itu, Kala hanya diam saja menghabiskan makanannya. "Berangkat lu jam 10 pagi 'kan?" Setelah makan Kala bertanya seraya memandang Dina serius. "Iya." Dina mengangguk sebagai jawaban. Segera meraih piring kotor bekas sarapan mereka lalu dicuci. "Habis ini kita pergi ke mall dulu." "Ngapain ke mall, Mas?" Dina menoleh memandang Kala dengan tatapan heran. "Beliin lu HP, nanti daftar dompet digital aja. Lebih enak, kapan-kapan kalau duit lu udah ke kumpul baru buat kartu ATM lagi," sahut Kala seadanya. "Aku nggak pengen beli HP, Mas." Dina menggeleng cepat-cepat. "Sayang banget uangnya, HP-ku aja masih bisa dipakai." Kala masih dengan sikap datarnya memandang Dina cukup tajam. "Ini perintah, dan lu nggak boleh nolak. Ingat 'kan lu disini cuma kreditur dan gua debiturnya. Ngerti?" ujar Kala begitu sarkas. Dina mengulum bibirnya seraya mengerjakan pekerjaannya dengan cepat. Lihat sendiri 'kan? Kala itu terkadang tak bisa tertebak sama sekali maunya apa. Kadang baik, kadang juga sangat menjengkelkan. Dina pun jadi ragu untuk benar-benar menggunakan hati dalam hubungan mereka. Dina takut untuk berharap dan akhirnya harapan itu dihancurkan ke titik paling rendah. Bukankah itu hal yang sangat menyakitkan? Lebih baik berpura-pura bodoh dan mengikuti alur yang diciptakan oleh Kala. "Aku ambil tas dulu," ucap Dina begitu selesai membersihkan semuanya. Kala tidak menyahut apa pun, ia melirik Dina yang pagi itu menggunakan celana skinny dengan kaos panjang yang cukup ketat. "Din," panggilnya membuat langkah kaki wanita itu terhenti. "Pakai baju yang kayak biasanya," titah Kala. "Baju kayak biasanya?" Dina mengerutkan dahi bingung. "Biasanya lu juga pakai rok sama kemeja udik itu 'kan? Nggak pantes lu pakai baju kayak gitu, sengaja mau nunjukin body lu yang tepos itu?" ucap Kala dengan nada cemoohan kental, pun sorot matanya yang begitu sinis melihat baju Dina yang ia nilai terlalu ketat. Dina terperanjat lantas segera melihat dadanya. Menurutnya body-nya tidak tepos sama sekali, justru kini dadanya semakin besar karena sering dipegang-pegang oleh Kala. "Besar kok," ucap Dina masih tak rela jika dikatakan seperti itu rasanya. "Medina!" sentak Kala geram sekali, ia sampai bangkit dan menoyor kepala wanita polos itu. "Aduh, Mas Kala kenapa sih suka gitu sama aku," protes Dina dengan wajah cemberut. "Lu dibilangin susah banget sih. Lu tau nggak banyak kasus pelecehan di luar sana? Semua itu bisa terjadi karena banyaknya kesempatan dan juga gaya berpakaian yang mengundang. Lu cewek, minimal jaga diri lu dengan nggak ngumbar badan. Ingat ya, Din. Hari apes itu nggak ada di kalender, pakai baju yang sopan!" tutur Kala cukup emosional, tatapan matanya itu sangat tajam namun penuh perhatian yang bisa Dina rasakan. Kala tidak mau Dina memamerkan tubuhnya di luar sana karena Kala sejujurnya benci sekali melihat wanita yang bermodelan seperti itu. Kala merasa lebih baik para wanita itu bertelanjang sekalian, karena baju yang dikenakan kurang bahan. "Mas Kala peduli sama aku?" Dina bertanya seraya memandang wajah Kala dengan mata jernihnya. "CK, gua cuma nggak mau barang yang udah gua beli dinikmatin orang lain juga. Nggak lebih dari itu," sergah Kala begitu sarkas. Dina yang tadinya sudah begitu bahagia seketika langsung terdiam. Kedua tangannya mengepal tanpa sadar mendengar perkataan Kala yang menganggap dirinya hanya sebuah barang. "Buruan ganti baju lu, gua tunggu dibawah," ujar Kala sebelum akhirnya beranjak meninggalkan Dina. Sejujurnya Kala tidak pernah ingin sekasar itu, tapi Kala pun tidak bisa memberikan harapan lebih kepada wanita itu. Karena ia bukanlah pria yang pantas untuk diharapkan oleh wanita itu. "Gua yakin ... lu bakalan ilfil kalau tahu siapa gua sebenarnya. Maafin gua, Din ...." Bersambung~
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN