Bab 3. Tawaran Menggiurkan

1236 Kata
Dina berpikir sejenak atas permintaan dari Kala. Jujur saja ia juga tidak punya rencana di masa depan. Semenjak kejadian waktu itu, Dina merasa dirinya juga tidak akan bisa menikah dengan siapa pun mengingat semuanya telah ia berikan pada Kala. "Ck, nggak usah kebanyakan mikir. Jadi istri gua tuh banyak enaknya. Selain bisa bayar cicilan utang, lu bisa tinggal sama gua. Nggak perlu tuh lu tinggal di rumah lu yang mau roboh itu. Lu juga pasti aman kalau sama gua karena bokap lu nggak bakalan ngejar-ngejar lagi," ujar Kala mulai mengiming-imingi gadis muda itu dengan segala kemewahan yang jelas akan sangat susah ditolak. Dina semakin berpikir mendengar itu semua. Ia terus menatap wajah Kala dengan mata jernihnya yang polos.."Kalau aku jadi istri Mas Kala utangnya beneran cepet lunas?" "Iya, gua bayar lu dua kali lipat dari biasanya." "Memangnya utangku masih banyak banget?" Gadis muda itu bertanya ragu. "Ya lu itung sendirilah." Kala mendengus malas. Dina tidak tahu saja jika selama ini pria yang disebut Bapak oleh wanita itu masih terus meminta uang ke Kala. Percuma saja Dina bayar hutang jika lubangnya masih terus digali. "Tapi—" "Oh kalau lu nggak mau ya udah. Gua bisa nyari cewek lain yang bisa gua bayar. Lu tuh nggak usah kepedeean, gua nawarin lu karena nggak mau rugi-rugi amat. Gua juga kasihan lihat hidup lu yang miskin itu. Seenggaknya gua pengen ngasih sedekah dengan mungut lu dari kemiskinan. Tapi kayaknya lu nggak mau, gua cari yang lain aja." Kala menghina dengan nada yang luar biasa kasar pun tatapan matanya yang sangat merendahkan Dina yang dinilai memang terlalu miskin itu. Dina yang sudah terbiasa dengan cacian seperti itu hanya diam saja. Ia justru terus menatap Kala dengan sayu. Ada kekhwatiran saat melihat pria itu akan pergi, tapi dirinya juga masih bingung harus bagaimana. "Ya Tuhan, apa aku harus menerima tawaran manusia kulkas ini?" batin Dina resah. "Sekali lagi gua tanya, lu nggak mau 'kan? Padahal kalau nikah sama gua dosa lu juga bisa berkurang dikit, seenggaknya pas gua minta service kita udah halal 'kan?" Kala kembali bertanya sebelum benar-benar meninggalkan gadis muda itu. Yang benar saja, siapa lagi wanita yang bisa dikendalikan seperti ia mengendalikan Dina. Ia tentu sebisa mungkin harus membuat gadis itu mau. Dina sih memang polos tapi wanita itu selalu berpikir matang ke depan. "Ah lama lu, gua pergi aja. Masih banyak yang mau jadi istri gua. Siapa juga sih yang mau nolak, uang bulanan juga gua kasih. Apa nggak makin enak tuh jadi istri gua, bisa jalan—" "Aku mau." Kala menipiskan bibirnya menahan senyum tipis. Ia mengulumnya sesekali guna membuat ekspresinya terlihat dingin seperti biasa. Ia tentu tidak boleh memperlihatkan raut wajah senang itu pada Dina, bisa kegeer-an nanti wanita itu. "Lu pasti maulah, secara siapa juga sih yang mau mungut cewek miskin kayak lu selain gua," cemooh Kala melirik Dina sinis. "Aku emang miskin, Mas. Nggak perlu Mas ingatkan terus aku tau, aku juga sadar kok," sahut Dina menggenggam tangannya sendiri. Menahan gejolak emosi yang membuat wajahnya merah padam. "Udahlah, karena lu udah setuju sekarang ayo ikut gua." Kala mengibaskan tangannya, malas meladeni mood buruk wanita yang menurutnya tak penting. "Ikut? Ikut kemana?" Dina bertanya bingung. "Kita perlu ngurus pernikahannya sekarang." "Hah?" Dina sampai melongo mendengarnya. Kenapa mendadak sekali, pikirnya. "Nggak usah banyak tanya, buruan lu ikut gua. Mumpung masih pagi, KUA masih buka." Kala bergerak cepat ke motornya, ia mengambil helm lalu dipakai. Kala merasa harus segera menuntaskan semuanya hari ini agar tak lagi didesak menikah oleh orang tuanya. Lagi pula menurutnya mudah saja jika menikah hari ini, ia tinggal mengurus segalanya dengan uang dan terima beres. Dan Kala tidak main-main dengan omongannya. Pria itu menarik Dina yang harusnya pergi bekerja untuk pergi ke butik ternama untuk melakukan make up dan membeli baju. Meksipun dadakan setidaknya harus sedikit berkesan bukan? "Lu hubungin kedua orang tua lu, bilang suruh minta persyaratan dari kelurahan. Terus suruh anter kesini, gua cowok nggak perlu wali. Cukup bokap lu suruh datang," ujarnya pada Dina dengan raut wajah sangat serius. "Mas Kala ini beneran nikah?" Dina masih terkaget-kaget dengan acara nikah dadakan yang diminta oleh Kala. "Apa menurut lu gua lagi bercanda?" Kala menatap Dina dengan sangat datar. Dina menyadari satu hal, wajah Kala sejak tadi tak berubah ekspresi membuat ia tahu kalau Kala memang tidak main-main kali ini. Sebenarnya Dina bingung tapi segera menurut daripada kena semprot lagi. Dengan suara yang sedikit belepotan, Dina menjelaskan ke Ibunya di rumah dan meminta wanita itu menyiapkan semuanya. Ia juga meminta wanita itu mengantarkan semua berkas ke butik tempatnya saat ini. Dalam hati Dina berdecak pelan. Acara pernikahan macam apa ini? Sangat jauh berbeda sekali dengan angan-angannya dulu. Semuanya serba dadakan, termasuk mempelainya yang bahkan tak pernah terlintas di benak Dina untuk dijadikan suami. *** Kala menemui pria paruh baya yang masih sesekali menguap karena kantuk itu. Penampilannya tak begitu rapi tapi masih cukup baik. Di sampingnya ada wanita paruh baya yang raut wajahnya sudah terlihat lebih tua dari umurnya, mungkin karena beban yang dipikul terlalu berat sehingga cepat menua. "Ini duitnya, hari ini gua bakalan nikah sama Dina. Kalau lu butuh duit langsung ke gua, nggak usah nyari-nyari Dina lagi. Ngerti?" Kala melemparkan segebok uang yang baru saja ditarik untuk Suhendra—pria yang tak lain dan tak bukan Ayah dari gadis yang akan dinikahinya setelah ini. "Wih, berat. Banyak banget kayaknya ini. Tau gitu Mas Kala nikahin aja Dina dari dulu," sahut Suhendra tanpa rasa bersalah sedikit pun. Bukankah dengan seperti itu ia sama saja telah menjual anaknya? "Ck, nikahin gua sama dia habis ini. Ingat kata gua tadi, jangan ganggu-ganggu dia lagi. Dia bakalan gua bawa ke rumah," ujar Kala dingin dan tegas. "Aman, Aman. Bawa gih Dina, masih perawan dia tuh." Suhendra tersenyum-senyum senang setelah mengintip uang yang diberikan Kala. Kala mendengus malas, sejujurnya ia muak dengan pria itu tapi ia merasa perlu menekankan kepada pria itu karena selama ini ia bukannya tidak tahu jika Suhendra sering meminta uang kepada Dina untuk judi online. Pria pemalas itu enggan bekerja dan hanya mengandalkan jika menang slot, maka punya uang bisa ngopi dan makan. Begitulah yang ada di otak ruwetnya itu. Ibunya Dina? Wanita paruh baya itu rasanya sudah tidak punya tenaga untuk melawan suaminya. Setiap hari sudah capek mengomel sampai sering terkena serangan darah tinggi. Wanita itu juga masih perlu uang dari suaminya untuk membesarkan Adiknya Dina yang saat ini duduk di bangku kelas 4 SD. Tanpa diketahui mereka, Dina yang sudah siap untuk melangsungkan akad melihat sendiri bagaimana Bapaknya dengan tega telah menjual dirinya sendiri. Tanpa sadar air matanya mengalir meski menangis tanpa suara, ia buru-buru mengusapnya agar tidak merusak make up yang baru saja dipoleskan. "Apa ada seorang Ayah yang lebih kejam dari ini?" "Din." Panggilan itu membuat Dina menoleh. Ia memasang wajah biasa saja seolah tidak mendengar apa pun. "Aku udah siap," kata Dina. Kala memaku pada sosok wanita yang ada di depannya. Wanita itu sudah berubah menjadi luar biasa cantik dengan kebaya sederhana dengan jilbab putih yang membingkai wajahnya. Melihat Dina saat ini mengingatkannya pada kejadian 3 tahun lalu, dimana ia juga mengagumi paras Dina yang semakin cantik ketika memakai jilbab. Kini justru kecantikan itu semakin bertambah seiring usianya yang juga bertambah, waktu itu Dina masih berumur 20-an. "Aku ganti bajuku bentar," ucapnya seraya berdehem pelan mengurangi rasa grogi yang mendera. Ia bergerak meninggalkan wanita itu untuk mengganti pakaiannya. "s**t! Jangan sampai aku terjebak sendiri nantinya!" umpat Kala geram sendiri dengan pemikirannya. Bersambung~
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN