Tolong Aku...

1622 Kata
Sungguh, aku benar-benar membayangkan sesuatu yang selama ini ada dalam imajinasiku akan menjadi nyata. Semua akan terjadi antara aku dan Tuan Barata. Entahlah, mungkin aku terlalu lancang untuk memikirkan hal itu saat ini, akan tetapi bagaimanapun aku dari awal memang sudah mengagumi sosok laki-laki dewasa yang berstatus majikan ku itu, meski begitu dengan posisi kami yang sedekat dan se intim ini, tentu saja aku semakin kesulitan mengendalikan degup jantung juga pikiran liar ku. Sebelah tangan Tuan Barata masih mencengkram kedua tanganku, menyatukannya di atas kepalaku dan menahannya, sementara itu sebelah lutut Tuan Barata pun kini bertumpu di sebelah sisi tubuhku dan refleks aku justru menekuk kedua lututku untuk menghindari tatapan nyalang laki-laki dewasa itu, terlebih saat ini posisi tubuhku nyaris tanpa busana. "Apa yang Tuan lakukan?!" Suaraku terdengar sangat lirih dan intonasi takut santar kuat. Namun... meskipun aku berusaha melepaskan cekalan tangan Tuan Barata, aku tetap tidak bisa. Entah apa yang terjadi dengan Tuan Barata hingga dia tiba-tiba menyerang ku seperti ini, akan tetapi dari arah bawah aku bisa melihat jika Tuan Barata menggigit giginya sendiri seolah dia sedang menyampaikan bahwasanya dia sedang marah. "Tolong... lepaskan aku Tuan!" Sudah payah aku berucap, suaraku terdengar sangat lirih dengan sedikit nada memohon, tapi Tuan Barata justru langsung menggeleng dengan sorot mata merah dan penuh kemarahan. Tuan Barata sedikit merendahkan tubuhnya ke arahku dan aku reflek menutup mata dan sedikit memiringkan wajahku untuk menghindari tatapan intim laki-laki itu, akan tetapi meski demikian, Tuan Barata tetap semakin menunduk , hingga jarak wajahnya semakin dekat dengan kulit wajah dan leherku. Aku bisa merasakan hembusan nafas hangat Tuan Barata menerpa wajah dan leherku saat tiba-tiba Tuan Barata justru berbisik, "tolong aku. Tolong tenangkan aku. Aku tidak bisa menyelesaikan ini semua sendiri!" Aku langsung menangkap suara berat dan serak Tuan Barata. Nada suaranya terdengar sangat dalam dan lirih, tapi kalimat itu cukup terdengar jelas di telingaku. Aku lantas membuka kelopak mataku, kemudian berbalik untuk melihat ekspresi Tuan Barata ketika berbicara, akan tetapi detik berikutnya Tuan Barata justru membenamkan wajahnya di atas kasur, tepat di sebelah pundakku dengan sebelah tangan yang masih tetap mempertahankan cengkraman nya di kedua tanganku dan sebelahnya lagi justru meninju sisi ranjang di sisi lain dari tubuhku. "Tuan...!" Aku benar-benar tidak tahu harus perkata apa. "Tolong tenangkan aku. Aku membutuhkanmu, Niken!" kembali bisikan itu lepas dari bibir Tuan Barata, tapi perasaan ku sekian tidak karuan. Rasa gugup terlalu mendominasi pikiranku hingga tubuhku justru terasa bergetar. Tuan Barata jelas menyebut namaku, Niken! Akan tetapi aku tidak tahu apakah saat ini Tuan Barata sedang berhalusinasi atau memang benar dia benar-benar sedang membutuhkan bantuan ku! Tapi kenapa aku? Bukankah sebelumnya Nyonya Jessica, selaku istrinya masih ada di rumah ini beberapa menit yang lalu, lalu kenapa Tuan Barata justru meminta bantuan padaku dengan cara seperti ini? Bukankah Nyonya Jessica jauh lebih layak dan lebih mampu membantu apapun yang Tuan Barata butuhkan?! "Tapi Tuan...!" "Aku akan membayar kompensasi lebih padamu jika sesuatu yang tidak kau inginkan tiba-tiba terjadi. Tapi tolong untuk saat ini aku benar-benar sedang membutuhkan bantuanmu, Niken!" Tuan Barata memotong kalimat yang ingin aku serukan untuk menolak atau menghindar dari situasi mencekam itu. Namun aku belum sempat menjawab atau menyanggahi kalimat Tuan Barata itu, saat tiba-tiba Tuan Barata justru menghirup aroma leher dan bahuku, dengan sebelah tangan yang kini juga menahan dadaku. Aku tidak melakukan perlawanan dengan memberontak , atau sekedar berusaha melepaskan diri dari cengkraman dan kungkungan tubuh besar Tuan Barata. Meskipun rasa takut masih begitu mendominasi pikiranku, aku tetap berusaha menarik nafas sebanyak yang bisa ditampung rongga dadaku kemudian menggenggam kedua tanganku sendiri untuk menahan gejolak aneh yang secara naluri perlahan mulai ikut menjalar di setiap syaraf tubuhku. Nafas Tuan Barata semakin terasa panas ketika menyapa kulit bahu dan leherku, bahkan hisapan lembut bibirnya pun ikut terasa panas di kulit leherku. Beruntung aku baru saja selesai membersihkan diri dan menggunakan wewangian sebelum memulai aktivitas pagi seperti biasa, akan tetapi meski demikian aku tetap merasa tidak layak untuk seorang Tuan Barata. Aku kembali memejamkan mata seolah pasrah dengan apa yang ingin Tuan Barata lakukan, karena bagaimanapun aku juga tahu jika kamar ini dilengkapi dengan alat peredam suara, terlebih lagi sebelumnya aku juga mendengar suara klik dari arah pintu utama kamar itu, dan itu adalah suara kunci otomatis dari pintu itu sendiri, jadi meskipun aku berteriak sekuat mungkin untuk meminta pertolongan atau pengampunan untuk dilepaskan oleh Tuan Barata, rasanya itu juga akan percuma, mengingat saat ini hasrat dan libido dari rasa ingin Tuan Barata semakin tidak bisa Tuan Barata kendalikan. Aku tahu ekspresi seperti apa yang ditunjukkan oleh Tuan Barata saat ini, karena aku juga cukup aktif menonton beberapa drama dengan rate dewasa, dan ekspresi ini jelas adalah ekspresi dari seorang laki-laki yang sedang tidak bisa mengendalikan hasratnya seorang diri. Aku kembali menarik nafas sebanyak yang bisa ditampung rongga d**a, berharap aku bisa sedikit lebih rileks saat Tuan Barata perlahan mulai menyentuh bagian lain dari tubuhku dengan tangan panasnya. Menyentuh bagian depan tubuhku yang menyerupai gunung kembar, lalu perlahan menyisir ke bagian perut, pinggang , lalu turun ke paha. Kali ini aku tidak hanya memejamkan mataku dengan sangat rapat, akan tetapi aku juga menggigit belah bibir bawahku sendiri untuk mengurangi rasa grogi juga rasa canggung yang begitu mendominasi pikiranku, meskipun aku tetap saja gagal. Ini adalah kali pertama aku diperlakukan seperti ini oleh seorang laki-laki, intim dan sangat mendebarkan. Terlebih lagi laki-laki yang saat ini sedang menaungi tubuhku adalah laki-laki yang selama ini ada dalam imajinasiku. Laki-laki yang selalu aku khayalkan untuk menaungi tubuhku dalam pusaran kenikmatan seperti yang aku baca dalam setiap penggalan kalimat di n0vel-n0vel dewasa koleksiku. Tidak ada kelembutan sama sekali di setiap sentuhan Tuan Barata. Setiap sentuhan itu terasa sangat menyakitkan di kulitku. Dia meremas kedua daging di depan dadaku dengan tekanan kuat, disusul menyesapnya dengan sangat pedih. Aku semakin menggigit belah bibir bawahku sendiri, berusaha meredam rasa tidak nyaman juga nyeri yang ditularkan dari setiap sentuhan Tuan Barata, bahkan sampai di sesi penetrasi, Tuan Barata sama sekali tidak memiliki sisi lembut itu, dalam kata lain, Tuan Barata melakukan penetrasi tanpa pertimbangan atau memperhitungkan jika dia nyaman atau tidak. Aku tidak tau apakah ini memang cara Tuan Barata bercinta dengan Nyonya Jessica sebelumnya, atau justru ini karena ada sesuatu yang tidak benar dalam tubuh Tuan Barata. Aku semakin mencengkram seprei di bawahku, semakin mengigit bibirku sendiri saat Tuan Barata justru membalik posisi tubuhku seperti posisi tengkurap, dengan pinggang dan b****g yang lebih tinggi dari bahu dan kepala ku, lalu masuk dari arah belakang. Posisi ini sama persis seperti posisi Nyonya Jessica ketika aku melihatnya melakukan adegan ini, bukan dengan Tuan Barata, dan sungguh aku membayangkan jika rasanya pasti sangat nikmat, akan tetapi semua benar-benar di luar ekspektasi ku. Ini sama sekali tidak nyaman, atau mungkin ini karena aku baru pertama kali melakukan adegan seperti ini secara langsung dengan seorang laki-laki. Tubuh Tuan Barata terus bergerak maju mundur lalu timbul tenggelam ke dalam tubuhku, seolah dia sedang berpacu untuk mencari kenikmatan itu secara sepihak tanpa mempedulikan apa dan bagaimana perasaan ku. Aku yakin Tuan Barata melakukan ini dengan kesadarannya, karena dia tidak hanya melirihkan namaku sekali dua kali, tapi berkali-kali seolah kami memang pernah melakukan ini sebelumnya. "Eemmhhh...!" Lenguhan kasar dan helaan nafas berat turut lepas dari bibirnya. Aku tidak tahu arti dari helaan itu? Apakah dia merasa frustasi karena tidak kunjung mendapatkan pelepasannya, atau justru dia tidak nyaman ketika harus melakukan ini denganku. "Oh ini sakit, Tuan...!" Aku benar-benar tidak bisa untuk tidak mengeluh sakit karena Tuan Barata semakin tidak bisa mengendalikan gerakkannya , dan aku benar-benar sudah tidak tahan dengan rasa sakit yang begitu kuat dan mendominasi itu. "Tahan lah sebentar. Aku akan segera selesai!" ucapnya serak. Kedua tangannya masih memegang kedua sisi pinggangku, dengan tubuhnya yang terus-menerus menabrak tubuhku, membenamkan batang miliknya dengan ritme yang begitu kuat dan mencekam. Harusnya momen ini akan menjadi momen paling spektakuler dari segala ekspektasi dan imajinasiku, nyatanya aku justru merasa sangat payah dan tersungkur sakit. Aku benar-benar tidak paham, saat rasa sakit itu semakin kuat menghujam bagian sensitif milikku, tapi semakin kesini aku bisa merasakan jika Tuan Barata semakin bergerak cepat untuk membenamkan miliknya , meleburkan perasaannya hingga eerangan kuat lolos dari bibirnya , dan cengkraman kedua tangannya semakin terasa menikam di kedua sisi pinggangku. Aku masih belum mengerti apa yang terjadi, tapi aku juga merasa sesuatu yang hangat perlahan mengalir ke dalam perutku, dan detik berikutnya Tuan Barata justru melemah... melemah lalu berhenti meski tubuhnya masih terbenam dalam tubuhku. Aku bisa merasakan ada perasaan lega yang perlahan lepas dari hembusan nafasnya dan selang beberapa detik setelah itu, tubuh Tuan Barata justru ambruk di sampingku saat aku bahkan masih dengan posisi berjongkok dengan bertumpu menggunakan kedua lututku sembari memeluk bantal dan selimut di atas ranjang itu. Tanpa sadar air asin itu merembes di kedua sudut mataku. Perih dan teramat sakit yang aku rasakan, dan perlahan aku mulai menjatuhkan tubuhku dengan posisi menekuk dan memunggungi Tuan Barata. Saat aku hendak beranjak turun dari ranjang itu, tiba-tiba sebelah tangan Tuan Barata justru menjangkau perutku, lalu menariknya lebih tengah, kemudian memelukku. Dia tidak berkata sepatah kata pun. Hanya sesekali aku mendengar dia kembali menghela nafas, dan aku pun tidak berani bergerak ataupun protes atas apa yang sudah terjadi antara aku dan Tuan Barata. Aku hanya terus diam, mencerna apa yang sudah terjadi, tapi menit demi menit berlalu dan aku merasa hembusan nafas Tuan Barata di tengkukku semakin terasa teratur. Aku yakin jika Tuan Barata mungkin sudah lebih tenang, atau mungkin sudah terlelap, jadi aku berusaha mengurai lengannya di depan perutku dan bersiap untuk meninggalkan kamar itu. Namun saat aku berbalik untuk melihat ke arah Tuan Barata, ternyata Tuan Barata justru sedang menatapku dengan tatapan tajam. Aku memeluk selimut juga kemeja yang sebelumnya aku gunakan, memohon pengampunan dari Tuan Barata untuk apa yang sudah terjadi, tapi detik berikutnya, Tuan Barata justru...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN