6. Bertemu Orang Baik.

1948 Kata
Arya yang sedang menyetir mengendus-endus udara, keningnya berkerut. Setelah dua kali batuk kecil, ia melirik ke arah Uma yang duduk diam di kursi belakang bersama Vivi. “Uma, kamu tadi mencuci piring tapi lupa mencuci tangan ya?” tanyanya sembari memegang kemudi dengan satu tangan dan tangan satunya mengibas-ngibas di depan hidung. Uma yang tengah memandangi jalan dari balik jendela langsung menoleh. “Tidak, Mas," sahutnya singkat. “Lalu, ini bau sabun cuci piring dari mana? Mobil ini baru dicuci, pengharumnya juga beraroma lavender. Tapi kok sekarang jadi bercampur bau lemon segala?” suara Arya meninggi. Ia memang alergi pada aroma buah yang menusuk. Uma terdiam. Ia sedang mencari alasan yang logis. Tadi dia membuat sabun-sabun dengan berbagai aroma, termasuk lemon dan sereh. Minyak esensial yang cukup kuat pasti meninggalkan aroma yang menempel di bajunya. Bu Mirna tadi melarangnya berganti pakaian, akibatnya ya seperti ini. Namun sebelum Uma sempat menjawab, Bu Mirna menyela cepat. “Itu mungkin dari parfum baru yang tadi Ibu coba di pusat perbelanjaan. SPG-nya bilang parfumnya beraroma buah-buahan segar yang sedang tren. Makanya Ibu beli." Uma menoleh dan menatap ibu mertuanya dengan sorot tak terbaca. Senyum kecil mengembang di bibirnya. Selama tiga tahun pernikahannya, belum pernah sekalipun Bu Mirna membelanya dari Arya. Tapi demi Arya tidak mengeluarkan uang untuk membantu pengobatan ayahnya, mertuanya ini bersedia jadi kambing hitam. Arya mendengus. “Aroma segar apaan. Aromanya menyengat begitu. Seperti sabun toilet hotel murahan.” Bu Mirna tertawa sinis, lalu menoleh sekilas pada Uma. “Benar juga. Aromanya murahan sekali. Membuat orang yang menghirupnya sakit kepala.” Uma tahu, ibu mertuanya menyindirnya. Tapi ia pura-pura tidak mendengarnya. Ia santai saja menatap ke luar jendela. Terserah mereka mau berkata apa. Yang penting ia bisa berkarya dan menghasilkan uang. Di tengah perjalanan Vivi mulai rewel. Lama kelamaan ia gelisah dan mulai menangis. Dari mulai tangis merengek hingga tangis kencang karena tidak nyaman. Arya mendecakkan lidah kesal. "Uma, diamkan anakmu. Aku tidak bisa menyetir kalau Vivi menjerit-jerit begitu!" omel Arya. Bu Mirna menimpali," kamu ini jadi ibu bagaimana sih? Anak menangis saja tidak bisa dibujuk." Uma mengayun pelan tubuh mungil Vivi sambil berbisik lembut, "Sayang, tidur lagi, ya? Mama di sini…." "Vivi ngantuk," ujar Uma lirih. "Tidur siangnya terganggu karena—" "Aku tidak peduli!" potong Arya tajam. "Kamu itu ibunya. Harusnya kamu bisa mengontrol anak sendiri!" Uma hanya bisa diam, menahan sesak di d**a. Ia peluk Vivi lebih erat. Untunglah, dalam pelukannya, tangisan Vivi mereda dan perlahan ia pun tertidur. Kurang lebih 45 menit kemudian, mobil mereka berhenti di depan butik mewah bertuliskan Gunawan Hartanto Couture. Arya dan Bu Mirna melangkah cepat, sementara dirinya tertinggal, menggendong Vivi yang masih terkantuk-kantuk. AC dingin menyambutnya saat pintu otomatis terbuka. Di dalam butik, puluhan gaun elegan menggantung di rak kaca bening. Setiap helai tampak bersinar, seolah ingin berbisik, aku mahal. Di salah satu sofa empuk, tampak seorang pria flamboyan dengan jas berbunga, duduk berdampingan dengan pasangan muda. Pria itu jelas Gunawan Hartanto. Sambil tertawa renyah, ia berbincang ramah dengan sang tamu. Arya menghampiri Gunawan, begitu pula Bu Mirna. Uma mengekor di belakang. "Hallo, Bu Tjokro. Lama tidak berjumpa." Gunawan menyambut Bu Mirna ramah. "Ayo, kita naik ke lantai dua. Di sana banyak model gaun-gaun terbaru yang pasti cocok untuk Ibu." Seperti biasa Gunawan Hartanto sangat piawai mempromosikan koleksi-koleksi terbarunya. "Kamu memang tahu seleraku. Aku memang maunya hanya gaun-gaun koleksi terbaru," ujar Bu Mirna sombong sambil mengembangkan kipasnya. "Harus dong. Bagi saya, pelanggan itu adalah ratu. Apalagi pelanggannya VVIP seperti Bu Tjokro. Silakan, Bu." Dengan luwes Gunawan mempersilakan Bu Mirna naik ke lantai dua. Memuji dan membesar-besarkan hati pelanggan adalah keahliannya. Saat melihat ibu mertuanya mulai naik ke tangga, Uma pun melangkah mengikuti. Namun, Bu Mirna langsung menoleh dan mengangkat alis. "Ngapain kamu ikut, Uma? Kamu tunggu di sini saja bersama Vivi dan Arya." Seketika langkah Uma surut. Ia mengangguk kecil dan mundur, lalu duduk di sofa lain, memangku Vivi yang kini tertidur. Ia merasa asing, kecil di ruangan megah itu. Arya datang dan duduk di sampingnya. Wajahnya terlihat jengkel. "Kamu mau ngapain ikut Ibu ke atas?" tanya Arya. Uma menatap gaun-gaun indah di sekitar mereka. "Saya ingin melihat-lihat gaun, Mas. Gaun pesta saya itu-itu saja. Belikan saya satu gaun baru ya, Mas?" pinta Uma dengan nada memohon. Selama ini ia selalu mengenakan baju-baju lamanya sewaktu gadis. Apabila ia berkunjung ke rumah orang tuanya atau menghadiri acara-acara yang mengharuskannya ikut serta, ibu mertuanya akan meminjamkan gaun-gaun lamanya yang sudah ketinggalan zaman. Ia jadi terlihat tua dibanding usianya. Ia ingin punya gaun sendiri walaupun hanya sehelai saja. "Mau membeli gaun baru?" Arya menyipitkan mata. "Kamu punya uang tidak? Lagian, buat apa membeli gaun baru? Mau memamerkan kecantikanmu pada orang lain? Kamu itu sudah laku. Sudah menjadi istri dan ibu. Jadi tidak usah macam-macam!" hardik Arya dengan suara tertahan. Ada orang lain di dalam ruangan soalnya. Uma pun meminta maaf tersendat. Ia malu karena Arya memarahinya di depan orang lain. "Justru karena sudah 'laku', yang membeli harus bisa merawatnya. Jadi yang dibeli bahagia, dan yang membeli juga bangga." Sekonyong-konyong terdengar sindiran dari sofa seberang. Uma menoleh. Suara dari sepasang kekasih dari sofa seberang. Laki-laki tampan itu membelanya. Sang wanita pun mendukungnya. Karena wanita itu menatapnya dengan pandangan membela. Uma tersentuh. Alih-alih suami, justru orang lain yang membelanya. Arya menoleh sekilas. "Bukan begitu, Mas. Saya cuma mau mendisiplinkan istri saya. Dia tidak perlu susah-susah mempercantik diri. Toh, dia sudah laku," kata Arya dingin. Pria itu tersenyum tipis. "Analogi seperti itu salah, Mas. Baju yang sudah laku di toko pun bisa diretur kalau tidak sesuai selera, bukan?" Wajah Arya memerah. Suaranya naik satu oktaf. Ia tidak suka dikuliahi seperti ini. "Kalau mau mencampuri urusan orang, sekalian saja belikan gaun yang diinginkan istri saya. Jangan cuma bicara saja," balas Arya ketus. Ia tahu bahwa gaun-gaun di butik ini sangat mahal. Mustahil orang asing ini bersedia membelikan gaun untuk Uma. Pria itu menoleh ke wanita di sampingnya. "Dia, bantu Mbak ini memilih gaun yang ia suka. Kita yang akan membayar. Kalau Mas-nya butuh baju baru juga, silakan pilih. Saya bayar sekalian." Uma menarik napas berat. Arya dan Bu Mirna sama saja. Sama-sama kikir hingga tidak merasa malu sedang dijengkali oleh orang lain. Wanita yang dipanggil "Dia" tersenyum lembut. "Ayo, Mbak. Kita ke atas." Wanita itu menghela tangannya sambil mengambil alih Vivi dari gendongannya. Uma terhenyak. Ia tidak menyangka laki-laki baik itu menjawab tantangan Arya. Dan pacarnya juga mendukung tindakannya. "Tidak usah, saya—" "Ayo, ikut saja." Si wanita berbisik di telinganya. Ragu-ragu Uma ikut naik. Ia bingung harus bersikap bagaimana. *** Uma menaiki anak tangga butik dengan langkah hati-hati. Vivi sudah tertidur pulas dalam pelukan wanita muda bernama Dia yang berjalan di sampingnya. Aroma lembut dari parfum ruangan menguar— bercampur dengan wewangian kain sutra yang tersusun rapi di rak-rak kaca. Di tengah atmosfer mewah dan kehangatan itu, perasaan Uma berkecamuk. Antara malu, tak percaya, dan khawatir. Perlahan ia berbisik, “Mbak..." Uma menghentikan kalimatnya. Ia tidak tahu nama wanita cantik ini. Ia hanya mendengar sekilas kalau namanya Dia. "Dia Nan Dinanti. Panggil saja saya Dia, seperti yang lain." Dia menawarkan jabat tangan. "Saya Rahuma Kinanti. Panggil saja Uma. Vivi biar saya gendong saja." Uma mengulurkan tangannya. Bermaksud ingin menggendong Vivi kembali. "Tidak usah. Kamu kan mau memilih gaun." Dia menggeleng. Uma menarik napas sebentar sebelum mulai berbicara. "Mbak Dia, sebenarnya saya tadi cuma bercanda dengan Mas Arya. Saya tidak benar-benar ingin membeli gaun… Jadi Mbak tidak usah membelikan saya apa-apa, ya…” Dia menoleh sambil tersenyum lembut. “Tenang saja, Uma. Saya memang berniat memberimu hadiah. Anggap saja ini sebagai bentuk dukungan saya pada sesama perempuan atas… eh, kejadian tadi. Jangan menolak rezeki ya, tidak baik," bujuk Dia lagi. Uma tersenyum kikuk. “Iya, eh tapi saya takut nanti di atas bertemu dengan ibu mertua saya. Beliau nanti bisa marah besar.” “Tenang saja… Mertuamu pasti sibuk dengan koleksi gaun ibu-ibu. Kita ke bagian koleksi gaun remaja-dewasa muda saja. Pasti aman di sana." Benar saja, saat mereka tiba di lantai dua, tidak ada bayangan Bu Mirna sedikit pun. Yang ada hanya deretan manekin ramping mengenakan gaun-gaun model terbaru. Dua orang pramuniaga langsung menyambut mereka dengan penuh senyum. “Selamat siang, Kakak! Mau melihat koleksi-koleksu new arrival kita?” Dia menunjuk ke arah rak paling kanan. “Tolong bantu Mbak ini mencari gaun yang cocok, ya. Yang simple tapi elegan. Khusus untuk yang berhijab ya?" "Boleh. Mari, Kak. Kita kebagian koleksi terbaru," kata sang pramuniaga ramah. Uma tersenyum kikuk. “Saya… pokoknya jangan yang mahal-mahal ya. Saya jadi nggak enak ini.” Uma memandang Dia dengan sang pramuniaga berganti-ganti. Keadaannya saat ini sangat canggung. Sambil tertawa ringan, Dia menjawab, “Kamu jangan stres begini dong, Uma. Ayo, kamu pilih saja dulu. Nanti urusan harga, biar saya yang atur. Saya sering berbelanja di sini. Pasti akan mendapat diskon." Setelah menimbang beberapa model, Uma akhirnya menunjuk gaun fresh silk warna putih s**u dengan lengan balon dan detail layer lembut di bagian tengah. “Aku suka yang ini. Tapi… berapa ya harganya?” tanyanya ragu. Salah satu pramuniaga tersenyum, “Gaun ini… dua puluh delapan juta, Kak.” Uma terbelalak. “Hah? Dua puluh delapan juta? Astaga. Nggak, nggak, Mbak. Saya... saya ganti aja.” Dengan cepat, Uma menunjuk gaun satin polos sederhana yang warnanya senada tapi modelnya lurus dan tanpa aksen. “Kalau ini pasti lebih murah, ya?” Pramuniaga tersenyum makin lebar. “Yang ini… lima puluh empat juta, Kak.” Uma membelalak. “Lho, kok malah dua kali lipat?!” Dia tak kuasa menahan tawa. Tapi tawanya lembut, tidak mengejek. “Uma, justru yang simple-simple itu biasanya lebih mahal. Bahan dan jahitannya premium semua. Yang kamu tunjuk tadi adalah harga yang paling murah di sini," tukas Dia sambil kembali bermain mata pada sang pramuniaga tanpa sepengetahuan Uma. Uma menggaruk pelipis, pasrah. “Kalau begitu aku balik ke yang pertama saja deh… Yang dua puluh delapan juta. Tapi… pastikan itu yang paling murah, ya?” Dia melirik ke pramuniaga yang telah bersekongkol dengannya. “Iya kan? Yang ini paling murah?” “Iya, Kak. Gaun ini sudah yang paling murah,” ujar sang pramuniaga penuh pengertian. Uma mengangguk lega. “Ya sudah… terima kasih banyak, Mbak Dia. Aku benar-benar tidak menyangka akan mendapat rezeki besar hari ini.” Sambil menunggu gaun dibungkus, Dia mengayun pelan Vivi dalam gendongannya dan bertanya, “Eh, Uma. Saya memanggilmu Uma saja ya? Walau sudah punya anak, tampangmu masih seperti anak-anak soalnya. Umurmu berapa sih?" tanya Dia penasaran. "Jalan 21, Mbak. Saya menikah di usia 18 tahun karena perjodohan," jawab Uma jujur. "Nah benarkan tebakan saya? Kamu masih muda sekali. Saya sudah 25 jalan 26 beberapa bulan lagi. Di rumah kamu ngapain saja? Kerja tidak?” “Sebelumnya saya cuma jadi ibu rumah tangga. Tapi dua bulan ini saya mulai mencoba membuat sabun rumahan. Kecil-kecilan banget, Mbak. Alhamdulillah… mulai ada yang pesan.” “Bagus itu! Pertahankan, ya. Perempuan harus punya uang sendiri. Buat berjaga-jaga. Karena hari sial itu tidak ada di kalender." Uma terdiam, terharu. Ternyata masih ada orang yang peduli padanya. “Iya, Mbak… saya juga berpikir begitu," bisiknya sendu. Dia lalu mengeluarkan ponsel. “Kita tukeran nomor ya? Saya ingin mensupport usahamu. Siapa tahu suatu saat perlu bantuan, atau… investor?” Uma nyaris tak bisa berkata-kata. Matanya berkaca-kaca saat mereka bertukar kontak. “Terima kasih, Mbak… Saya… saya tidak tahu harus berbicara apa lagi. Mbak Dia sangat baik," tutur Uma terbata-bata. Dia menepuk lembut punggung tangan Uma. “Sesama perempuan sudah seharusnya kita saling mendukung. Anggap saja saat ini Allah sedang mempertemukan kita untuk hal-hal baik. Pastikan kamu akan menghubungi saya jikalau kamu butuh bantuan ya? Saya mengatakan ini bukan sekedar basa-basi. Saya tulus ingin membantumu." Dan di saat itu juga, Uma percaya—Tuhan memang tidak pernah tertidur.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN