Kediaman Dirgantara, Santorini
Di ruang senjata pribadi kediaman Dirgantara di Santorini, sebuah ruangan dipenuhi rak kaca berisi senjata api dari berbagai era, Levi duduk di kursi kulit hitam, tubuhnya condong ke meja kayu di depannya.
Tangannya cekatan membongkar, mengelap, lalu merakit ulang pistol twin kesayangannya, seolah sudah otomatis. Tapi ada satu detail kecil yang selalu bikin Levi merasa … absurd.
Di gagang salah satu pistol itu tergantung strap gantungan HP warna biru pastel dengan hiasan boneka kecil yang bahkan Levi nggak tau itu apaan bentuknya. Benda itu jelas-jelas nggak nyambung dengan aura gahar senjata yang seharusnya jadi simbol maut.
Levi mendesah pelan, menatap strap itu lama. Ingatannya otomatis balik ke tiga tahun lalu.
[Flashback Singkat 3 Tahun Lalu, Indonesia]
“Hiks! Levi!” Aurielle waktu itu masih berusia delapan belas, mereka berdua baru saja lulus SMA, matanya berkaca-kaca, hidungnya merah karena habis nangis di bandara. Tangannya menggenggam strap kecil itu erat.
“Pokoknya kamu nggak boleh lepas ini ya! Sampai kita ketemu lagi, itu pengganti aku. Anggap aja … jimat buat keselamatan.”
Levi cuma bisa menatap cewek itu, setengah frustasi kesal, setengah nggak tega juga. “Auri, itu gantungan HP. Masa dipajang di pistol gue?!”
“Nggak mau tauuuu!!” Aurielle mendorongnya ke tangannya dengan paksa. “Aku bakalan bener-bener benci kamu kalau kamu nggak pasang dan jaga baik-baik. Janji sama aku!”
Levi meringis, pengen ngebentak, tapi akhirnya mengalah karena nggak teganya lebih besar daripada egonya, biar bagaimanapun mereka akan lama banget bisa ketemu lagi.
[Flashback Selesai]
Dan well, begitulah. Tiga tahun berlalu, strap absurd itu masih nyantel di pistolnya. Sering jadi bahan ejekan di lapangan. Bahkan ada anak buah Mafia Levante yang pernah menghina strapnya sebelum ditembak mati sama Levi dengan pistol itu. Ironis? Iya.
Levi menghela napas panjang, menutup mata sejenak.
Kadang, ia benci semua simbol kecil yang mengingatkan bahwa orang-orang selalu melihat dirinya bukan sebagai Levi, tapi sebagai bayangan.
Bayangan Rain Dirgantara, sang Devil’s Hand, mafia berdarah dingin yang cintanya ke Lillith Yoon legendaris sampai ke Eropa Timur. Kisah cinta mereka diceritakan seperti drama N3tf1lx. Rain, pewaris Dirgantara, dan Lillith Yoon, anggota Mafia The Asgard—dua organisasi mafia musuh bebuyutan yang harusnya saling bvnvh, malah jatuh cinta, kawin lari, lalu membangun kekuatan bersama. Kisah itu sudah berjalan puluhan tahun, tapi setiap kali nama Rain dan Lillith disebut, orang-orang masih berdesir, terpesona dengan cinta obsesif gila mereka.
Dan kini, Levi … selalu dibandingkan.
“Anak Rain.”
“Darah Lillith.”
“Penerus Dirgantara.”
Orang-orang jarang memandang Levi sebagai dirinya sendiri. Semua pencapaiannya, semua misi suksesnya, selalu ditempelin label karena dia anak Rain dan Lillith.
Jari Levi mengetuk pelan meja kayu, tatapannya jadi gelap. “Gue bukan mereka,” gumamnya rendah, nyaris seperti janji ke dirinya sendiri.
Tapi pistol di tangannya, lengkap dengan gantungan absurd dari Aurielle, jadi bukti nyata. Mau sekeras apa pun Levi menolak, pada akhirnya ia tetap terikat oleh masa lalu dan bayang-bayang keluarga.
Bukan cuma karena darah Yoon Dirgantara yang mengalir di tubuhnya, tapi juga karena takdir yang sudah ditetapkan jauh sebelum ia bisa memilih sendiri. Sejak lahir, jalannya sudah diatur. Jadi pewaris, jadi pemimpin, dan … jadi tunangan Aurielle Van Leeuwen, putri pemilik jaringan Rumah Sakit terbesar di Asia Tenggara. Papanya Aurielle, Damon Van Leeuwen, adalah sahabat sehidup semati Rain dari sejak jaman mereka main di geng motor.
Strap kecil itu, seabsurd apa pun, pada akhirnya adalah pengikat. Simbol kecil yang menghubungkan mereka, sebuah janji polos dari seorang gadis lugu di bandara tiga tahun lalu, tapi juga bayangan besar dari kesepakatan keluarga yang menjodohkan mereka sejak kecil.
Levi mendengus pendek, senyum getir muncul sekilas. Betapa ironisnya. Ia benci dipenjara dalam bayang-bayang keluarga, tapi justru dalam kegelapan itulah Aurielle muncul sebagai matahari kecilnya sejak kecil—cerah, cerewet kayak angin putting beliung, kadang nyebelin nan ngeselin, tapi … selalu ada.
Dia nggak pernah mau ngaku, tapi di balik semua darah, peluru, dan nama besar yang ia sandang, Levi merasakan satu hal … tanpa Aurielle, hidupnya hanya akan terus jadi malam tanpa fajar.
BZZZ. BZZZZ.
Kaget, ponsel Levi bergetar di meja kayu. Layar menyala terang. Video call dari Cewek ODGJ.
Levi mendecak frustasi. Ck! Jempolnya sudah siap menekan tombol merah, bahkan sempat terpikir sekalian blokir aja biar cewek absurd itu berhenti ganggu hidupnya tengah malam begini.
Tapi … bayangan itu muncul di kepalanya. Mata Aurielle yang dulu berair berkaca-kaca karena nangis, hidungnya merah kayak rusa Santa Claus waktu maksa dia nerima strap absurd tiga tahun lalu. Bayangan itu bikin tangannya berhenti.
Levi menggeram pelan, akhirnya menekan tombol hijau.
“...What?” suaranya berat, dingin.
Tapi matanya langsung membelalak detik berikutnya.
Di layar, Aurielle muncul dengan rambut acak berantakan, wajah polos tanpa makeup … dan hanya mengenakan tanktop tipis. Bahunya mulus terbuka, kulit putih licin cewek itu bikin jantung dan bawahnya Levi langsung berdesir liar.
Deg … Deg … Deg …
Levi buru-buru menggeser ponsel, seakan itu bisa meredam gejolak dan hasrat dalam dadanya.
“Levi!!! Kamu udah di rumah?”
“Lo ngapain telepon tengah malam? Disana udah jam dua pagi.”
Aurielle cengar-cengir, lalu nyender ke meja kamarnya. “Baruuu selesai Z0om meeting.”
Ekspresi Levi langsung gelap.
“Zo0m meeting?” suaranya turun setengah nada, nyaris jadi geraman. “Dengan tanktop doang begini?”
Aurielle berkedip bingung, refleks melirik dirinya sendiri. “Ehm … iya. Emang kenapa?”
Levi mendekat ke layar, matanya penuh dengan aura posesif yang sulit disembunyikan. “Lo … gila ya!”
Aurielle makin bingung, mengerutkan kening. “Hah? Maksud kamu apa? Kan aku di kamar, bukan di kafe. Santai aja kali …”
Suara bariton Levi meledak. “Santai?!?! Kalau ada cowok-cowok di Zo0m itu ngeliat lo begini, dengan bahu dan ket3k lo kelihatan, kulit lo terekspos …”
Aurielle ternganga, wajahnya merah bukan karena malu … tapi karena nggak nyangka Levi bisa semarah itu cuma gara-gara dia pakai tanktop, dia langsung melotot balik ke Levi.
“Ih, kamu orang jaman bahela ya! Di Zoom tadi cowoknya cuma satu!”
Levi langsung bangkit dari kursinya. “Cuma satu?!” suaranya meninggi, bariton dingin menusuk. “Tetep aja cowok! Nggak peduli satu, dua, atau seratus … itu sama aja. Ada cowok lain liat lo dengan kondisi kayak gini? Tanktop tipis, bahu kebuka, rambut lo acak kayak abis …” Levi terhenti sebentar, suaranya jadi lebih gelap. “…kayak abis gue bikin berantakan.”
Aurielle terperangah, pipinya merona panas. “Levi!”
Levi mencondongkan wajahnya lebih dekat ke kamera, tatapan matanya tajam dan super posesif yang obsesif. “Gue tau cowok-cowok itu. Cukup liat sepotong kulit lo aja, pikiran mereka udah kotor.”
Aurielle buru-buru nyeret selimut tipis dari kasur, nutupin dadanya. “Ya ampun, lebay banget …” gumamnya, tapi suaranya lemah, karena jantungnya sendiri berdebar gila.
“Bagus. Tutupin. Itu harusnya yang lo lakuin dari tadi, bukan malah pamerin gratis ke cowok lain!”
Aurielle memukul kamera ponselnya pelan dengan telunjuk. “Aku nggak pamer, dasar freak. Lagian aku cuma—”
Levi memotong, suaranya meledak rendah. “Aurielle Van Leeuwen. Dengerin baik-baik. Mau jarak kita ribuan kilometer, mulai sekarang lo dilarang pake tanktop doang kalau lagi meeting or whatever!”
Aurielle terdiam, matanya membesar. Hatinya nggak karuan, antara pengen bantah sama … terbuai dalam tekanan tatapan Levi. Dia nggak mau kalah, dia gigit bibir, pura-pura manyun ke kamera. “Jadi … aku cuma boleh pake tanktop depan kamu aja gitu maksudnya?”
Aurielle menurunkan lagi selimut tipis yang tadi nutupin dadanya, sengaja biar bahunya keliatan jelas. Senyum genitnya muncul. “Kayak gini?”
Deg.
Levi menelan ludah. Pandangannya nggak bisa lepas dari kulit putih mulus Aurielle. Jantungnya langsung otomatis berdetak lebih cepat. Dan saat itu juga, dia ngerasain sesuatu di bawah sana, kedutan liar, darahnya turun semua sampai terasa menyiksa.