Bab 6

1163 Kata
"Mbak, totalnya 173 ribu," kata pelayan toko dengan sangat ramah. Tanpa menjawab, Listya memberikan dua lembar berwarna merah yang tadi ia pinjam dari Mia. "Oh ya, mikanya separuh bulat separuh kotak, kan, Mbak?" tanya Listya memastikan. Khawatir salah. "Betul, Mbak," jawab pelayan itu sambil memberikan nota dan uang kembalian pada Listya, tidak lupa kantong belanjaan ramah lingkungan berwarna ungu yang berisi pesanan, plastik bertuliskan Toko Sejahtera. "Terima kasih." Listya sudah menerima semua pesanannya, ia menyimpan uang kembalian secara asal ke dalam tas karena tangannya sudah sibuk dengan kantong belanjaan. Berjalan menuju motornya, Listya lalu menggantung belanjaannya pada motor. Saat merogoh tasnya untuk mengambil kunci, anehnya ia tidak menemukannya. Listya jadi panik. Ia terus mengobrak-abrik isi tasnya. Tetap saja, ia tidak menemukan keberadaan kunci motornya. Tak lama kemudian, Listya memperhatikan area parkiran, siapa tahu saja kuncinya terjatuh. Ia semakin panik karena hasilnya tetap nihil. "Cari kunci motor, ya?" tanya seorang pria to the point. Suara yang Listya kira adalah suara tukang parkir. "Cari ini, kan?" Pria itu memberikan kunci motor yang melekat gantungan huruf L cukup besar. Listya pun menerimanya dan berkata, “Terima kasih.” "Tunggu … kamu Nengsih, kan?” Listya pun memberanikan diri untuk melihat lebih detail wajah pria yang sedang berbicara dengannya ini. Dari segi penampilan sangat tidak mencerminkan tukang parkir, terlebih jas dan dasi yang pria itu kenakan. Bukankah ini adalah pria yang mengajaknya berkenalan di bioskop kemarin? Apa-apaan ini? Apa ini hanya kebetulan saja? "Lain kali hati-hati ya, Nengsih. Tadi kunci motornya nempel," kata Mahesa lagi. "Kenapa nggak langsung dikasihin? Saya belanja lebih dari sepuluh menit loh." "Itu dia, saya tadi ke toilet dulu. Maaf ya." "Kalau begitu terima kasih, ya," jawab Listya ketus. Entah kenapa sejak dulu ia tidak pernah bisa ramah pada pria, sekalipun pria itu sudah menolongnya. Termasuk pada Mahesa ini. "Kenapa bilang makasih lagi? Tadi, kan, udah." "Sejak kapan ada larangan? Memangnya presiden udah ngeluarin peraturan baru, ya? Kenapa saya sampai nggak tahu." Mahesa tersenyum mendengar jawaban wanita di hadapannya. Ini adalah pertemuan kedua mereka, tapi kesannya seolah-olah mereka adalah musuh. Mahesa sendiri tidak mengerti, ia hanya berusaha menolong, tapi sikap wanita di hadapannya itu benar-benar galak dan tidak wajar untuk ukuran orang yang baru saja ditolong. "Kenapa harus bawa-bawa orang lain di antara kita?" tanya Mahesa yang membuat Listya refleks melebarkan matanya. "Maksudnya apa, ya?" "Ya kamu ngapain bawa-bawa presiden. Dia, kan, nggak salah." "Think smart, please. Saya nggak nyalahin presiden. Saya nyalahin kamu, kenapa bilang terima kasih dua kali aja nggak boleh?" "Dengar ya, Nengsih," balas Mahesa. "Saya itu cuma nanya, kenapa bilang terima kasih dua kali? Tinggal jawab aja, ribet!" Sungguh, saat Mahesa memanggilnya dengan sebutan 'Nengsih' ada perasaan yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Namun, ini salahnya sendiri yang memperkenalkan diri dengan nama Nengsih. Akhirnya, tanpa berminat menjawab, Listya berpikir lebih baik ia pulang, terlebih hari sudah semakin mendekati gelap. Lampu-lampu di sekitar mereka bahkan sudah menyala. "Tunggu!" Mahesa berusaha menahan Listya. "Apa lagi, sih?" "Tunggu sebentar." Mahesa menahan Listya, membuat Listya kembali berbalik ke arah Mahesa. Kini mereka kembali saling berhadapan. "Ada sesuatu di dekat mata kamu," ucap Mahesa, jarinya bergerak cepat mendekat ke wajah Listya. Tentu saja Listya langsung mundur, tapi motornya menghalangi sehingga membuat usaha mundurnya terhenti. Suasana juga tidak terlalu ramai terlebih hari mulai gelap. Tidak terlalu banyak orang yang berlalu lalang. "Enggak usah," jawab Listya masih berusaha menghindar. "Diam." Entah kenapa, saat ini Listya hanya diam saja saat Mahesa mengambil sesuatu di sekitar matanya. Jarak tubuh mereka yang tidak lebih dari dua puluh senti membuat Listya bisa merasakan harum tubuh Mahesa. Ada sensasi seperti dicubit saat Mahesa mengambil sesuatu itu. "Ini namanya bulu mata." Mahesa meletakkan bulu mata Listya di telapak tangannya. Tentu Listya semakin tidak mengerti pada tingkah Mahesa. Rasanya, apa yang Mahesa lakukan sangat membuang waktunya. Bagi Listya, Mahesa hanyalah pria yang kurang kerjaan. Baru saja Listya memasangkan kunci motornya, Mahesa malah merebut kunci motornya bahkan sebelum kunci itu menempel. "Kamu kurang ajar ya lama-lama!" teriak Listya. "Santai aja, Nengsih. Saya cuma mau nunjukkin sesuatu. Satu kali lagi." Tanpa menunggu respons Listya, Mahesa menepuk tangan untuk membolak-balik bulu mata Listya. "A-B-C-D-E." Mahesa terus melakukannya sampai bulu mata itu hilang. Apa-apaan ini? Mahesa melakukan sesuatu yang biasa dilakukan anak remaja yang termakan mitos. Mahesa terus menyebutkan huruf demi huruf. Seperti orang bodoh, Listya hanya menatap miris pria di hadapannya itu. Mahesa gila level berapa, sih? "H-I-J…." "Balikin kunci motor saya, atau saya teriak?!" "Please sebentar lagi. K-L-M. Yes hilang! Bulu matanya hilang tepat di huruf M. Selamat, kamu lagi kangen sama orang yang inisialnya M," jelas Mahesa sambil menjabat tangan Listya. "Nih, sekarang saya balikin kunci motornya. Saya nggak nyangka kamu lagi merindukan orang yang inisalnya M. Apa itu saya?" "Hari gini masih percaya mitos? Mana mungkin saya kangen sama kamu? Itu fitnah dan mustahil!" Listya bersiap pergi, apalagi kunci motornya sudah kembali berpindah tangan padanya. Jujur, Listya sebenarnya masih setengah syok atas keanehan yang Mahesa lakukan. Di saat seperti sekarang, bisa-bisanya Listya teringat pada kutukan Mia. Tidak, tidak … itu konyol sekali! *** Seperti biasa, Tio yang membukakan pintu rumah. "Simpen nih," perintah Listya sambil memberikan kantong belanjaannya pada sang adik. Seolah sebuah kebiasaan, Tio menerima dan menyimpan belanjaan itu di ruangan khusus. "Pantesan pulangnya lama, belanja ternyata," jawab Tio. "Padahal hampir aja aku berpikir Kakak lagi kencan. Sama angin haha." Listya bisa saja meladeni Tio seperti biasa, tapi rasanya sore ini ia sangat lelah. Sehingga malas menimpali candaan Tio. "Mama mana?" "Tuh, di ruang TV." Tanpa menjawab, Listya langsung menuju ruang TV. Ia menjatuhkan diri ke karpet bulu yang berada tepat di depan TV. Saking seriusnya, sepertinya Ratih tidak menyadari kehadiran putrinya. "Nih notanya. Aku pakai uang Mia dulu. Jadi, kalau bisa Mama nggak nunda waktu. Maksudnya, biar besok langsung aku balikin uangnya ke Mia." Tidak ada jawaban. Ratih masih sibuk menonton TV, matanya dengan khusyuk menyaksikan adegan demi adegan pada layar televisi. Refleks Listya ikut memperhatikan layar berukuran 21 inci itu. Terdapat adegan seorang wanita yang berteriak karena hendak tertabrak odong-odon, tapi akhirnya adegan terputus menandakan iklan segera tiba. Hal itu ditandai adanya tulisan besar sebuah judul film. "Suamiku Mencuri Ayam Tetangga untuk Menafkahi Kesembilan Istrinya." What? Itu judul macam apa? Listya langsung ternganga membacanya. "Eh, anak Mama udah pulang. Kenapa nggak bilang-bilang, kayak hantu aja tiba-tiba ada di samping Mama," ucap Ratih terkejut melihat putrinya sudah ada di ruang TV. "Mama kalau udah nonton TV pasti lupa segalanya. Padahal aku tadi ngajak ngomong Mama." "Ngomong apa? Ulangi dong. Mama, kan, nggak dengar." "Jadi totalnya 173 ribu. Mama tahu, kan, ini tanggal tua. Aku sampai pinjam uang Mia dulu." "Terus?" "Lah, malah terus? Maksudnya besok mesti dibalikin uangnya, Mamaku tersayang." "Oh, iya tenang aja. Tapi pesanan Mama lengkap, kan?" "Lengkap dong." "Termasuk calon mantu buat Mama?" "Astaga Mama...." Melihat Listya mulai kesal, Ratih pun terkekeh. "Udah ah, Ma. Aku mau mandi. Belanjaannya disimpan sama Tio di tempat biasa." "Makasih ya, Sayang." Listya tersenyum, lalu bengkit dan berjalan menuju kamarnya. Ia membiarkan sang Mama kembali fokus pada TV seperti semula.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN