Bab 9. BBB ( Bukan Bapak Biasa )

1286 Kata
Dina berteriak keras seraya melangkahkan kakinya dengan cepat. Ia melihat amplop putih pemberian Bu Widia sudah dirobek serta dompet yang terbuka. Mata Dina terbelalak lebar ketika menyadari jika ada yang hilang di sana. "Kartu ATM!" Dina semakin syok tatkala mencari kartu ATM miliknya tidak ada. Sementara di dalam kartu itu ada uang gaji yang selama ini ia kumpulkan untuk mendaftar kuliah. "Bapak!" Dina menjerit seraya menangis, ia segera bangkit lalu berlari mengejar Suhendra yang sudah lebih dulu kabur. Dina terus menangis menyusuri jalan kecil kontrakan rumahnya, sumpah demi apa pun ia sangat tidak rela jika uang tabungan itu dipakai judi online lagi. "Bapak! Balikin kartunya!" Dina terus berteriak memanggil, beberapa kali terlihat Suhendra menabrak pejalan kaki lain. "Dina, kenapa Dina?" Dina tidak menggubris pertanyaan yang dilontarkan para tetangganya. Ia terus mengejar Suhendra sampai di ujung jalan, pria itu sudah naik di atas motor tukang ojek namun Dina berhasil menahan lengannya. "Balikin kartunya, aku nggak rela Bapak ambil itu. Balikin!" Dina menjerit histeris, berusaha mengambil kartu ATM miliknya dari tangan Suhendra. "Pinjam dua juta aja, ntar gua balikin. Pelit banget jadi anak." Suhendra merasa geram hingga tak segan menyikut wajah Dina. Tubuh Dina terjengkang ke belakang tanpa mendapatkan apa yang dirinya inginkan. Wanita itu menjerit histeris melihat Suhendra yang sudah kabur membawa ATM miliknya. "Bapak jahat! Arghhhh ...." Dina benar-benar histeris kali ini. Semua mimpinya yang mulai dirajut perlahan-lahan akhirnya kembali lenyap. Berbulan-bulan ia mengumpulkan uang hanya demi bisa mendaftar kuliah lagi dalam sekejap musnah begitu saja. Semua kerja kerasnya seolah tak berguna apa pun sekarang. "Bapak kenapa jahat banget sama aku," ucap Dina terisak-isak di pinggir jalan. Rasanya tubuhnya ikut lemas karena uangnya kembali raib. Dina menangis seperti orang gila' pun rasanya percuma. Yang ada dirinya justru terbenam dalam rasa sakit yang menyiksa. Ibunya yang melihat itu juga tidak tahu harus berbuat apa, Suhendra semakin hari nyatanya memang semakin gila karena kecanduan judi online. "Kamu udah tahu punya bapak sinting, ngapain pulang segala? Udah bagus-bagus tinggal sama suami kamu, Din." Erna—ibunya Dina justru memarahi anaknya ketika pulang mendapati Dina menangis karena uangnya diambil Suhendra. "Aku pulang karena kangen sama Ibu dan Akbar, kenapa Ibu kayak gitu?" Dina semakin histeris. Kenapa Ibunya pun tidak pernah mengerti apa yang ia rasakan? Erna yang tadinya marah tiba-tiba ikut menangis. "Ibu kayak gini juga mau yang terbaik buat kamu, Din. Suami kamu itu orang yang paling tepat buat jaga kamu. Meskipun kalian menikah tanpa cinta seenggaknya dia nggak miskin kayak keluarga kita. Kamu lihat ibu dan bapakmu ini, kami nikah karena cinta tapi nggak ada bahagianya. Udah baik-baik kamu sama suami kamu," tutur Erna tak tahu lagi rasanya ingin memberikan nasehat seperti apa karena hidupnya pun sangat berantakan. Dina menangis semakin kencang hingga tubuhnya sesenggukan. Merapati nasib menjadi orang yang serba kekurangan dan rasanya begitu menyesakkan. Andai Ibunya tahu kalau setiap harinya ia pun harus menahan sakit hati karena ucapan pedas dari pria yang disebut suami itu. "Udah, kamu nggak usah nangis. Mulai sekarang kalau mau ketemu ibu ketemuan aja di luar. Ibu juga kasihan lihat kamu kayak gini. Sekarang kamu pulang, dicariin suami kamu nanti," ujar Erna mengusap air matanya dengan cepat. Dina tidak menyahut namun segera bangkit seraya mengambil tas. Hubungan dirinya dan sang ibu jelas bukan hubungan yang hangat, namun ia tahu jika wanita itu masih menyayanginya. "Aku pulang, maaf nggak jadi kasih uang ke Ibu. Uangnya—" "Nggak apa-apa, Ibu tadi udah dapat duit dari nyetrika." Dina lagi-lagi mengangguk tanpa suara, ia meraih tangan Erna sebelum akhirnya berpamitan. Erna hanya memandang punggung mungil anaknya yang perlahan lenyap dari pandangan. "Semoga suami kamu bisa buat kamu bahagia ya, Din. Ibu minta maaf karena belum bisa bahagiain kamu," batin Erna dengan penuh harap. *** Dina memutuskan pulang dengan naik ojek. Dengan tubuh tak bersemangat ia melangkah memasuki halaman Apartemen yang luas itu. Sesekali Dina masih mengusap air matanya yang tidak henti berderai, bukannya berlebihan tapi ia merasa semua hasil kerja kerasnya benar-benar sia-sia membuat ia harus mengubur dalam-dalam mimpinya untuk melanjutkan kuliah. Ingin mendaftar beasiswa pun tidak mungkin, selain otaknya yang tidak pintar-pintar amat, Dina juga tidak begitu fokus mengikuti semua kegiatan kampus karena harus bekerja. Rasanya memang sangat gelap sekali masa depannya sekarang. Dina berjalan dengan melamun sampai tak sengaja menabrak seseorang yang baru saja keluar dari mobil. "Sorry, sorry gua nggak lihat." Dina melirik seorang pria berjaket jeans biru itu yang menabraknya. "Nggak apa-apa," sahut Dina pelan. Ia pun merasa bersalah karena berjalan sambil melamun. "Hei, aku rasa kita pernah ketemu deh." Pria berjaket jeans itu memandang wajah Dina lekat-lekat membuat sang empunya mengerutkan dahi. "Di acara syukuran di rumahnya Xabiru, ya itu kamu!" "Mas pernah lihat aku?" Dina mengerutkan dahi. Memang merasa familiar tapi juga lupa. "Iya, iya aku ingat. Kenalin namaku Shaka." Shaka mengulurkan tangannya pada Dina dengan wajah berbinar yang tidak disembunyikan. Dina melirik uluran tangan itu, ia menyambutnya saja. Toh hanya berkenalan, ia kini juga tahu kemungkinan besar Shaka adalah teman dari anak bosnya yang artinya temannya Kala juga? "Nama kamu siapa?" Shaka kembali bertanya karena Dina hanya diam. "Dina." "Tinggal disini?" Shaka sedikit mengernyit, melirik Apartemen mewah tempat dimana kekasihnya tinggal. Jelas Apartemen kelas atas yang bisa disewa oleh orang berdompet tebal, sedangkan setahunya Dina hanya pelayan biasa. "Iya." Dina menyahut seadanya. "Kalau udah nggak ada yang diomongin saya pamit dulu, Mas. Permisi." Dina menggangguk sopan sebagai bentuk salam, saat ini rasanya ia ingin segera kembali ke kamarnya dan tidur. Shaka memperhatikan wajah Dina yang sangat polos itu. Namun yang dilihat Shaka justru Dina semakin menarik, kepolosan itu seperti memanggil seseorang untuk terus tertarik padanya. "Dina tunggu sebentar." Shaka menahan lengan Dina sebelum wanita itu benar-benar pergi. Dina kaget pastinya akan sikap Shaka, ia menarik lengannya lembut lalu buru-buru menjauhkan tubuhnya. Memandang Shaka dengan tatapan penuh kecurigaan. Shaka mengangkat tangannya. "Sorry, aku nggak bermaksud lancang." Shaka cukup kaget akan respon Dina yang cukup berlebihan. Padahal ia hanya memegang tangan. "Ada apa ya, Mas? Ini udah malem, saya harus secepatnya balik," ujar Dina cemas, teringat sudah punya suami dan tidak bisa sembarangan pulang larut. "Sebenarnya kurang sopan kalau ngomong disini, tapi gua mau nawarin kerjasama." "Kerjasama?" * Kala beberapa kali mengecek ponsel untuk melihat jam tangan. Sudah jam 9 lebih namun Dina belum kelihatan juga batang hidungnya. Biasanya wanita itu sudah di rumah ketika jam 8 malam. Kala yang tadinya hendak keluar akhirnya mengurngkan niat, ia menghubungi Dina bermaksud menanyakan dimana wanita itu. "Eh, ngapain gua peduli sama dia?" Kala mengernyit, mengutuk sikap impulsifnya barusan. Ia mematikan ponselnya lalu segera menarik jaket yang ada di lemari. Malam ini Kala tidak punya rencana pergi ke mana pun sebenarnya, namun ia juga tak tenang jika berada di rumah terus bersama Dina. Wanita itu meskipun diam saja selalu membuat Kala resah sendiri, aneh sekali bukan? Setelah memakai jaket dan menyemprotkan parfum di seluruh badan Kala segera keluar kamar, bersamanaan dengan itu Dina hendak masuk membuat keduanya hampir bertabrakan. "Ck, lu ngagetin aja!" seru Kala kesal. Tak seperti biasanya, Dina hanya diam tanpa ingin menyahut. Wajah wanita itu terlihat sangat datar dengan mata yang sembab. Kala mengernyitkan dahi heran. "Dari mana aja lu? Nggak tau udah malem malah kelayapan aja!" omel Kala memandang Dina dari atas, mengecek apakah wanita itu terluka atau bagaimana. "Lu habis nangis?" Itu bukan sebuah pertanyaan, melakinan tuduhan yang meminta untuk segera dikonfimasi. Dina menarik napas panjang lalu dihembuskan perlahan, mengurangi rasa sesak sebelum menjawab pertanyaan itu. "Mas Kala kalau mau marah besok aja, aku lagi nggak enak badan," ucap Dina memilih berlalu begitu saja. Sudah cukup kejadian yang menguras hatinya hari ini, tidak ingin menambahnya lagi dengan berbicara dengan Kala yang super emosian. Kala mengernyitkan dahinya semakin dalam, ia yakin sekali Dina sedang tidak baik-baik saja. Wajahnya sembab dan sorot matanya seperti sayu sekali. "Kenapa dia?" Bersambung~
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN