Bab 2. Desakan Orang Tua

1262 Kata
"Ap-apa ... nikah?" Dina tercengang dengan kata yang baru saja dia dengar. 'Apa maksud Mas Kala nikah?" tanya Dina yang kini raut wajahnya sudah berubah kesal. Kala terdiam sejenak. "Nevermind. Pergilah!" Kala membuang muka, entah setan apa yang baru saja merasukinya sampai dia mengatakan kalimat laknat itu. Dina melihat Kala dengan pandangan aneh, lebih aneh lagi dengan ucapan yang baru saja keluar dari mulut pria itu. Tidak ingin berlama-lama di sana, Dina segera keluar dan meninggalkan Kala sendirian. "Nikah. Nikah sana sama iblis!" geram Dina. *** Kala keluar kamar seraya memainkan ponsel. Hari ini ia berencana pergi ke tempat Billiard sekaligus mengecek beberapa pekerjaan. Waktu masih menunjukkan pukul 10 pagi dan ia baru saja bangun. Kala baru saja akan masuk ke dalam lift rumahnya bersamaan dengan dua orang paruh baya yang muncul. Kala mendengus malas sekali seraya memasang wajah sangat datar. "Kala, udah bangun kamu ternyata. Kebetulan, Papa kamu juga mau ngomong penting," ujar Irene—Mamanya Kala yang kini tengah menggandeng seorang pria paruh baya yang masih segar bugar di usia yang sudah masuk kepala 5 itu. "Aku nggak ada keperluan sama orang ini. Nggak ada yang perlu dibahas." Kala menyahut sangat dingin. Menoleh pun enggan ke arah pria yang memiliki wajah 11 12 dengannya itu. "Nggak usah macem-macem. Papa kamu mau nanya, kapan kamu setuju buat bertemu Delvira? Mama udah ngirim foto kamu ke dia dan kayaknya dia setuju," tukas Irene memberikan tatapan penuh peringatan kepada anak laki-lakinya itu. "Mama apaan sih." Kala mengerutkan dahinya tak suka. "Aku nggak bakalan mau nikah sama siapa pun. Kalau orang ini pengen banget kaya, kenapa nggak suruh anaknya dia yang nikah sama cewek itu. Ngapain ngurusin aku lagi? Dia udah nggak punya hak itu itu!" Raut wajah Kala berubah kelam dengan sorot mata yang luar biasa tajam. Menantang tatapan mata pria yang disebut Papa oleh Mamanya itu. "Kala, ini bukan demi perusahaan. Melainkan demi kebaikan kamu juga. Papa tahu kamu lagi bangun bisnis online, Delvira bisa bantu kamu makin berkembang karena dia sudah punya basic bagus di internet. Kamu—" "Mau dia anak presiden sekali pun aku tidak sudi, tidak usah mengatur hidupku!" tukas Kala semakin dingin wajahnya. Ia segera berlalu dari hadapan kedua orang tuanya begitu saja. "Kala!" Irene lagi-lagi melayangkan tatapan penuh peringatan kepada anak laki-lakinya. "Umur kamu udah pas buat nikah. Mau nunggu kapan? Mau jadi bujang lapuk yang nggak nikah-nikah?" omel Irene. Kala hanya melirik Mamanya sekilas dengan ekspresi dingin. Ia memasukan ponselnya ke dalam saku celana dengan tenang lalu mengangkat dagunya dengan penuh percaya diri. "Kalau emang Mama pengen banget lihat aku nikah, oke." Kala mengangguk pelan. "Kamu setuju?" Bagas—Papanya Kala tersenyum sumringah bak mendapatkan hadiah yang luar biasa. "Setuju nikah, tapi dengan wanita pilihan aku sendiri." Senyuman dari Bagas seketika lenyap berganti wajah yang tak senang. Sementara Irene sangat terkejut mendengar hal itu. "Wanita siapa lagi? Kamu nggak usah aneh-aneh, jangan asal masukin wanita nggak jelas ke keluarga kita. Bisa kacau kalau ada yang tahu bisnis Mama," sergah Irena mengerutkan dahinya penuh tanya. "Nggak usah takut kalau itu, setelah menikah nanti aku nggak bakalan ajak dia tinggal disini juga." Raut wajah Kala sama sekali tidak berminat akan hal yang ditakutkan Mamanya itu. "Kala—" "Udah, nggak usah ngatur-ngatur aku lagi. Nanti malam aku ajak pacarku kesini, kalau Mama mau kenal," imbuh Kala dengan nada yang lebih datar dari sebelumnya. Kala beranjak begitu saja meninggalkan kedua orang tuanya. Rasanya benar-benar malas sekali menemui mereka yang terus memaksa agar perjodohan itu segera dilangsungkan. Kali ini dirinya tidak akan membuang waktu, ia harus segera menyelesaikan masalah yang membuat moodnya rusak berhari-hari itu. Kala teringat akan pembicaraan dengan Dina kemarin. Ajakan konyol yang membuat wanita muda itu terkaget-kaget pastinya. Mata jernihnya menuntut jawaban dan sampai sekarang belum ada kepastian dari dirinya sendiri. Kemarin Kala masih sangat ragu, hari ini ia justru merasa semakin yakin jika rencananya ini adalah cara paling tepat untuk menghindari perjodohan itu. Dengan kesadaran penuh, Kala mendatangi Dina di tempat wanita itu bekerja. Kemungkinan besar gadis muda itu baru berangkat karena masih pagi. Ia melihat parkiran karyawan yang hanya terisi dua motor matic. Kala menunggu gadis itu di sana. Sementara Dina baru berangkat ke tempat kerja dengan raut wajah lesu. Sejak semalam gadis itu menangis karena ingat kejadian mengerikan yang telah diperbuat Kala. Ia benar-benar sangat ketakutan hingga enggan sekali bertemu dengan pria itu. Namun, Dina sangat sadar jika hal itu tidak mungkin sama sekali mengingat perjanjian yang telah mengikatnya dengan pria tersebut. Hal itu membuat Dina tak bisa melakukan apa pun selain menurut. "Din." Langkah kaki Dina sontak terhenti melihat sosok pria tegap yang duduk di atas motor besarnya. Ia yang tadinya menuntun sepeda ontel miliknya langsung gemetaran. Melihat wajah pria itu mengingatkan dirinya akan ciuman brutal yang dilakukan Kala kemarin. Dina membuang muka seraya menyeka air mata yang tiba-tiba hendak mengalir. Dengan langkah pelan, Dina memarkirkan sepeda ontel miliknya. Ia menggenggam tas selempang yang dikenakan guna meredam rasa takut yang mendera. "Mas Kala ngapain sih disini? Mau semua orang lihat kita?" Dina tak menyembunyikan kesal pada raut wajahnya. Ia melirik sekelilingnya dengan takut jika teman kerjanya ada yang melihat. "Gua perlu ngomong penting sama lu." Kala menyahut singkat. Pandangannya menyusuri gadis mungil yang kini berdiri satu garis di depannya. Jelas tidak ada yang menarik dari Dina selain wajah lumayan cantik dan kulit bersih pucat. Tinggi gadis itu mungkin hanya sekitar 155 cm dengan balutan baju sederhana yang merupakan kemeja dan rok panjang. Penampilan yang sangat sederhana sekali dan jauh berbeda dengan gadis panggilan pada umumnya. Umurnya pun masih muda tapi sudah sangat giat bekerja karena himpitan ekonomi yang rendah. "Kalau jam segini aku kerja, nggak bisa." Kala menyeringai sinis, ia mengulurkan tangannya mencekik Dina hingga wajah gadis itu mendekat ke arahnya. Cekikan itu tidak dirinya tekan terlalu kencang. "Gua nggak peduli sama itu. Kalau lu nolak, gua bakalan minta lu balikin semua duit yang udah dibawa bokap lu hari ini juga," ujar Kala mengeluarkan ancaman paling ampuh yang ia yakini akan membuat gadis itu tunduk. "Lu tahu 'kan nominalnya nggak sedikit? Atau mendingan gua minta dia buat balikin terus dia bakalan jual lu lagi kayak dulu?" Dina memejamkan matanya singkat seiring rasa sakit hati yang menyeruak. Kejadian mengerikan 3 bulan lalu hadir dalam benaknya membuat Dina semakin ketakutan. "Mas Kala bilang, aku boleh nyicil utangnya. Aku udah sering Mas pakai, seharusnya gajiku udah lumayan 'kan?" Dengan bibir gemetar Dina melakukan sedikit perlawanan. "Pakai?" Kala berdecih kesal. "Gua cuma nyium lu dan minta nemenin minum selama ini. Mana ada gua pakai elu." Jelas saja Kala tidak pernah meminta lebih karena Dina terlalu polos. Ciuman saja ia yang mengajarinya, mana mungkin ia membuat gadis itu memberikan service lebih. "Seenggaknya aku masih punya gaji 'kan? Mas Kala nyium-nyium akunya juga sering. Biasanya buka baju dan—" "Stop, Din!" Kala mendesis jengkel. Entah kenapa ia malu sendiri jika diingatkan seperti itu. Dina menipiskan bibir seraya memandang Kala dengan mata bulatnya yang jernih seolah ingin dikasihani. Ia tahu mungkin seumur hidup, ia tidak akan bisa benar-benar melunasi hutang itu pada Kala. Akan tetapi itu lebih baik dari pada Bapaknya akan melakukan hal gila seperti dulu lagi. Melihat wajah polos Dina, raut wajah Kala berubah. Darahnya berdesir oleh rasa yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Tangan yang semula memegang leher wanita itu beralih ke bibir soft pink yang sedikit terluka karena ulahnya kemarin. "Lu mau utang lu cepet lunas? Lu nikah sama gua dan gua bakal bayar lu dua kali lipat dari bayaran lu kalau nemenin gua minum. Gimana?" Kala tampak mengangkat kedua alisnya. Baginya, tawaran itu seharusnya sulit ditolak oleh Dina. Bersambung~
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN