Bab 11

1411 Kata
Listya memarkirkan motor, sungguh ia merasa motornya benar-benar jutaan kali lipat lebih baik dan nyaman dari hari-hari sebelumnya. Ini karena Mahesa, tapi pria itu juga yang menyebabkan Listya harus merelakan hampir setengah juta rupiah melayang. Kalau begini ceritanya, gajian hanya akan benar-benar numpang lewat. Setelah itu akan melambai-lambai tersisa struk penarikan tunai dan transaksi debit. Tiba-tiba ponselnya berdering tanda ada nomor asing yang menelepon. Meski awalnya ragu, Listya akhirnya mengangkatnya. "Good morning selamat pagi, baju kuning belum mandi," sapa seorang pria di ujung telepon sana. Listya jelas mengernyit, itu humor pantun tahun berapa? Bisa-bisanya masih ada yang mengucapkannya di zaman sekarang. "Maaf, ini siapa?" tanya Listya kemudian. "Apa benar ini Listya?” Mendengar itu, jelas Listya yakin kalau yang meneleponnya bukanlah Mahesa. Sampai detik ini Mahesa memang masih mengira kalau nama wanita itu adalah Nengsih. "Iya … ini siapa, sih?" "Saya Adam Rich. Temannya Novan." Mampus! Ternyata Mia tidak main-main dengan ucapannya. Sahabatnya itu sepertinya benar-benar meminta Novan menyuruh Adam menghubunginya lebih dulu. "Ada apa, ya?" Listya mulai canggung. "Ada kabar gembira." "Kabar gembira?" "Hari ini saya free. Ketemuan, yuk." Listya melebarkan matanya selama beberapa detik. "Hmm, sori saya sibuk." "Sibuk apa?" "Kerja lah." Listya mulai mengeluarkan nada juteknya. "Nggak usah kerja aja gimana? Saya nafkahin deh. Jangan panik, Adam Rich udah kece dan kaya dari lahir." Ya Tuhan, ternyata Adam Rich tidak hanya narsis dalam foto. Saat bicara dengan pria itu, tingkat kenarsisannya makin kentara. "Enak aja." "Hmm, gimana kalau kamu pulang kerja aja ketemunya? Kamu pulang jam berapa?" "Pulang kerja juga nggak bisa, saya ada urusan." Faktanya Listya memang ada acara ke kondangan sore ini. "Ya udah, saya ke rumah kamu aja gimana?" "Enggak!" Listya setengah berteriak. "Jangan berani-berani datang rumah," lanjut Listya, bahaya jika Adam ke rumah lalu bertemu dengan Ratih. Listya tidak ingin mamanya salah paham. "Kenapa nggak bisa terus, sih? Emang kamu ada urusan apa nanti sore? Jangan sok sibuk gitu deh. Jomlo, kan?" Sialan banget ini orang! "Saya mau kondangan. Jadi nggak ada waktu buat ketemu kamu," balas Listya kesal. "Pulang kondangan aja gimana? Atau saya ikut kondangan nemenin kamu, kasihan banget kondangan sendirian. Muka saya ganteng, kok. Jadi bisa diajak kondangan. Gimana?" Maksa banget ini orang ya Tuhan.... "Kamu tinggal pilih, saya ke rumah kamu atau ikut kondangan." "Oke, tapi kamu nunggu di luar aja deh. Saya kondangannya sebentar, kok. Cuma ngasih amplop terus pulang." Listya tidak ada pilihan lain. "Siap, setelah kondangan kita mampir ke kafe atau ke mana gitu, buat ngobrol. Harusnya kamu bersyukur diajak ketemuan sama seorang Adam Rich." Terserah, Adam. Terserah … Bodo amat! "Ya udah saya nggak bisa lama-lama nelepon, nih. Mau kerja." "Oke … semangat kerjanya ya, Listya." *** Matahari sudah terbenam, senja mulai berganti menjadi malam. "Ini Adam ke mana, sih? Kenapa nggak datang-datang. Kalau si Faris udah nelepon gue tadi, katanya datang agak telat. Nah si Adam, ke mana coba?" tanya Novan pada Mahesa. Mereka berempat—Faris, Adam, Mahesa, Novan sudah berjanji untuk berkumpul di rumah Novan malam ini. "Lo kayak nggak tahu Adam aja. Ya dia lagi kencanlah, entah sama cewek yang mana," balas Mahesa. "Disebut jomlo macam apa ya dia itu? Hobinya gonta-ganti cewek, dari klien, rekan kerja, anak tetangga, semuanya dia ajak jalan." "Pantesan ya kuping gue panas, ternyata ada yang ngomongin," ucap Adam secara tiba-tiba. Ia kemudian duduk bergabung dengan Mahesa dan Novan. "Jomlo kece kayak gue mah bebas ya mau jalan sama siapa aja. Enggak ada yang larang." "Dari mana lo, Dam?" tanya Novan. "Pertanyaan bodoh dari calon mempelai pria. Lo seharusnya udah tahu gue pasti kencan. Harusnya lo ganti pertanyaannya jadi … habis jalan sama selir yang mana? Gitu," jawab Adam. "Terserah deh, emang lo jalan sama siapa barusan?" tanya Novan lagi. "Ah, gue tahu. Sama Irene?" timpal Mahesa yang dijawab gelengan kepala Adam. "Tasya? Claudia? Gladys? Giselle? Maudy? Rayya? Dona?" Dari semua nama wanita yang Mahesa sebutkan, tidak ada satu pun yang tepat. "Berarti Lala," tebak Novan. "Bukan," jawab Adam. "Tika, Maya, Nina, Letisia atau Shasa?" Novan masih bersemangat menyebutkan deretan nama wanita yang ia sendiri tidak tahu wajahnya. Ia hanya berusaha mengingat nama-nama yang biasa Adam sebutkan. "Udah deh, Van. Enggak usah sebutin, nggak akan kelar malam ini kalau nyebutin korban modusnya Adam," saran Mahesa. "Gue rasa malam ini dia jalan sama Gunawan." "Sialan lo, Mahes. Gue normal kali, ya jalannya sama ceweklah. FYI gue jalan sama temannya Mia," jelas Adam sambil senyam-senyum. "Mia siapa?" tanya Novan terkejut. "Mia calon bini lo, Novan," jawab Adam. "Oh, Listya? Serius lo? Kok bisa dia mau diajak jalan?" Novan tampak terkejut. "Seriuslah, kan lo yang ngasih nomornya terus nyuruh gue hubungin dia duluan." "Yang bikin heran itu … kenapa Listya mau? Setahu gue temannya Mia ini tertutup banget sama cowok. Ya bisa dibilang agak anti. Kok bisa mau ketemuan sama lo, Dam?" "Pasti bisalah. Apa, sih, yang nggak bisa dilakukan seorang Adam Rich?" "Sok ganteng lo, Dam." "Kenyataannya gue udah ganteng dan kece dari lahir, ya. Hampir semua wanita antre buat dapatin perhatian Adam Rich,” ucap Adam dengan bangganya. “Iya-in aja lah,” jawab Novan. “Yah nggak percaya, coba mana suaranya yang nggak mengharapkan cinta gue? Enggak ada, kan?” “Ya lo bilangnya di sini, coba pake toa sana. Pasti banyak yang nggak minat sama lo,” timpal Mahesa. “Ngomong-ngomong lo ngapain aja sama Listya? Dia, kan, rada galak.” Novan kini mengambil posisi duduk samping Adam, ia menepuk bahu sahabatnya itu dengan pelan. “Ya ngobrol, masa rap battle?! Dan gue setuju sama lo, Listya emang muka-muka galak.” “Tapi menurut lo dia cantik, kan?” tanya Novan lagi. “Ya lumayanlah, nggak jelek-jelek banget. Masuk ke list cewek yang cocok jadi pasangan gue. Cuma kalau boleh jujur, lebih seksi Irene, Nindy, Safana ... hmm, siapa lagi ya?” Adam berusaha mengingat sesuatu. Noven lalu berkata dengan bangga, “Gue heran, lo jomlo tapi ke sana-sini, murahan tahu nggak. Ikutin jejak gue dong, nikah.” Mahesa kini hanya mendengarkan obrolan dua sahabatnya. Perdebatan Adam dan Novan baginya adalah hal biasa. Belum lagi kalau ada Faris, makin ramai perdebatannya. “Justru karena gue jomlo, jadi bebas mau sama siapa aja dan ngapain aja. Nanti kalau ada yang cocok, gue nikahnya sama satu cewek, kok. Buat sekarang, gue mau menikmati masa muda dan bebas dulu.” “Terserah lo aja deh, Dam.” Novan mulai menyerah. “Ya daripada Mahesa. Gitu doang gagal move-on, padahal cewek bukan cuma Fadia aja.” “Apa, ya? Gue diam aja masih kena?” protes Mahesa. Sontak Adam dan Novan tertawa. “Lo yakin masih bertahan buat nggak jalan sama siapa-siapa?” tanya Adam lagi. “Emang harus banget ya, gue lapor ke kalian kalau gue jalan atau lagi dekat sama cewek?” “Jadi, lo lagi dekat sama cewek? Siapa?” Novan mulai antusias. “Yang lagi suka ke orang terus bilang-bilang ke sahabatnya itu cukup kaum perempuan aja. Laki-laki nggak usah rumpi dong,” jawab Mahesa. “Mahes, serius deh. Ini bukan maksud rumpi, tapi ini bagian dari antisipasi. Gue nggak mau di antara kita jalan sama cewek yang sama, apalagi sampai merusak persahabatan. Jadi kalau kita sama-sama terbuka masalah ginian, kemungkinannya kecil buat suka sama cewek yang sama.” Nada bicara Adam mulai terdengar lebih serius. “Tumben lo ngomongnya bener, Dam,” timpal Novan. “Tapi gue rasa omongan Adam ada benarnya juga, kayak gue aja nih terbuka kalau gue pacaran bahkan mau nikah sama Mia. Jadi nggak ada yang rebut Mia dari gue, kan?” “Serius, kalian nggak bakal kenal,” sanggah Mahesa. “Lagian gue baru kenalan dan belum bisa dikatakan dekat sama cewek ini. Pokoknya kenalannya baru kemarin-kemarin, dan kalian nggak usah kepo tentang gimana pertemuan gue sama dia.” “Siapa juga yang mau tahu pertemuan kalian? Enggak penting. Gue cuma tanya namanya, ya kali dia salah satu selir gue, kan, nggak lucu,” kata Adam. “Audy, Raisa, Vanilla, Chika, Melsi, Nindy, Jessie?” Novan mulai menyebutkan dugaannya satu-satu. “Siapa namanya, Mahes?” tanya Adam tidak sabaran. Dengan pelan dan ragu, Mahesa berkata, “Nengsih.”  “Ulangi siapa namanya?” pinta Adam. “Astaga kuping lo, Dam. Gue aja dengar jelas. Namanya Nengsih. Iya, kan?” Novan memastikan. “Ya, namanya Nengsih.” “Bagus deh. Enggak ada selir gue yang namanya Nengsih. Pokoknya jangan sampai kita kencan dengan cewek yang sama ya, Mahes.” “Tenang, jatah masing-masing, Dam.” Novan menepuk-nepuk bahu Adam. Adam sama sekali tidak tahu kalau Nengsih yang dimaksud Mahesa adalah Listya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN