Ting!
Sebuah pesan masuk di ponsel Edelweis. Dari salah satu junior kampusnya. Pesannya berupa foto tanah yang mengeluarkan lumpur.
Edelweis harus mengerutkan dahi melihat dengan seksama gambar yang diambil dari kejauhan itu. Tidak sabar, Edelweis langsung menelpon si pengirim pesan.
"Halo, ini gambar apa, di mana lokasinya?"
Edelweis mencatat alamat di satu kertas yang berserakan di meja belajarnya. Kemudian dia mengungkapkan terima kasih dan menutup telepon.
Edelweis berpikir apakah dia perlu mengabari kantor terlebih dulu atau tidak. Hari ini memang dia libur, tetapi dia tidak bisa diam saja. Apalagi mendapat informasi seperti ini. Dia harus mengecek tempat tersebut. Valid atau tidak. Salah satu tugas menjadi jurnalis.
Edel memacu motornya menuju daerah yang disebutkan. Hanya pedesaan dengan sawah terhampar. Yang menonjol dari desa itu adalah adanya satu pabrik yang bangunannya menjulang tinggi bak menara.
Pabrik itu disebut Pabrik Pelangi. Edel belum menemukan alasan kenapa dinamakan demikian. Edel harus fokus pada apa yang dilakukannya sekarang. Dia memarkir motor dan ikut mengemil di kerumunan. Orang -orang ini sibuk merekam munculnya lumpur di halaman rumah warga. Edel mulai bertanya ke warga sekitar, mengumpulkan informasi.
"Ada apa ya Pak?" Tanya Edel pada lelaki bertopi caping.
"Anu Mbak, lumpur keluar dari dalam tanah," jawabnya.
"Kapan pak mulai keluarnya?" Edel mulai mengingat ingat informasi tersebut.
"Katanya sih mulai tadi pagi."
"Terus berbau atau enggak?"
"Nggak tahu Mbak, nggak berani ke sana."
Edel mengangguk angguk saja. Dia mendekati pemilik rumah dan mulai menggali informasi yang lebih akurat.
"Permisi Pak, kami jurnalis dari tv lokal ingin mengajukan beberapa pertanyaan, boleh?"
Pemilik rumahnya nampak terkejut, wajahnya sedikit ragu namun mengiyakan permintaan wawancara tersebut.
Edel bersiap dengan kameranya.
***
Edel masuk ke kantor dengan hati riang. Kalau melihat lokasi keluarnya lumpur dengan lokasi pabrik, bisa saja ada hubungannya. Edel perlu tim ahli yang bisa menganalisa kejadian tersebut. Sebab hal ini bukan keahliannya.
Dia menyapa editor dan meminta beberapa saran. Edel begitu bersemangat menceritakan kejadian yang ditemukan tadi pagi.
"Pak, aku dapat berita penting," ujarnya ceria.
"Oh ya, apa itu?" Tanya editor mulai tertarik.
Edel mengeluarkan kameranya dan memperlihatkan rekaman lumpur yang muncul di teras rumah warga.
Kali ini si editor bukan lagi tertarik, tetapi sangat tertarik. "Ini bagus. Kamu bisa tuliskan beritanya sekarang?"
Edel tentu saja menyanggupinya. Dengan semangat membara Edel mengetik beritanya. Berulang kali dia baca dan edit sehingga bisa menjadi sebuah berita yang akan muncul di headline koran.
Heboh! Lumpur keluar Di rumah warga. Diduga ada limbah pabrik bocor!
Edel tahu judulnya sangat mengundang banyak persepsi. Tetapi itu bagian dari pekerjaannya. Mengambil sudut pandang yang menarik dibaca. Setelah selesai, dia mengirim ke email redaksi untuk disunting oleh Editor.
Edel berharap berita dia akan menjadi berita utama. Ada bonus lumayan ketika beritamu muncul di halaman depan koran. Berita itu akan menjadi sorotan pembaca, dan juga jurnalis lainnya.
Edel juga akan mudah untuk menarik iklan. Dia tahu tugas jurnalis bukanlah mencari iklan. Tugasnya adalah mencari berita. Namun perusahaan bukanlah yayasan sosial. Mereka tetap butuh dana operasional. Termasuk menggaji para karyawannya. Meskipun Edel kadang sebal bila dititipi pesan untuk menawarkan iklan pada narasumbernya. Edel tidak bisa menampik bahwa iklan tetap dibutuhkan. Dan Edel akan senang sekali bila mendapat bonus tambahan.
Namun Edel percaya bahwa selali ada berita - berita yang tetap tayang terutama terkait dengan pemerintah. Pelaksanaan pemilihan umum, kebijakan - kebijakan yang berhubungan langsung dengan rakyat, maka berita itu pasti tayang.
Selain itu, ada juga berita yang sama sekitar tidak penting namun tetap muncul. Berita yang menarik. Berita seperti penjual kopi yang cantik. Edel ingat, dia harus berdebat dengan salah satu rekannya terkait berita itu.
Bahkan dia mengolok-olok jurnalis yang menjadikan penjual kopi cantik itu bak pahlawan yang menyelematkan bumi. Berita itu ditayangkan terus sehingga perhatian warga beralih ke berita yang tidak penting itu.
"Kenapa kalau wajah ganteng, cantik itu selalu menjadi viral? Padahal mereka nggak ada prestasi apapun!" Keluh Edel pada editornya.
"Buat kamu nggak penting. Buat mereka pasti menarik?" Jawab editornya.
"Polisi cantik, polisi ganteng, apalah apalah…" Edel mencerocos tanpa henti. Bahkan dia juga mengumpat berita yang mengutamakan istilah janda. Selalu dan selalu setiap tahun ada berita tentang jumlah janda muda. Seharusnya, pikir Edel, kalau ada janda berarti ada duda. Kenapa bukan Duda yang jadi pusat berita? Kenapa harus janda?
"Mereka tetap butuh hiburan," kata editornya.
Edel menatap Editor dengan sorot tanda tanya besar.
Editor itu mengehela napas panjang."Iya hiburan buat pembaca. Bukan melulu baca korupsi, harga barang sembako naik, atau pencitraan para politisi. Mereka sudah muak semua itu Del!
Sekarang bayangkan! Setiap hari mereka bekerja dari pagi sampai malam. Dan semua isi televisi, koran dan internet adalah berita tentang kebijakan pemerintah. Aku yakin mereka sudah membanting alat apapun itu. Mereka butuh sesuatu yang menarik, yang menghibur, menghilangkan rasa lelah. Kamu tidak akan sakit hanya karena menyuguhkan berita orang ganteng atau cantik, sebab mereka tidak terluka hatinya. Mereka bahagia."
Mendengar petuah dari editornya, Edel merasa tertohok. Dia belum pernah melihat berita tidak penting itu dari sudut yang dipaparkan oleh Editornya. Barangkali dia memang menuntut semuanya harus menjadi penting. Dan dia menyadari, berita penting tentang kebijakan belum tentu dibaca orang. Polisi ganteng? Sudah pasti.
"Sudahlah,jangan rusak kebahagiaan mereka. Standar hiburan tiap orang pasti berbeda."
Edel tetap tidak mengerti. "Hiburanku jalan-jalan tuh. Melihat pemandangan. Terutama sama pacar. Eihhh," Edel menggumam.
Editor tertawa. "Memangnya punya pacar?"
Edel pura-pura menggeleng sedih.
Editor kembali tertawa. "Kamu tuh cantik, pintar, jurnalis handal, tapi kok gak punya pacar?"
Edel mengiyakan pujian itu. Dia juga heran. "Aku tuh bukan cuma cantik. Tetapi bisa apa aja. Yang nggak bisa cuma cari jodoh."
Editor menggoda. "Menunggu jodohnya orang?"
"Boleh. Asal bukan suami orang," tegas Edel.
"Pelakor dong."
Edel baru mendengar kata itu. "Apa itu pelakor?"
Editor yang sedang menyunting naskah kali ini menghentikan pekerjaannya sejenak. Dia memandang Edel dengan tatapan heran. "Kamu beneran nggak tahu?"
Edel mengangguk. Dia benar-benar tidak tahu. Edel tidak malu ketika ada hal yang tidak diketahuinya dan dia bertanya.
Editor geleng geleng kepala. "Makanya kamu butuh bacaan lain selain soal politik dan yang bikin mikir. Nonton sinetron sana. Pelakor itu perebut laki orang."
Mulut Edel menganga lebar. "Idih amit-amit."
Keduanya tertawa lepas. Namun senyum dan riang di wajah Edel segera lenyap ketika dia dipanggil ke ruang Pimpinan Redaksi.