Daftar keuntungan kalau menikah.
1. Terhindar dari pertanyaan 'kapan nikah?'
2. Mau kerja atau nggak kerja, tetap dapat uang.
3. Ada yang nafkahin.
4. Enggak kesepian, ke mana-mana ada yang nemenin.
5. Enggak pusing sama cicilan dan tagihan lagi.
6. Dapet banyak amplop pas resepsi.
7. Bisa pamer ke mantan 'udah nikah nih!!' Eh, tapi memangnya punya mantan?
8. Masih banyak yang nggak bisa disebutkan di sini dan kamu bakal tahu nanti setelah resmi menikah. Makanya, ayo nikah!
Listya tertegun melihat secarik kertas yang ada di meja samping tempat tidurnya.
"Ya ampun, Mama itu sibuk ngurusin orderan kue. Kenapa sempat nulis hal konyol begini?”
Listya melecek-lecek kertas itu lalu melemparnya ke tempat tidur. Ia tidak mengerti apa yang ada dipikiran Ratih sehingga tidak mau bersabar. Bukankah Listya sudah meminta waktu satu tahun untuk menemukan sendiri pria yang tepat?
Sepertinya Listya harus mandi, guyuran air biasanya mampu menghilangkan segala penatnya. Baru saja mengambil handuk yang digantung, terdengar suara ketukan pintu. Ia pun langsung membukanya. Ternyata yang mengetuk adalah Tio. Listya kemudian mengalungkan handuknya.
“Itu Kak, ada yang nyari.”
“Siapa?” Listya mulai menerka-nerka, selama ini memang jarang bahkan hampir tidak pernah ada yang mencarinya.
“Cowok, Kak,” jawab Tio.
Entah kenapa jantung Listya jadi deg-degan. “Siapa namanya?”
“Cieee ada yang ngarep dicariin cowok, ya? Bukan kok, yang datang itu Kak Mia,” kekeh Tio.
Rasanya Listya ingin mencekik leher Tio dengan handuk, untung saja ia ingat kalau Tio adalah adik satu-satunya. Ya ampun.
Akhirnya, tanpa menjawab, Listya pun langsung menuju ruang tamu. Di sana sudah ada Mia yang sedang duduk bersama Ratih. Ia pun ikut bergabung bersama mereka.
“Ih, Mama kira kamu udah mandi, Lis.”
“Baru juga dateng, Ma. Capek, napas dulu,” jawab Listya.
"Lo baru datang?" tanya Mia agak terkejut.
Listya mengangguk. "Lo lupa apa yang terjadi sama motor gue?"
"Eh iya, ya."
“Tuh, Mia bawa wafer dua karung,” ucap Ratih sambil menunjuk dua karung putih dekat pintu, membuat Listya bergidik ngeri. Astaga, ternyata sahabatnya benar-benar membawa wafer, padahal itu hanya kesalahan komunikasi. Parahnya kenapa harus dua karung?!
“Lo tadi pengen wafer, kan, Lis?” tanya Mia memastikan. “Jadi gini, Tante. Mia tadi pulang kerja langsung hadirin ulang tahun saudara. Terus Listya minta bawain wafer, ya udah sekalian aja Mia mampir. Iya, kan, Lis?”
“I-iya,” jawab Listya terpaksa. Tidak mungkin ia mengatakan tentang transfer, lagi pula itu akan mengundang banyak pertanyaan, terlebih Listya khawatir lidahnya akan keseleo lalu menceritakan tentang Mahesa. “Makasih ya, Miong. Gue nggak nyangka lo bawain sebanyak ini.”
“Biar lo kenyang, Lis. Oh ya, Tante....” Mia beralih menatap Ratih. “Mungkin kabar ini bikin Tante terkejut, tapi Mia harus bilang kalau Minggu depan Mia nikah.”
“Apa?!” Benar saja Ratih terkejut. Lebih terkejut dari Listya saat diberi tahu untuk pertama kalinya beberapa waktu lalu. “Kamu serius?”
“Iya, Tante.”
“Tuh Lis, Mia aja mau nikah. Nah, kamu kapan? Kamu lebih tua dari Mia loh, jangan dianggap santai.”
“Ya ampun, Ma. Cuma beda bulan doang. Aku sama Mia lahir di tahun yang sama.” Listya membela diri.
“Ya tetap aja intinya lebih tua kamu. Mama nggak mau santai-santai ah.”
“Kan ... mulai deh. Bukannya Mama udah sepakat tunggu setahun dulu? Kalau aku nggak nemu jodoh, terserah mau dijodohin sama Sehun juga ikhlas aku, Ma.”
“Jangan ribut dong, ngomong-ngomong kayaknya gue buru-buru deh, Lis. Calon manten nggak boleh pulang malam, nanti sepatu kacanya copot satu gimana?” ucap Mia kemudian. “Tante, Mia pulang dulu ya. Listya-nya jangan dikejer aja suruh nikah, nanti dia stres,” kekeh Mia.
Listya dan Ratih kemudian mengantar Mia sampai depan. Setelah Mia benar-benar pergi, Listya sudah mengeluarkan ancang-ancang untuk kabur ke kamar agar bisa secepatnya menghindari polusi suara dari Mamanya yang pasti menceramahi sekaligus mengomel tentang pernikahan.
“LISTYA!” Ratih memanggil putrinya yang hampir mencapai pintu kamar.
“Aku mau mandi, Ma.”
“Tapi Mama mau ngomong, bentar aja.”
“Ngomong apa, Ma?” Listya akhirnya menoleh. Ia rasa apa yang baru saja ditanyakannya hanyalah pertanyaan retorik. Betapa tidak, bukankah pembicaraan Ratih tidak jauh-jauh dari pernikahan?
Ratih mengangguk, lalu mendekat ke arah Listya. Ia mengelus rambut Listya pelan. “Jangan stres, ya.”
Sungguh, Listya ingin terkekeh sekarang juga. Ia pun akhirnya mengangguk, memangnya siapa yang stres hanya karena memikirkan jodoh?
“Wah, kebetulan Mama sama Kakak lagi kumpul,” ucap Tio secara tiba-tiba yang sontak membuat Listya dan Ratih menoleh.
“Jadi, aku punya tugas bikin puisi. Besok aku bacain di depan kelas. Maksudnya aku mau baca di depan Mama sama Kakak dulu biar besok udah terlatih,” jelas Tio.
“Boleh, silakan,” jawab Ratih.
Kini perhatian Ratih dan Listya tertuju ke arah Tio yang sedang membawa selembar kertas bersiap membacakan puisi. Tio berdeham sejenak lalu mulai membacakan dengan ekspresi yang sangat menghayati. “Puisi ini berdasarkan kisah nyata. Judulnya Jomlo.”
“Apa nggak ada judul lain?!” tanya Listya kesal, entah kenapa ia begitu kesal mendengar judul itu.
“Listya, dengar dulu. Ini tugas sekolah adik kamu loh.”
“Iya, Kakak jangan sensi dulu dong. Hargailah sebuah karya.”
Akhirnya tidak ada pilihan selain mendengarkan, meskipun Listya merasa ada yang tidak beres pada puisi yang akan Tio bacakan.
“Oh, Jomlo ... Kau adalah makhluk istimewa. Saat makan, piring yang kau telan sementara nasinya dibuang. Saat ada petir menyambarmu … jelas petir yang gosong. Saat ada hujan yang lain kedinginan, kau biasa memeluk tabung gas. Saat ada hantu, hantunya yang malah lari ketakutan. Begitu besar the power of jomlo. Kau juga minum di galon langsung, tanpa memakai gelas. Aku yakin, kau lebih galak dari emak-emak naik motor di jalan. Kalau emak-emak lampu sen ke kanan tapi beloknya ke kiri, kalau jomlo nyalain lampu sen kanan dan kiri sekaligus membuat pengendara lain bingung. Oh, Jomlo … kapan kau menemukan jodoh?”
“Puisi macam apa itu?! jelek!” ucap Listya kemudian masuk dan menutup pintu kamarnya.
Sungguh, Tio benar-benar keterlaluan membuat tanduk Listya seakan muncul. Bukan hanya dua tanduk, melainkan sepuluh tanduk sekaligus. Pasti sekarang Tio dan Ratih sedang terkekeh.
Bersamaan dengan kekesalan yang masih bertengger di benaknya, Listya mulai berpikir … haruskah melepas masa jomlo dan mulai berpacaran? Namun, apa ia bisa sementara tidak memiliki kenalan pria satu pun? Tentang Mahesa, apa pria itu bisa disebut kenalan? Bukankah Mahesa hanya angin lalu?
Tiba-tiba Listya ingat tentang foto yang Mia berikan beberapa hari lalu. Ya, sepertinya ucapan Mia ada benarnya. Suatu saat Listya membutuhkan foto-foto itu. Dan saat ini Listya benar-benar penasaran pada keseluruhan foto karena ia hanya sempat membaca bagian Adam Rich saja.
Listya kemudian berjalan menuju tasnya untuk melihat barangkali dua foto yang lain lebih menarik. Ia kemudian menumpahkan seluruh isi tasnya hingga berhamburan di tempat tidurnya. Anehnya hanya ada satu foto. Ke mana dua foto yang lain?
Listya berusaha mengingat-ingat kapan terakhir ia menyentuh foto itu. Ya, Listya ingat, terakhir kali ia menyentuhnya yaitu ketika di jalan, saat bannya bocor. Ia yang semula akan meminta bantuan tapi batal karena rasanya tidak mungkin. Mungkinkah terjatuh dan Listya tidak menyadarinya?
Kini hanya tersisa satu foto dan itu foto Adam Rich. Entah ini kebetulan atau pertanda kalau Adam Rich adalah jodohnya? Tidak! Listya menggeleng dan entah kenapa bulu kuduknya merinding saat berpikir Adam adalah jodohnya. Dari kenarsisan identitasnya saja, Listya sudah bisa menilai dengan mudah tentang pribadi pria itu.
Bersamaan dengan itu, ponsel Listya berdering. Ia langsung menghampiri untuk mengangkat panggilan masuk itu. Sudah tidak aneh kalau Mia yang selalu menghiasi riwayat panggilan pada ponselnya.
"Halo, Miong," jawab Listya malas.
"Ih, kok lesu banget?"
"Ada apa? Baru juga ketemu, udah kangen aja lo. Kayaknya nggak bisa ya, nggak ganggu gue sehari aja."
"Bukan gitu, gue mau bahas yang tadi. Harusnya lo senang punya sahabat perhatian kayak gue, baru juga nyampe rumah udah nelepon lo. Lagian selama ini nggak pernah ada yang nelepon lo juga, kan?"
"Tolong jangan bertele-tele. Mau bahas apa, Mia Mallen?"
"Gue mau bahas masalah foto tiga cowok yang gue kasih ke lo."
"Hmm."
"Gimana? Lo serius belum hubungin mereka?"
"Gue nggak minat, Miong."
"Ah, lo nggak panas kuping apa Tante Ratih ngejer lo masalah jodoh terus? Coba hubunginlah. Kali aja cocok."
"Lagian fotonya juga ilang."
"Ha? Ilang? Kok lo teledor banget, sih. Kebiasaan deh."
"Lagian nggak penting juga."
"Penting, Listya. Itu hilang semua?"
"Sisa satu, sih, yang dua gue nggak tahu ke mana."
"Nah, ada satu. Siapa emangnya?"
"Adam Rich!"
"Waw, ini udah jelas pertanda."
"Pertanda apa? Jangan aneh-aneh deh."
"Ya pertanda kalau kalian jodoh."
"Big no! Lo tega ya, masa jodoh gue narsis gitu? Terdeteksi tukang pamer lagi."
"Jangan nilai orang sembarangan gitu sebelum lo ketemu dan ngobrol langsung."
"Enggak usah ketemu. Sedikit pun nggak minat, serius."
"Lo hubungin dia duluan, gih."
"Enggak!"
"Lo beneran cewek, ya? Cewek, kan, nggak mau ngehubungin cowok duluan. Ya udah, biar gue suruh Novan bilang ke Adam supaya hubungin lo. Serius nih, temennya Novan yang jomlo ya mereka. Sayangnya gue nggak kenal."
"Tuhkan, tega ya. Lo aja nggak kenal, malah dikasih ke gue."
"Ya itulah gunanya kenalan dan PDKT. Ah, capek ngomong sama lo."
"Siapa juga yang nyuruh lo ngomong sama gue? Lagian lo yang nelepon gue duluan. Gue mau mandi."
"Sebelum mandi, lo harus ingat besok gajian. Bayar utangnya transfer aja ya, gue kan udah mulai cuti."
"Apa? Wafer? Jadi lo mau minta wafernya lagi? Silakan, ambil aja ke rumah." Listya sengaja membalas dendam.
"Ih, kuping lo bermasalah deh. Transfer, Lis. Bukan wafer!”
"Iya, masih ada nih, dua karung. Kalau mau ambil aja ke sini. Jangan manja."
"Lis, kok ngeselin ya?"
"Gue mau mandi, dah Miong. Wafernya ambil sendiri aja, oke?"
Belum sempat Mia menjawab, Listya langsung menutup sambungan teleponnya.
"Rasain lo, makan tuh wafer," kekeh Listya kemudian meletakkan ponselnya di tempat semula. Ia harus mandi, dari tadi mandinya tertunda-tunda terus. Sekarang bahkan sudah hampir jam delapan malam.