'Junior' Levi Bangun

1235 Kata
Kenapa cewek ini selalu bisa bikin gue chaos bahkan dari jarak ribuan kilometer?! “Jangan main-main sama gue, tutup …” suaranya keluar lebih serak, nyaris jadi desahan. Aurielle ketawa kecil, pura-pura polos. “Hah? Emang kenapa? Kan katanya aku cuma boleh begini depan kamu. Jadi sekarang aku lagi bener, dong?” Bawahnya Levi makin tegang, berdenyut nyeri di balik celananya. Rasanya berat, sakit, kayak mau meledak kapan aja. Bikin setiap kata yang keluar dari mulutnya terdengar seperti ancaman. “Kalau lo terusin, I swear Auri … gue bakal terbang ke Jakarta detik ini juga. Gue bakal bikin lo bener-bener nggak bisa pake tanktop sebulan penuh.” Aurielle terdiam kaget, pipinya merah merona. Jantungnya chaos, tubuhnya ikutan panas, selimut yang tadi nutupin dadanya digenggam erat. Suasana makin tegang— BRAKKK! Pintu ruang senjata terbuka tiba-tiba. Levi hampir lompat dari kursinya, ponsel nyaris jatuh dari tangan. Matanya membelalak saat melihat sosok tinggi besar dengan aura dingin berdiri di ambang pintu. Rain Dirgantara, papanya. Tatapan Rain langsung nyasar ke meja berantakan penuh senjata, lalu ke wajah Levi … dan nyaris ke layar ponsel yang masih nyala. Levi buru-buru membalik HP nya ke bawah, jantungnya deg-degan bukan main. “Sh*t …” Rain menaikkan alis, nada suaranya berat tapi kalem. “Kamu ngapain di jam segini, hah? Bukannya besok ada mission briefing?” Levi berusaha jaga ekspresi cool, padahal juniornya masih keras berdenyut nyeri di balik celana. “Cuma … cleaning pistol.” Rain melangkah masuk, matanya nyempil sekilas ke gantungan absurd di pistol Levi, lalu ke wajah anaknya lagi. Ada senyum tipis tengil yang bikin Levi makin frustasi. “Cleaning pistol, ya?” Rain duduk santai di kursi seberang, nyalain rokok. “Atau cleaning … pikiran kamu yang kotor?” Levi langsung kaku, tenggorokannya serasa kering. Tapi sialnya … suara ceria itu lolos dari speaker tanpa dosa. “Malamm Om Rain~!” Levi langsung membeku, wajahnya pucat pasi. Sial! Rain terdiam sebentar. Lalu bibirnya melengkung senyum tipis. Ia kenal betul suara itu. Calon menantunya. Putri kesayangan Damon yang suka banget digendong dia daripada papanya sendiri. “Hai juga, Little Princess.” nada Rain datar, tapi entah kenapa terdengar hangat. Levi nyaris jatuh dari kursinya. Telinganya merah padam, jantungnya jungkir balik. “Omfg …” dia buru-buru kecilin suara HP, tapi damage udah terjadi. Rain menghembuskan asap rokoknya, ekspresinya tenang tapi matanya nakal. “Well … fine. Papa juga pernah muda kok.” Ia menepuk bahu Levi singkat, seolah ngerti lebih dari yang diucapkan. “Enjoy.” Levi membeku, juniornya masih berdetak liar, mukanya panas kayak kebakar. Rain mengambil senjata kesayangannya dari rak kaca, lalu melenggang santai keluar ruangan. Aura cool mafia legendarisnya memenuhi ruangan sebelum pintu menutup kembali. Levi menatap ponselnya yang masih nyala, Aurielle di layar lagi ngakak setengah mati sambil nutup mulut. “Oh my God, Levi … papa kamu tauuuu!!” Levi mendesah panjang, menutup wajah dengan satu tangan. * * Asterion University, Keesokan Harinya, Pagi Hari Aurielle baru aja melipir ke ruang BEM buat santai sebentar sebelum kelas. Kayak biasa, cewek itu duduk selonjoran di sofa empuk sambil mainin HP. Tapi tiba-tiba, suara gaduh pecah dari pojokan ruangan kosong di sebelah. Isakan, teriakan, terus … “DASAR JABL4Y!!!” Aurielle refleks berdiri. “Hah??” Begitu ia lari ke arah sumber suara, matanya langsung melotot. Chanel, bestienya sejak tahun pertama, udah ngejambak rambut Marsella, anak sopir keluarga Van Leeuwen yang jadi bahan bisik-bisik kampus karena wajahnya lugu-lugu rapuh bak malaikat dengan body aduhai sepanjang masa. Marsella nangis kesakitan, tubuhnya setengah merunduk, tangannya berusaha nahan. “Aa … awww!!! S-suer itu bukan—” PLAKK! Belum sempet Marsella beresin kalimat, pipinya udah kena tamparan super duper keras dari Chanel. Aurielle shock setengah mati. “WEEEIIII! INI KENAPAAA??” Chanel langsung noleh, wajahnya udah merah banget, mata berkaca-kaca bentar lagi nangis, rambutnya agak berantakan karena emosi. “ELLEEEEE!!!!” Aurielle buru-buru maju, megang tangan Chanel biar jambakannya lepas. “Chanel! Chill dulu please!” Chanel masih terengah, nadanya nyaris nangis campur marah. “Elle, sumpah … tadi pagi gue liat dia—” jari telunjuknya gemeteran nunjuk Marsella yang lagi nangis meringis. “—turun dari mobilnya Zee!!” Aurielle terdiam. “What the … seriusan?” Chanel ngangguk cepat, matanya masih berair. “Lo tau kan … cuma gue yang boleh naik mobilnya Zee! Dari dulu! Zee tuh nggak sembarangan mau angkut cewek. Bahkan lo aja, Elle, nggak pernah kan naik mobilnya?” Aurielle tertegun sejenak, lalu melirik Marsella. Cewek itu panik setengah mati, mukanya merah dengan bekas tangan di pipi. “B-bukan kayak gitu … aku cuma …” Aurielle narik napas panjang. “Oh damn …” Dalam hati, Aurielle cuma bisa mikir. Wow. Satu sahabat gue sendiri, satu lagi anak sopir rumah gue. Dan sekarang gue harus jadi wasit di antara mereka? Seriously? “Chanel! Please, stop dulu! Dengerin dulu penjelasan—” Tapi Chanel malah makin histeris. Matanya tiba-tiba membelalak begitu sebuah saputangan jatuh dari kantong Marsella. Aurielle ikut melirik. Kain putih elegan, sudutnya ada bordir huruf Z.H. Zee Halim. “APAAN INI?!” Chanel langsung gemetar, nadanya nyaris teriak histeris. “INI PUNYA ZEE!!!! LO BENER-BENER—” Tangannya udah siap mau nyambit tamparan lagi ke pipi Marsella. Tapi BRAKKK! gerakan itu berhenti di udara. Sebuah tangan kokoh menahan pergelangan Chanel. “Chanel! Stop it!” Semua kepala menoleh. Di ambang pintu, berdiri Zee Halim, wajah gantengnya shock dan nggak percaya sama sekali sama apa yang baru dia lihat. Chanel bengong, air matanya udah tumpah, suaranya pecah. “Lo … lo nahan tangan gue? Buat dia?!” Zee terdiam, matanya bergantian melirik Chanel lalu Marsella yang lagi gemetar nangis. Ekspresinya rumit, jelas lagi perang batin. Belum sempet ada jawaban, pintu kembali kebuka. “What the hell is going on?” Suara berat tapi santai khas Sky Gabriel muncul. Dia melangkah masuk dengan kemeja putih digulung, wajahnya udah ngerut alis. Di sampingnya, seorang cowok jangkung tapi stylista ikut masuk, langkahnya centil. Rambutnya blonde highlight, kaos crop top ngepas badan. Vincent atau sebut aja Vinny karena dia lebih suka dipanggil begitu. “Say hi, b*tches, the queen is here~” Vinny menjentikkan jari, tapi begitu lihat Chanel nangis dan Marsella kejebak di pojok pipinya bengkak, ekspresinya langsung berubah. “Oh damn, ini bukan vibe yang aku bayangin … ” Sky langsung gesit, berdiri di samping Aurielle tanpa memperdulikan ‘si korban’ Marsella. “Elle, kamu nggak kenapa-kenapa? Kenapa temen kamu kayak mau battle royale?” Aurielle tepok jidat. “Long story, Sky …” Vinny masih berdiri di tengah ruangan, tangannya di pinggang. “Gue sumpah ini lebih panas daripada catwalk final season Next Top Model.” Sky melirik sekilas ke arah Marsella yang masih meringis di pojok, tapi fokusnya balik lagi ke Aurielle. “Elle, serius kamu nggak kenapa-kenapa?” Aurielle menghela napas berat. “Aku baik-baik aja, Sky. Yang nggak baik itu …” matanya melirik Chanel yang masih gemetaran, matanya merah penuh air mata. Chanel udah histeris, air mata jatuh deras. “Zee … lo beneran belain anak sopir ini dibanding gue?!” Zee mengangkat kedua tangannya, wajahnya tegang. “Bukan gitu, Chanel, please denger dulu—” Tapi Chanel sudah terlalu tersakiti. Dengan kasar ia melepaskan tangannya dari genggaman Zee, suara teriakannya pecah. “I hate you!” Tanpa nunggu jawaban, Chanel langsung lari keluar ruangan, pundaknya berguncang, tangisnya kedengeran sampai lorong. Marsella terisak pelan, wajahnya penuh rasa bersalah. “Aku … aku nggak maksud …”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN