7. Permufakatan Jahat.

1640 Kata
Mobil berhenti di halaman rumah dengan bunyi decit ringan. Pagar sudah dibuka oleh Pak Umar yang dengan sigap menyambut. Rumah dua lantai milik keluarga Arya berdiri megah, tapi bagi Uma, rumah itu terasa seperti tembok-tembok dingin yang membuatnya merasa terpenjara. Arya turun lebih dulu tanpa berkata apa-apa, diikuti oleh Bu Mirna yang langsung mengeluh, "Panas sekali siang ini. Mbok, ambilkan saya air dingin," seru Arya pada Mbok Jum yang berdiri di depan pintu. "Sebentar, Bu," jawab Mbok Jum sambil bergegas ke dapur. Uma turun sambil menggendong Vivi yang baru saja terbangun dan mulai mengucek matanya. Di tangan satunya, Uma menenteng kotak gaun dari butik tadi. Ia berjalan pelan masuk ke dalam rumah, berharap tidak ada komentar sinis dari Bu Mirna lagi. Tapi harapan hanyalah harapan. Baru dua langkah masuk ke dalam, Bu Mirna langsung melirik tajam. "Dasar tidak tahu malu. Mau saja kamu dibelikan gaun dari orang yang tidak dikenal. Tidak punya harga diri." Uma terdiam. Wajahnya panas, tapi ia menahan diri. Arya ikut bicara, "Uma, lain kali kamu tidak usah ikut lagi ke tempat-tempat prestisius seperti tadi. Bikin malu saja." "Saya juga tidak mau pergi kok, Mas. Kan saya cuma diajak." Tidak tahan terus dihina, Uma pun menyahut. "Kamu aku ajak karena Vivi. Aku akan membuatkan Vivi gaun dan Arya jas yang senada. Kalau tidak, aku juga malas mengajakmu," ketus Bu Mirna. "Tapi aku jadi tidak mood karena kelakuan tidak tahu malumu. Nanti saja kita pergi lagi setelah Vivi pulang, ya, Arya. Biar kita seragam semua di nikahannya Thania." Bu Mirna langsung ke dapur setelah menumpahkan unek-uneknya. Begitu juga Arya, ia langsung ngeloyor ke dapur juga. Uma dengan cepat berjalan menuju kamar. Ia butuh ruang untuk bernapas. Berdekatan dengan Arya dan Bu Mirna sungguh menguras emosinya. Begitu pintu kamar ditutup, Uma merebahkan Vivi ke tempat tidur. Setelahnya, ia duduk di tepi ranjang sambil menatap kotak ungu muda di pangkuannya. Ia membukanya perlahan, dan menyentuh kain silk putih dengan ujung-ujung jarinya. Lembut. Hangat. Gaun ini bukan sekadar baju indah. Ini adalah lambang bahwa seseorang-bahkan orang asing-menganggap dirinya pantas dihargai. Tidak seperti suami dan mertuanya! Vivi menggeliat dan melenguh kecil. Uma menepuk-nepuknya perlahan agar Vivi kembali tidur. "Tidur yang nyenyak ya, Sayang. Doakan Ibu berhasil agar kita bisa keluar dari sangkar emas ini." Uma mencium kening Vivi lembut, lalu masuk ke kamar mandi. Tubuhnya terasa lengket karena belum mandi sedari siang. Samar-samar ia mendengar suara mobil meninggalkan rumah. Arya telah pergi. Syukurlah, dengan begitu ia bisa kembali beraktivitas di dapur belakang. Setengah jam kemudian ia sudah selesai mandi. Saat mengisi perut di ruang makan, Tini memberi info kalau Arya dan Bu Mirna pergi ke rumah Aryani. Sepertinya Aryani bertengkar dengan Haris-suaminya. Uma mengangguk kecil. Itu artinya ia bisa melanjutkan pekerjaannya di dapur sabun. Pada Tini ia berpesan agar Tini menemani Vivi di kamar. Sebentar lagi, ia pasti bangun. Uma lanjut ke dapur dan memeriksa sebagian sabun-sabun yang mulai mengeras. Ia lalu menyiapkan label sederhana dan mengecek stok bahan. Ia menghela napas panjang saat melihat stok yang makin menipis, sementara ia sudah tidak punya dana untuk membeli bahan lagi. Ia kemudian duduk di meja kerja dengan sebuah kalkulator tua dan buku catatan kecil, menghitung-hitung pengeluarannya dengan pikiran ruwet. Di saat larut dengan beban, ponselnya bergetar. Uma melirik sekilas. Arumi yang meneleponnya. Uma meletakkan bolpen dan menjawab panggilan Arumi. "Halo, Ma. Kamu lagi ngapain? Aku mengganggu nggak?" "Nggak kok, Rum. Santai saja. Aku sedang mengecek stok bahan untuk membuat sabun." Uma menjawab panggilan sambil memijat-mijat pelipisnya. "Heh, sabun? Kamu jualan sabun seperti dulu?" "Iya. Aku ingin belajar mandiri. Kamu mau beli nggak?" Uma menawarkan dagangannya pada Arumi. "Mau dong! Dari dulu aku suka sabun-sabunmu. Eh, aku boleh ikut menanam saham nggak? Aku juga kepingin belajar berbisnis kecil-kecilan." Pucuk dicinta, ulam pun tiba. "Boleh banget dong, Rum! Sejujurnya, aku memang sedang mencari investor. Modalku terbatas." Uma rasanya langsung ingin bersujud syukur. Ternyata Allah menjawab doa-doanya melalui sosok Arumi. Alhamdulillah. "Bagus dong kalau begitu. Kita bisa saling bekerjasama. Nanti aku juga akan mempromosikan sabun-sabun kita ke kampusku," seru Arumi semangat. "Iya, dengan begitu sabun-sabun buatan kita akan lebih dikenal oleh orang banyak, ya?" Semangat Arumi menulari Uma. "Pinter." Di seberang sana Arumi terkekeh. Ia gembira karena akan mempunyai aktivitas baru yang berguna sekaligus bisa menghasilkan uang. "Tapi, Rum..." Uma menghentikan kalimatnya. Ada hal yang mengganjal hatinya. "Tapi apa lagi, Ma?" terdengar suara decakan lidah di ujung telepon. "Aku takut Genta nanti salah paham. Ntar dikiranya aku memanfaatkan kamu lagi." "Kamu ini ya, selalu negative thinking pada Mas Genta," gerutu Arumi. "Asal kamu tahu ya, Mas Genta itu bukan orang yang seperti kamu pikirkan. Mulutnya emang nyebelin. Kalau ngomong langsung to the point. Tapi hatinya baik banget sebenarnya." Uma terdiam. Ia masih ingat betul pertemuan terakhirnya dengan Genta di toko bahan kimia dua bulan lalu. Tatapan tajamnya, sindiran yang dilontarkan tanpa tedeng aling-aling. Ia tidak melihat kebaikan dalam sikapnya. "Rum..." Uma berkata pelan. "Sewaktu kami bertemu di toko kimia dua bulan lalu-sebelum kamu menghampiri, Mas Genta itu nyindir-nyindir aku terus lho." Di seberang sana, Arumi terdiam sesaat. Menimbang-nimbang sesuatu sebelum memutuskan untuk memberitahu Uma. Lalu ia berkata, "Gini ya, Ma. Sebenarnya aku nggak mau menceritakan ini. Karena ini adalah rahasia Mas Genta. Tapi karena kamu tuh terlalu overthinking, aku bilang saja deh." Uma mengernyitkan dahi. "Apa itu, Rum?" tanya Uma penasaran. Pegangannya pada ponsel menguat. "Mas Genta dulu tuh pernah naksir kamu, tahu." Jantung Uma nyaris copot. "Hah?! Masa sih? Kamu bercanda?" "Kok bercanda sih? Aku serius! Dulu setiap kali kamu ke rumahku, Mas Genta suka salting sendiri. Makanya aku jadi tahu kalau dia tuh suka banget sama kamu." Uma masih tak bisa percaya. Ia mencoba mengingat-ingat sikap Genta padanya di waktu lalu. Namun ia tidak menemukan momen yang ia sadari sebagai bentuk perhatian lebih dari Genta. Ia malah lebih mengingat Genta sebagai sosok yang kaku dan nyaris tidak pernah mengobrol dengannya secara langsung. "Tapi... dia nggak pernah nunjukin, Rum. Genta nggak pernah mengajakku mengobrol lebih dari sekadar basa-basi." "Itu karena kamunya nggak peka!" decak Arumi di ujung telepon. "Lagian kamu tuh dulu tiap hari ngomongnya ingin fokus melanjutkan pendidikan setinggi-tingginya demi mengangkat derajat keluarga. Makanya Mas Genta jadi tidak berani mendekat." Suara Arumi di seberang mengecil, diiringi suara langkah kaki. Sepertinya Arumi pindah lokasi berbicara. "Mas Genta bilang ia menghormati cita-cita muliamu. Makanya ia tidak mau mengganggu konsentrasimu dengan ajakan pacaran. Dia memilih diam dan menahan perasaannya. Katanya lagi, kalau cita-citamu sudah tercapai, barulah dia akan bicara. Tapi kamunya malah tiba-tiba menikah dengan Arya. Makanya Mas Genta tidak sempat menyatakan perasaannya padamu." "Aku sama sekali tidak tahu soal itu, Rum," ucap Uma jujur. "Ya sudahlah, mungkin kalian memang tidak jodoh. Lagian Genta juga mau dijodohkan dengan Mbak Puri-anak kenalan Mama. Katanya sih minggu depan mulai dikenalin. Dan kalau cocok, akan langsung disuruh menikah. Usia keduanya sudah 31 tahun." Uma menghela napas lega. "Syukurlah... berarti Genta nantinya bakalan sibuk dan tidak sempat mengurusi bisnis kita, ya?" "Betul sekali. Lagi pula Mas Genta itu baik kok. Ia selalu mendukung siapa pun untuk hal-hal yang positif. Kamu jangan suka berasumsi sendiri. Kita fokus saja mengurus bisnis sabun kita ini." Uma tersenyum, matanya mulai berkaca-kaca. "Terima kasih, Rum. Bener-bener... aku ngerasa banget Allah jawab doaku lewat kamu." Arumi tertawa lembut di ujung telepon. "Jangan bilang begitu, ah. Yuk, kita mulai memikirkan branding sabun kita. Nama, packaging, media sosial... semua harus kita atur. Biar makin kece!" Uma mengangguk penuh semangat meski Arumi tak bisa melihatnya. "Siap, Bos!" *** Uma terbangun oleh rasa haus yang menggelitik tenggorokan. Ia mengusap wajahnya, lalu menoleh ke sisi ranjang. Vivi sedang tidur nyenyak. Ia menoleh ke sisi lainnya-tempat biasa Arya tidur. Kosong. Uma menguap lebar sambil memindai jam dinding-pukul satu dini hari. Itu artinya Arya belum pulang ke rumah, setelah sore tadi ia pergi bersama ibunya ke rumah Aryani, adik iparnya. Dengan langkah pelan, Uma keluar dari kamar menuju dapur, berharap seteguk air bisa meredakan rasa dahaganya. Tapi belum sempat ia mencapai dapur, langkahnya terhenti. Ada suara. Pelan. Lirih. Tapi jelas. Suara Arya, yang sepertinya sedang mengobrol di telepon. "Sabar dong, Sayang. Aku masih mencari cara untuk menceraikannya..." Uma membeku. Napasnya tertahan. Ia mendekat setengah langkah, berlindung di balik bayangan tembok dekat koridor yang menghubungkan ruang tengah dan dapur. Detak jantungnya makin cepat. "...tapi nggak bisa tiba-tiba juga. Harus ada sebab yang logis. Kalau tidak, aku bisa kehilangan warisan dari Ayah." Suara Arya terdengar tenang, lembut, dan membujuk-nada yang tak pernah Uma dengar ditujukan padanya sejak mereka bertemu hingga saat ini. "Karena isi wasiat Ayah, aku harus menikahi Uma dan mempunyai keturunan darinya. Aku hanya bisa bercerai apabila Uma melakukan sesuatu hal yang buruk atau di luar batas kewajaran. Jadi kalau aku menceraikannya sekarang, aku bisa saja kehilangan warisan." Uma menggigit bibir. Mulutnya kering. Tangannya gemetar. Warisan? Ini rupanya alasan Arya dan Bu Mirna dulu bersedia mengikuti perjodohan yang diatur oleh Pak Darmuji-ayah Arya dan ayahnya. Tak ada suara selama beberapa detik. Arya tampaknya sedang mendengarkan perempuan di seberang sana. Lalu suara itu terdengar lagi. Lebih tenang, tapi menusuk. "Iya, sabar. Aku yakin bisa memanipulasi Uma. Dia masih muda dan naif. Makanya aku dulu memilih dia daripada kedua kakaknya yang serakah dan licik." Arya terkekeh kecil. "Kamu cuma perlu nunggu sebentar lagi. Oke, Sayang?" Dada Uma serasa pecah. Kata-kata itu menghunjam keras, mengoyak harga dirinya. Ini alasan sebenarnya. Ini motif di balik masalah perjodohan tiga tahun lalu. Licik. Pilu, marah, dan kecewa bercampur jadi satu. Tapi Uma tahu, menangis saat ini tak akan membawa keuntungan apa-apa. Ia mundur perlahan, berusaha tak mengeluarkan suara. Begitu masuk ke dalam kamar, Uma menutup pintu dengan hati-hati. Ia duduk di pinggir ranjang, menatap ke luar jendela yang gelap. Lalu ia berbisik lirih, "Aku tidak akan membuat rencana-rencana kalian mudah ke depannya," desisnya geram. "Kalau kalian bisa merencanakan semuanya dari awal, aku juga bisa merencanakan akhir dari permainan ini." Tekadnya tegas. Ia akan berjuang hingga akhir. Namun bukan karena cinta. Tapi karena ia ingin membuat Arya membayar semua rencana-rencana liciknya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN