Windy bangkit dari rebahannya melirik kearah pangeran Marvin dengan tajam seolah ingin menghunus tepat di jantung sang pangeran. Entah karena sang pangeran masih muda dan tampan, atau karena memang dirinya merasa nyaman dengan sang pangeran, tapi Windy tidak merasakan ketakutan jika berdekatan dengan sang pangeran di banding dengan Nadia. Windy menghela nafas kesal lalu memandang seluruh area kamar. dan dia akhirnya melihat sebuah sofa empuk di atasnya. Windy berjalan menuju sofa itu. “Heii-heii! Sofa itu sudah ada yang memiliki…” ucap Marvin tersenyum geli. Windy menoleh dan langsung menjawab. “Punya istri kamu?” “Itu punya Angelina…” jawabnya dengan santai. “Lah. Trus mana si Angelina itu?” tanya Windy mencari-cari sosok wanita yang bernama Angelina. Windy mengangguk, lalu dia

