Listya memang sengaja meminta turun di depan minimarket padahal sebenarnya ia tidak ingin membeli apa pun. Hal ini agar Mia tidak melihat mobil Mahesa. Ia takut Mia akan heboh saat melihat dirinya diantar oleh seorang pria.
Kini, Listya berjalan pelan menghampiri Mia, dari ekspresi wajah sahabatnya itu jelas terpambang setidaknya lebih dari tiga pertanyaan. Mia memperhatikan gerbang dan sekitarnya, mencari-cari motor Listya. Namun hasilnya nihil, ia tak menemukan apa-apa.
"Lis, lo jalan kaki?"
Listya menggeleng.
"Terus? Kok gue nggak lihat motor lo?"
"Motor gue di bengkel, Miong. Ada sedikit masalah."
"Terus motor lo nggak apa-apa, kan?"
"Ya ampun, bukannya nanya keadaan gue … malah nanyain motor gue."
"Yakali gue nanya keadaan orang yang jelas-jelas bisa berdiri tegak di depan gue. Jadi pertanyaan retorik, dong. Gue, kan, udah tahu jawabannya kalau lo baik-baik aja. Lagian wajar gue khawatir sama motor lo, masih setahun lagi cicilannya, kan?"
Kadang, sahabat adalah orang yang paling jujur.
"Bukan masalah serius, kok. Bannya cuma bocor. Nanti kalau pulang, gue ambil."
"Nah … terus lo ke sini naik apa? Sumpah gue nggak lihat apa-apa. Mana mungkin lo jalan kaki."
"Gue naik ojek online." Listya berbohong.
"Masa? Sumpah gue nggak lihat." Mia masih curiga.
Saat ini Listya sedang mencari alasan agar sahabatnya yang sudah seperti detektif nomor dua itu tidak terus membombardirnya dengan banyak pertanyaan.
"Gu-gue turun di depan minimarket," jawab Listya sedikit gugup.
"Kenapa turunnya di sana? Gue mencium bau-bau modus, nih."
Listya berpikir sejenak. "Miong, lo tahu sendiri kalau gue harus selalu punya persedian permen di tas. Ya gue beli permenlah."
"Permen?" ulang Mia. "Yang jadi pertanyaanya adalah … emangnya lo punya duit buat belinya?"
"Lo kalo ngomong jujur banget, sih. Mentang-mentang gue punya utang. Tapi yakali buat beli permen aja gue nggak punya."
"Nah itu, awalnya gue pikir lo nggak berangkat kerja gara-gara ngehindarin utang ke gue."
"Astaga. Tenang, abis gajian gue bayar, kok."
"Talk to my hand. Salah dikit, gue gampar lo, Lis. Nanti abis gajian mendadak amnesia lo tuh."
"Kali ini bener, Miong. Ya udah yuk, ngobrolnya di dalam aja. Gue udah telat gini. Untung Bu Astuti baliknya besok, ya."
Akhirnya, mereka berdua masuk. Tempat duduk yang sebelahan membuat mereka dengan mudah bisa melanjutkan pembicaraan.
"Coba mana permennya? Gue mau bukti," ucap Mia setengah berbisik saat mereka sudah duduk. Tidak mungkin berbicara keras karena bisa mengganggu konsentrasi karyawan lain.
Untung Listya punya persediaan permen sehingga tanpa menjawab, ia langsung memberikan beberapa pada Mia.
"Oke, gue percaya."
"Kerja, kerja. Ada atau nggak ada Bu Ti, harus tetep rajin."
"Lo udah kayak anaknya aja, Lis," kekeh Mia.
Akhirnya mereka mulai berkutat dengan pekerjaannya masing-masing.
Beberapa menit kemudian….
"Lis, tahu nggak?" Mia kembali berbisik.
Tentu saja Listya mendengarnya. Ia menoleh sejenak ke arah wanita itu. "Apa, sih?"
"Lo harusnya nikmatin saat-saat ngobrol sama gue. Lo belum tahu, kan, kapan gue mulai cuti?"
Oh my God. Listya jadi ingat kalau sahabatnya sebentar lagi akan menikah. Itu artinya Listya akan menjadi satu-satunya karyawan yang belum menikah di tempat ini.
"Emang kapan?" tanya Listya pelan. Ya, mereka biasa mengobrol dengan suara pelan atau bahkan berbisik agar tidak mengganggu yang lain.
"Mulai besok," jawab Mia bangga. "Nih undangan buat lo, semuanya udah kebagian. Tinggal lo aja. Jadi, mulai besok gue mau nikmatin masa-masa dipingit sebelum jadi manten."
"Oh," jawab Listya sambil menerima undangan dan langsung meletakkannya di meja. "Udah ah, lagian bahasnya pas jam istirahat aja. Kerjaan gue banyak, nih."
"Satu lagi, satu lagi!"
"Apa lagi, Miong?"
"Lo udah hubungin Adam Rich dan pasukannya belum?"
Listya mendengus kesal. Ia pikir Mia akan mengatakan sesuatu yang sangat penting seperti menyangkut hidup dan mati. Ternyata hanya tentang Adam Rich yang katanya sudah kece dan kaya raya dari lahir?
"Please ya, Miong. Cari waktu lain buat bahas hal yang nggak penting. Sekarang kerja, kerja dan kerja. Titik."
"Sama sahabat sendiri aja galak. Apa kabar sama orang lain? Pantesan ya jomlo terus," gerutu Mia.
Rasanya sangat malas, apalagi topik pembahasan sudah merambat ke masalah jomlo. Harus berapa kali Listya menjelaskan kalau dirinya itu single, bukan jomblo. Akhirnya, daripada telinganya panas. Listya kemudian mencari-cari headset dalam tasnya. Ya, ia biasanya memasang headset pada telinganya agar tidak mendengar ocehan Mia.
Baru saja ia hendak memasang headset, tiba-tiba terdengar bunyi pesan masuk. Ia memang tidak pernah menggunakan mode diam untuk ponselnya karena kemungkinan sangat kecil ada pesan yang masuk. Kalaupun ada, mungkin dari operator.
Memeriksa pesan itu, ternyata pesan itu bukan dari operator yang biasa menghiasi kotak masuknya. Melainkan dari nomor asing. Ia pun langsung membukanya.
Selamat pagi Nengsih,
Selamat Anda mendapatkan satu buah motor warna merah berikut helm warna merah juga. Untuk pengambilan hadiah, silakan datang langsung ke bengkel nanti sore. Terima kasih. Harap balas YA jika berminat dengan hadiahnya.
#Ini serius, hubungi nomor ini ya….
Selama beberapa detik Listya tercengang. Bukankah itu memang motornya? Mahesa memang pria yang aneh. Harusnya Listya tidak perlu terkejut.
"Wih ... dapat hadiah lo!" seru Mia yang sontak membuat Listya menoleh ke belakang. Listya bahkan tidak tahu sejak kapan Mia berdiri di sana, yang terparah adalah sahabatnya juga membaca pesan itu. Gilanya lagi, beberapa karyawan lain menatap mereka berdua. Sepertinya Mia tadi refleks mengatakannya dengan sedikit berteriak. Langsung saja Mia melemparkan tatapan minta maaf sehingga keadaan kembali seperti semula.
"Tapi ciri-cirinya kayak motor dan helm punya lo. Bisa kebetulan gitu ya … motor lo, kan, lagi dibenerin di bengkel. Lagian, kenapa harus dibengkel? Gue kira kalau hadiah ambilnya di tempat yang lebih resmi. Anehnya lagi, namanya kok Nengsih, ya? Ah, pasti penipuan," cerocos Mia, kali ini dengan nada yang lebih pelan.
"Mana gue tahu!"
"Harusnya lo udah nggak aneh sama masalah ginian, yang ngirim pesan ke lo kalau bukan operator ya … yang gini-gini. Enggak jauh dari Mama minta pulsa, Papa minta saham, Kakek minta selir, Nenek minta kawin lagi. Ya, begitulah," kekeh Mia.
"Daripada ponsel lo isinya gombalan modus dari Jerapah," jawab Listya tidak mau kalah.
"Ih, sekali lagi lo bilang Novan jerapah, gue tagih semua utang lo!"
"Dasar curang, nyerempetnya ke utang. Baiklah, sori deh … sekarang sana balik ke kursi lo, gue mau kerja lagi."
"Awas lo!" jawab Mia kemudian kembali ke tempat duduknya.
Sejujurnya Listya sedang berpikir, kenapa ia terus berurusan dengan Mahesa?