Bab 4. Takdir?

1146 Kata
"Saya terima nikahnya Medina Shanum binti Suhendra dengan mas kawin uang senilai ...." Dina menitihkan air matanya tatkala mendengar suara Kala yang berhasil mengucapkan kalimat ijab qobul dalam satu tarikan napas. Di detik yang sama Dina merasa hidupnya kali ini benar-benar sudah seutuhnya milik Kala—pria arogan yang beberapa bulan lalu telah membelinya karena sebuah alasan. Kala merasa biasa saja saat mengucapkan ijab qobul itu. Baginya hanya cukup menghafal teks yang sudah disediakan. Mungkin karena dalam hatinya tidak ada rasa apa pun selain ingin menyelematkan dirinya sendiri dari perjodohan laknat yang direncanakan orang tuanya. "Mas Kalandra dan Mbak Medina sudah sah menjadi suami istri. Ayo salim dulu sama suaminya sambil dicium pengantinnya, Mas Kala," ujar sang penghulu. Dina mengulurkan tangannya pada Kala membuat pria itu segera memberikannya. Ia menciumnya seraya memejamkan matanya singkat. Sementara Kala juga mencium kening Dina sesuai perintah saja. Setelahnya Kala memberikan uang kepada beberapa saksi dan penghulu yang menikahkan mereka. Di dunia ini memang terasa mudah jika kita memiliki banyak uang. "Lu nggak foto?" Ketika hendak meninggalkan tempat pernikahan, Kala menahan lengan Dina yang hendak keluar bersama Ibunya. Pria itu teringat pernikahan sahabat 3 tahun lalu yang sangat viral karena manisnya foto pernikahan mereka. "Mas Kala mau foto?" Dina justru balik bertanya. Kala mendesis pelan pertanda pria itu jengkel. Ia mengeluarkan ponselnya segera. "Gua perlu dokumentasi, siapa tahu ini bisa jadi catatan amal baik gua karena mau mungut cewek miskin," ujar Kala seperti biasa dingin dan sinis. Dina mengulum bibirnya seraya mengusap dadanya sendiri. Ia harus sabar, mulut pria yang beberapa menit lalu sudah sah menjadi suaminya itu memang tidak punya filter sama sekali. Mungkin beberapa bulan kedepannya ia harus sering meluaskan hatinya untuk sabar. Kala meminta salah seorang petugas KUA untuk mengambil fotonya dengan Dina. Mereka berfoto canggung sekali awalnya karena memang keduanya tidak dekat. Mereka hanya dekat ketika saling mencari kesenangan. "Yang bagus dong, Mas, Mbak. Agak nempel dikit, kan pengantin baru," ujar kang foto yang merasa keduanya terlalu canggung. Kala menatap ke arah Dina yang juga menatap ke arahnya. Entah apa yang Kala pikirkan, ia tiba-tiba meraih pinggang Dina lalu menggendongnya tinggi-tinggi dan keduanya berhadapan. Bersamaan dengan itu foto mereka di ambil. "Mas Kala!" Dina berseru kaget akan sikap pria itu. Namun, Kala hanya tersenyum santai. "Nah, ini nih bagus. Lagi dong, yang lebih mesra. Kala menurunkan Dina dari gendongannya, ia menatap wajah wanita itu lama-lama membuat Dina malu sendiri hingga menunduk. Pose itu juga sangat unik membuat satu gambar lagi dicetak. Untuk kali ini Kala tidak sedang berpura-pura. Ia mengagumi paras Dina yang manis itu. "Keren nih fotonya, Mas." Kala mengambil ponselnya kembali mengucapkan terima kasih lalu melihat hasil fotonya barusan. Sudut bibirnya terangkat menjadi senyum tipis yang tak terlihat, setelahnya ia memasukan ponsel itu ke saku celananya lagi. "Mana, aku lihat dong," ujar Dina cukup penasaran dengan hasil fotonya. "Nggak ada yang bagus, apaan yang lu lihat. Ayo pulang," sahut Kala ketus. Dina memanyunkan bibirnya cemberut. Padahal ia sudah sangat penasaran dengan hasil fotonya. "Habis ini lu gua anter ke rumah, ambil semua barang lu dan pamitan tuh sama orang tua lu. Kita bakalan tinggal di rumah gua," kata Kala. "Emm." Dina menyahut dengan gumaman rendah. Terlalu jengkel akan sikap Kala sampai enggan menyahut lagi. "Muka lu nggak usah sok sedih deh. Aslinya lu tuh seneng 'kan nikah sama gua? Makin seneng nggak perlu tinggal di rumah yang bakalan roboh. Dasar!" sergah Kala tak hentinya mencibir Dina. Dina memasang wajah yang sangat datar, wanita muda itu menatap Kala. "Mas Kala belum pernah 'kan makan mie instan yang mie-nya dimakan pagi dan kuahnya sore sama nasi?" "Maksud lu?" Kala mengernyit heran. "Itu rasanya emang nggak enak, tapi aku nggak punya pilihan lagi. Sekarang pun sama aja, enak nggak enak aku udah terikat perjanjian sama Mas Kala. Aku tinggal menjalani 'kan?" Kala terdiam dengan mata menyipit. Tidak menyangka jika gadis muda yang dinilai rendahan itu bisa menjawab hinaannya dengan kalimat seperti itu. Sorot mata gadis itu sangat datar ... nyaris tanpa emosi sama sekali. Kadang saja Kala bingung Dina itu orangnya seperti apa. "Nggak udah ceramah, kita pulang sekarang!" *** Dina dibuat terheran-heran dengan rumah yang kini menjadi tempatnya berpijak dengan Kala. Pria itu memang langsung mengajak Dina pulang ke rumahnya setelah Dina mengambil baju-bajunya. Dina bahkan belum sempat ganti baju dan melepaskan jilbab. Sementara hari sudah berganti menjadi sore hari, ia merasa sangat lelah sekali. Kala mengajak Dina ke kamarnya dimana yang terletak di lantai dua rumah yang dimana ruangan itu khusus untuk wilayahnya saja. "Untuk sementara tinggal disini dulu, malam nanti gua ajak lu ketemu Mama. Baru nanti kita nyari Apart," ujar Kala datar seperti biasa. Ia begerak melepaskan jas serta dasi yang masih mencekik lehernya itu. Kemejanya pun ia lepas hingga bertelanjang d**a saja. Dina memperhatikan kamar yang mungkin berukuran keselurahan kontrakan miliknya itu. Ia meletakkan tas miliknya di lantai, mengambil baju yang lebih santai. Namun, ia dikejutkan dengan Kala yang tiba-tiba melepaskan celananya. "Akh!" teriak Dina buru-buru menutup matanya dengan kedua tangan. Kala melirik wanita itu dengan malas. "Nggak usah sok polos, bukannya tamu-tamu lu juga sering ngelakuin hal kayak gini?" decih Kala menilai respon Dina terlalu berlebihan sekali. Ia jelas tahu wanita itu sudah pernah melayani tamu lain sebelum bertemu dengan dirinya. "Melakukan apa?" Dina justru bertanya kebingungan. Ia membuka tangannya tapi buru-buru menutupnya kembali. "Mas Kala buruan pakai celana lagi," kata Dina merinding rasanya melihat sesuatu yang menonjol dibali boxer hitam milik Kala yang sempat ia lihat. Kala menyeringai, bukannya memakai celana miliknya ia justru melangkah mendekati Dina. "Lu berani ngatur gua?" Kala memperhatikan Dina yang ada di bawahnya. Wanita itu sejauh ini belum pernah ia suruh untuk melakukan hal gila yang sering dilakukan beberapa gadis panggilannya. Kala jadi penasaran ... Dina yang awalnya ingin mengabaikan Kala akhirnya mau tak mau mengangkat wajah. Namun, ia lagi-lagi dibuat kaget saat dihadapkan dengan sesuatu yang mendebarkan itu. Dina buru-buru membuang muka. "Mas Kala ini apa-apaan sih? Nggak tahu malu banget," ucapnya sekaligus mencibir. "Aku mau mandi dulu sekalian bersihin muka." Gadis itu bangkit dari duduknya dengan cepat bermaksud langsung pergi ke kamar mandi. "Medina." Tanpa bisa dicegah oleh otaknya, Kala menahan lengan Dina sebelum wanita itu beranjak. Dengan kekuatan cukup kuat ia meraih pinggang wanita itu hingga menghadap ke arahnya lagi. "Ke-napa Mas?" Dina bertanya gugup. Saat ini tubuhnya menempel erat dengan tubuh Kala yang dinilai sangat panas. Kala tidak langsung menjawab. Pandangan pria itu sejak tadi terus terpaku pada wajah Dina yang dinilai sangat manis. Dina itu cantiknya bukan cantik yang cantik banget seperti Grey. Dia lebih ke menarik dan enak dipandang. "Mas Kala," lirih Dina merasa sangat gugup sekali. Bagaimana tidak, posisinya dan Kala saat ini sangat dekat sekali dengan Kala. "Lu bilang pengen utang lu cepet lunas 'kan?" Tangan Kala begerak mengusap pipinya yang kemerahan, ibu jarinya itu mengusap bibir ranum Dina dengan sorot mata yang begitu mendamba. "I-ya." Dina mengangguk ragu. "Kita lakukan, hal yang lebih dari kemarin." Bersambung~
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN