Bab 10. Perhatian Kecil

1166 Kata
Dina selesai membersihkan diri berniat untuk langsung tidur. Wanita itu beranjak mengambil selimut serta bantal lalu dibawa menuju sofa karena selama ini ia tidur di sana. Hendak merebahkan dirinya terdengar pintu kamar terbuka, itu membuat Dina menoleh. Kala, pria itu membawa dua kantong kresek cukup besar di tangannya. "Mau tidur lu?" "Heem." Dina menyahut singkat, masih lemas sekali rasanya dan benar-benar capek badan serta pikiran. "Gua tadi beli makanan kebanyakan, bantu habisin." Kala mengucapkannya santai, ia meletakan makanan itu di kasur berbulu yang ada di depan ranjang. Dina melirik makanan yang dibawa Kala lalu menatap pria itu sejenak. Kini Kala melepaskan jaket yang dikenakan, setelahnya duduk di bawah dengan santai. "Aku udah ngantuk, pengen langsung tidur." Dina menolak halus. "Ck, makan dulu sini." Kala memandang wanita itu sangat dingin seolah mengatakan jika perintahnya tidak bisa dibantah. Dina sebenarnya sangat enggan sekali, tetapi apa mau dikata. Kala bisa memarahinya habis-habisan jika ia tidak menurut. Ia segera beranjak ikut duduk di samping Kala yang membuka makanan yang dibeli. Nasi goreng, sate ayam dan juga ada cemilan serta bir kalengan yang dibelinya di minimarket. "Makan tuh, biar cepat gede. Umur udah 23 tapi badan segitu-gitu aja," ujar Kala sinis seperti biasa. Lagi-lagi Dina tidak banyak menjawab, lebih memilih segera menuruti perkataan Kala dengan memakan nasi goreng yang sudah ada. Jelas saja hal itu membuat Kala semakin penasaran. Tadi seharusnya ia pergi ke bar bersama teman-temannya yang lain, tetapi ia urungkan karena teringat akan wajah menyedihkan Dina. Selama mereka mengenal, baru kali ini Kala melihat wajah Dina semurung ini. Oh bukan, saat mereka bertemu di tempat hiburan Dina juga sangat murung seperti sekarang. "Lu kenapa?" Banyak pertimbangan dari hati Kala sebelum akhirnya memutuskan bertanya. Bangsatnya wajah murung Dina itu sangat mengusik hatinya. Dina masih memakan nasinya dengan cepat. Tadinya sudah menahan diri agar tidak menangis, namun ditanya seperti itu ia langsung ingat jika kartu ATM-nya telah raib dicuri Bapaknya. Hal itu memaksa air matanya meleleh kembali. Kala mengerutkan dahinya melihat tubuh Dina mulai terguncang karena tangis. Menjadi bukti nyata jika wanita itu memang ada masalah. "Bapak lu pelakunya? Dia ganggu lu lagi?" Kala bertanya mendesak, tanpa sadar kedua tangannya mengepal erat jika firasatnya itu benar. Bukannya mereda tangis Dina justru semakin menjadi-jadi. Nasi yang sudah dikunyah rasanya susah sekali ditelan. "Dia ada maksa jadiin lu cewek kayak gitu lagi?" Air muka Kala mengeras seketika. Dina menggeleng cepat-cepat, sesekali mengusap air matanya sebelum akhirnya menjawab dengan terbata-bata. "Uang tabunganku diambil sama Bapak, padahal uangnya aku kumpulin dari sebagian gaji aku. Sekarang uangnya udah nggak ada ...." Kala menghembuskan napas lega tanpa sadar. Tadi sudah ketakutan jika Dina akan kembali diseret di dunia malam oleh Bapaknya yang gila itu. "Kirain kenapa, berapa emang uang yang diambil? Nanti gua ganti, gitu aja nangis." "Aku nangis karena uangnya itu aku ngumpulin berbulan-bulan, pengen aku pakai daftar kuliah lagi. Tapi malah dicuri," sahut Dina masih terisak-isak. "Kalau uang tabungan harusnya lu simpan di tempat yang aman. Gimana bisa diambil bapak lu?" Kala mengerutkan dahinya lagi. "Jadi pulang telat gara-gara pergi ke rumah?" Matanya melirik Dina sedikit tajam. Tadinya sudah sedikit berspekulasi Dina kelayapan tidak jelas. "Udah aku simpan di ATM, tapi tetep diambil. Tadi pulang ke rumah bentar, ketemu Akbar sama Ibu." "Kalau di ATM ya aman aja. Emang bapak lu tahu pin-nya?" Dina yang tadi menangis seketika memandang wajah Kala. Bukan berhenti, namun air matanya kembali mengalir. "Bapak tahu karena itu ATM bersama, buatnya pas aku dapat bantuan sekolah, Mas. Huaaa ... uangku pasti dihabiskan Bapak ...." Kala mendesis pelan melihat Dina yang kini menangis seperti itu. Ia jelas bukan tipe pria yang pandai memberikan penghiburan terhadap wanita. Jangankan memberikan penghiburan, berbicara dengan wanita saja ia jarang. Hanya beberapa wanita yang benar-benar dekat, selebihnya tak akan ada satu pun kata keluar dari bibir Kala jika wanita itu asing. "Udah nggak usah nangis. Lagian dijaman sekarang kenapa ribet, ada dompet digital, m-banking. Ngapain pakai kartu segala?" "Ponselku aja masih kentang, memorinya nggak cukup." "Astaga, Din. Semiskin itu lu ya?" cemooh Kala sampai heran sekali melihat manusia seperti Dina. Di jaman Hedon saat ini, banyak kalangan anak muda memakai ponsel dengan merek buah yang digigit dan berbagai ponsel pintar lainnya. Sedangkan Dina masih memakai ponsel lama yang dilayar sentuhnya saja sangat lemot seperti otaknya. Dina tidak ingin menanggapi cemoohan Kala. Ia memilih menghabiskan makanannya dengan cepat agar bisa langsung tidur. "Besok deh gua ajak lu ngurus kartu baru ke bank. Uangnya tabungin lagi, sekarang kan gaji lu juga nambah," ujar Kala entah kenapa tak tega melihat Dina murung seperti itu. "Nambah dari mana?" Dina mengusap air matanya dengan cepat. Masih tidak ikhlas tapi menangis juga tidak ada faedahnya sama sekali. "Uang bulanan dari gua, itu pasti nggak bakalan habis 'kan? Bisa mulai lu tabungin tuh." "Oh iya, yang dua bulan ini aku simpan di tas." Dina mengangguk dengan mata yang sedikit berbinar. Lupa jika masih punya uang beberapa juta dari sisa uang yang diberikan Kala. "Gua bilang juga apa? Jadi istri gua itu banyak enaknya. Udahlah tinggal di tempat enak, masih dapat bonus duit lagi," ucap Kala mengulas senyum sombong. "Iya, enak jadi istri Mas Kala." Dina mengangguk-angguk saja mengakui. Kadang memang banyak enaknya, hanya bonus makan hati dikit jika ucapan pria itu sangat menyebalkan. "Dasar! Kalau bilang nggak enak gua hajar lu. Orang tugas lu cuma jadi istri pura-pura di depan Mama doang. Nggak pernah gua pakai, kurang enak gimana coba?" Kala mencibir tak tertahankan. "Aku tahu kok Mas Kala udah banyak bantu aku. Tapi ... itu semua 'kan nggak gratis." Dina menghela napas panjang, teringat akan pertemuan mereka pertama kali dan membuat perjanjian yang mengikatnya dengan Kala sampai sekarang. "Di dunia ini emang nggak ada yang gratis 'kan?" Dina tidak menjawab apa pun, ia hanya memandang Kala dalam diam. Itu membuat Kala cukup keheranan. Pria itu menghabiskan makanannya lalu meminum bir kalengan yang dibeli. Kala meminum bir itu dengan cepat, matanya melirik Dina yang diam di sampingnya. Herannya tatapan mata wanita itu tidak seperti biasa. Kala menyeringai dibalik kaleng yang diminum. Ia kemudian menyentil dahi Dina geram. "Aduh!" Dina terkejut hingga sontak mengusap dahinya. "Sudah gua tebak, otak lu itu emang nggak sepolos itu. Lu berharap apa dari gua, Din?" celetuk Kala menyadari tatapan mata Dina tadi. "Berharap apa?" Kala membasahi bibir, setiap memandang wajah Dina ia merasakan gejolak perasaan yang tak bisa dikendalikan. Ia mengulurkan tangannya mengusap pipi wanita itu. Bibirnya itu selalu memanggil dirinya hingga membuatnya tak tahan untuk tidak mengecupnya. Tidak seperti biasanya yang hanya diam, Dina mulai membalas ciuman itu. Gerakannya masih sangat kaku namun ia mulai terbiasa dengan ciuman yang dilakukan Kala padanya. Ia membuka bibirnya membuat pria itu memperdalam ciuman mereka, lebih intim dan mendesak. Kala cukup kaget dengan kemajuan pesat yang terjadi pada Dina. Ia merasa semakin menikmati ciuman itu hingga menekan tengkuk Dina, tangannya begerak pelan mengusap lengannya. Kala menjauhkan wajahnya sejenak memandang Dina yang pasrah saja itu. "Lu nggak takut gua apa-apain?" Kala bertanya dengan nada suara yang sangat dingin. "Memangnya mau diapain?" Dina menjawabnya pelan serta memandang Kala dengan begitu sayu. "s**t!" Bersambung~
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN