Listya melirik jam tangan menunjukkan pukul tujuh pagi. Ia sudah berada di jalan menuju tempat kerja. Untung saja Tio berangkat bersama temannya sehingga motornya tidak perlu transit di sekolah terlebih dahulu.
Motor melaju dengan kecepatan sedang, tiba-tiba Listya merasa aneh pada motornya. Ia memutuskan menepi sejenak untuk memeriksanya. Ternyata dugaan Listya benar, ban depannya kempes. Ya Tuhan, kenapa harus terjadi di saat yang tidak tepat seperti ini?
Mau tidak mau, Listya mendorong motornya. Ia ingat ada bengkel terdekat, mungkin jaraknya satu kilo meter. Mia pasti berangkat dengan Novan, mana mungkin Listya meminta bantuan pada sahabatnya itu? Listya menyemangati dirinya sendiri kalau satu kilo meter bukanlah apa-apa.
Beberapa saat kemudian, sebuah mobil tepat berhenti menghalangi jalannya. Sontak Listya langsung berhenti, ia melihat seorang pria turun dari mobil itu. Tidak! Pria itu lagi. Pria yang berhasil masuk ke dalam pikirannya tadi malam. Siapa lagi kalau bukan Mahesa?
"Nengsih, kenapa motornya?" tanya Mahesa ramah.
"Mau saya jual!" jawab Listya kesal. Betapa tidak, seharusnya Mahesa tidak berbasa-basi di saat seperti ini. Bukankah orang awam sekalipun sudah tahu jawabannya?
"Kok di sini? Salah tempat."
Listya jadi curiga, kehadiaran Mahesa bukan hanya kebetulan. Ia yakin Mahesa yang sudah menyebar paku sehingga motornya bocor seperti sekarang. Bukankah sangat mustahil Mahesa tiba-tiba datang? Mau jadi pahlawan kesiangan?
"Mobil kamu ngehalangin jalan saya, tahu nggak?!"
"Enggak," jawab Mahesa santai. Membuat Listya semakin kesal.
"Butuh bantuan?" sambung Mahesa.
Listya langsung menggeleng. "Enggak, saya cuma mau kamu pergi."
"Baiklah, saya pergi. Semoga harimu menyenangkan ya, Nengsih."
Listya tidak menjawab. Mahesa pun kembali masuk ke mobil dan pergi meninggalkannya. Kalau sudah seperti ini, Listya berharap ada seseorang tapi bukan Mahesa yang datang menolongnya. Jujur, Listya tidak benci pada Mahesa. Wanita itu hanya kesal, terlebih Mahesa adalah tersangka utama yang membuat ban motornya bocor.
"Sebentar lagi sampai bengkel, Lis. Single nggak boleh manja.” Listya menyemangati dirinya sendiri.
Tiba-tiba Listya jadi ingat tentang foto yang Mia berikan tempo hari. Mungkinkah salah satu dari tiga foto itu bisa menolongnya? Akhirnya ia mengobrak-abrik tas untuk mengambilnya. Permen yang ada dalam wadah pun jadi berantakan. Ia memang biasa menyediakan permen satu pak.
Belum sempat menemukan fotonya, tiba-tiba sebuah mobil berhenti di dekatnya. Mobil Mahesa lagi. Listya bahkan tidak menyadari beberapa foto yang sudah digenggamnya terjatuh dan terbang jauh.
Apa Mahesa memutar balik? Tapi untuk apa? Sampai pada akhirnya seorang pria mulai turun. Itu jelas bukan Mahesa, padahal Listya yakin itu adalah mobil yang sama dengan yang Mahesa kendarai tadi.
"Selamat pagi, Mbak."
"Ada apa, ya?" tanya Listya.
"Ban motornya bocor, kan?"
"Kok tahu?"
"Karena dia udah membocorkan hati kamu," jawab seseorang tiba-tiba muncul dari belakang pria itu.
Ya, Mahesa sudah seperti hantu yang tiba-tiba muncul. Padahal seharusnya Listya tidak perlu terkejut. Bukankah ia tahu kalau itu adalah mobil Mahesa? Tunggu, Mahesa bilang membocorkan hati? Apa-apaan ini?
"Jadi, kamu yang bawa bapak ini?"
"Namanya Pak Diman, dia yang bakal urusin motor kamu."
Sungguh, Listya tidak menyangka apa yang akan Mahesa lakukan. Ia pikir pria itu tidak akan kembali.
"Mana mungkin saya ninggalin perempuan sendirian dan dorong motor? Apalagi perempuan yang saya kenal. Gini ya, misalnya nggak kenal kamu sekalipun … saya akan tetap balik lagi, apalagi udah kenal kayak gini."
“Fix. Ini pencitraan!” batin Listya.
"Tapi bentar lagi saya juga nyampe bengkelnya, kok. Jadi terima kasih atas bantuannya. Sepertinya nanggung, saya sendiri aja."
"Nah, satu hal yang belum kamu tahu. Pak Diman ini salah satu karyawan bengkel terdekat yang kamu maksud."
"Apa?"
"Iya, jadi yakin masih pengen dorong motor?"
"Enggak apa-apa, sih. Lagian sekalian olahraga," jawab Listya asal.
"Olahraga? Bukannya kamu mau kerja? Saran saya, kamu percayakan motornya sama Pak Diman aja. Kamu ke tempat tujuan naik mobil saya. Itu juga kalau kamu nggak mau nolak kebaikan."
Kenapa tiba-tiba berbicara atas nama kebaikan? Ini masalah kepercayaan, juga bagian dari antisipasi dan waspada. Mana mungkin Listya menyerahkan motornya yang belum lunas ini ke orang asing? Listya tidak sebodoh itu. Bisa jadi Pak Diman dengan Mahesa ini sekongkol untuk mencuri motornya secara halus. Siapa yang bisa menjamin kalau mereka itu baik?
"Gimana Mbak?" Pak Diman membuyarkan segala yang Listya pikirkan. "Saya karyawan bengkel, kok. Ini ID card saya kalau nggak percaya. Ini bengkel resmi, bukan tipu-tipu. Mbak bisa lihat juga testimoninya di i********: resmi kami."
Listya baru menyadari ternyata di leher Pak Diman ada ID card yang dikalungkan.
"Oke," jawab Listya akhirnya.
"Oke apa?" tanya Mahesa memastikan.
"Ya silakan bawa ke bengkel." Listya menyerahkan motornya pada Pak Diman. "Nanti pulang kerja saya ke sana ya, Pak."
Pak Diman pun mulai mendorong motor itu dan meninggalkan mereka berdua. Sedangkan Listya langsung memperhatikan sekeliling, siapa tahu ada taksi yang lewat atau mungkin sepertinya ia harus memesan ojek daring saja.
Mahesa membuka pintu mobilnya. "Jangan pura-pura sibuk nyari tumpangan. Naik mobil saya aja."
Apa? Pura-pura? Faktanya Listya memang sedang mencari tumpangan.
"Kamu pengen banget terlambat, ya? Terus, dengan tanpa dosa pengen orang yang nolong kamu ikutan terlambat juga? Jangan-jangan kamu pengen lama-lama sama saya?"
"Apa, sih? Kalau mau pergi, ya pergi aja."
"Kamu berubah jadi laki-laki dulu, baru saya pergi. Dengar ya Nengsih, saya nggak bakalan ninggalin perempuan sendirian di tengah jalan. Itu bukan saya banget."
"Ini pinggir jalan, bukan tengah jalan. Lagian kenapa lebay, sih? Saya udah biasa ke mana-mana sendiri."
"Iya, kamu udah biasa ke mana-mana sendiri sebelum kenal saya. Tapi beda ceritanya dengan sekarang yang udah kenal saya."
"Hah? Kamu makin ngawur deh. Udah sana pergi duluan aja. Lagian bawel banget jadi laki-laki!"
"Lagian galak banget jadi perempuan," jawab Mahesa seakan membalas ucapan Listya.
Listya terdiam sejenak, ia sendiri tidak mengerti kebetulan macam apa sehingga tidak ada satu pun taksi yang melintas.
"Silakan masuk," ucap Mahesa lagi. "Jangan gengsi," lanjutnya.
Akhirnya setelah hampir lima belas menit berdebat, Listya pun masuk ke mobil Mahesa.
Sekali saja. Ya, Listya bergumam dalam hatinya kalau ini adalah kali pertama dan terakhir ia nebeng mobil Mahesa. Namun, dengan ikut Mahesa, dampak positifnya ia bisa lebih menekan pengeluaran di tanggal tua ini. Kalau saja Listya sudah gajian, ikut naik mobil Mahesa sedikit pun tidak akan menjadi pilihan.
Entah ini nyata atau mimpi, Listya saat ini sudah benar-benar duduk di samping Mahesa. Pria itu fokus menatap lurus ke arah jalanan. Ya, Mahesa menyetir dengan kecepatan sedang. Tidak ada pembicaraan antara mereka. Lagi pula Listya memilih pura-pura tidur untuk menghindari terlibat percakapan dengan Mahesa.
"Neng ... Nengsih?" panggil Mahesa tiba-tiba. Bahkan, sampai saat ini Mahesa tahunya nama Nengsih, bukan Listya.
Listya masih pura-pura tidur.
"Tadi malam mikirin saya sampe jam berap? Jam segini malah udah ngantuk. Tidur malah," ucap Mahesa lagi.
Tentu saja Listya mendengar, tapi ia tidak berminat menjawabnya. Sejujurnya Mahesa benar, tadi malam Listya memang memikirkan Mahesa. Entahlah, Listya sendiri tidak tahu alasannya. Ia juga terlalu gengsi mengakuinya. Lagi pula itu sangat tidak penting.
"Sebenarnya kamu mau ke mana, sih? Kalau kamu tidur gini, saya jadi bingung mau antar ke mana. Saya nggak tahu tempat kerja kamu."
Setelah Mahesa mengucapkan kalimat itu, Listya langsung terperanjat.
"Bentar lagi nyampe, kok. Tempat kerja saya di sekitar sini," jawab Listya cepat.
"Keren juga. Tidur tapi bisa jawab," kekeh Mahesa.
Listya langsung memalingkan wajahnya dengan ekspresi orang terciduk, ia melihat ke arah luar melalui jendela. Ya Tuhan, makhluk seperti apa yang Listya temui saat ini?
"Nanti berhenti di depan situ, ya."
“Oke.”
Listya bersiap membuka sabuk pengaman. Namun sial, matanya menangkap sosok Mia yang berdiri depan kantor.
"Oh ya, Nengsih … kamu pulang jam berapa?"
"Jam tiga," jawab Listya. "Eh ralat, maksudnya turun di depan minimarket," ralat Listya.
"Jadi di mana, Nengsih? Kenapa ganti?."
"Depan minimarket, saya mau beli sesuatu dulu."
"Yakin?" tanya Mahesa memastikan. "Beli apa emangnya?"
"Bukan urusan kamu." Nada bicara Listya tidak pernah absen dari kesan galak.
Mobil Mahesa kini sudah ada tepat di depan minimarket, Listya pun bersiap untuk turun. Namun, dengan sigap Mahesa mencegahnya.
"Saya minta nomor hape kamu, Nengsih."
"Buat apa?"
"Kamu nggak bisa ambil motornya tanpa saya."
"Kok gitu? Itu motor saya. Enak aja," protes Listya.
"Nengsih, jangan-jangan ini pertama kalinya kamu benerin motor di bengkel?"
"Jarang, sih … memangnya kenapa? Presiden ngasih aturan tentang ini juga?"
"Bukan, ini bukan aturan presiden. Kenapa kamu selalu bawa-bawa kepala negara, sih? Maksud saya, tadi kan daftarnya pakai nama saya, KTP saya, jadi diambilnya mesti sama saya."
"Kenapa ribet banget? Itu motor saya, lagian pak siapa tadi Namanya? Eh, Pak Diman, dia juga tahu kalau saya adalah pemilik motornya."
"Terserah, yang jelas begitu prosedurnya, Nengsih. Kalau nggak percaya silakan datang aja sendiri, buktikan sendiri apa yang bakal terjadi."
Listya ingin mengumpat dan berkata kasar, tapi lidahnya seperti kelu.
"Sini ponsel kamu," kata Listya, tidak perlu waktu lama Mahesa sudah memberikan ponselnya pada Nengsih alias Listya. Listya pun mengetikkan deretan nomornya.
"Itu nomor saya!"
Mahesa pun mengangguk. "Terima kasih ya, Nengsih."
"Ini nyindir atau gimana? Saya yang harusnya bilang makasih. Tapi ya udahlah, makasih udah bantu saya."
Mahesa terkekeh sejenak. Terima kasih macam apa yang wanita di sampingnya ucapkan? Itu adalah tindakan berburuk sangka, juga protes yang berkedok ucapan terima kasih.
"Enggak usah jemput saya. Langsung ketemu aja di bengkel," ucap Listya yang lebih terdengar seperti ancaman.