Edelweis memandang Editor dengan tatapan sedih. "Ada angin apa ya?" gumam Edelweis.
"Mungkin akan hujan," kata Editor.
Editor dan Edelweis sama-sama menyengir singkat dengan guyonan itu. Sebab nama pimpinan redaksi mereka, sangat sesuai dengan cuaca.
"Sana! Pasang wajah memelas!" saran Editor.
Edelweis menjulurkan lidahnya. "Aku bukan perempuan lemah!" Dia memeragakan otot lengannya. Kemudian melesat menuju ruang pimpinan redaksi. Degupnya berdebar keras. Tetapi Edelweis mampu menyembunyikan dengan baik.
Edeleweis membuka pintu ruang pimpinan redaksi. Dan berdiri di depan meja Awan, nama pimpinan redaksi tv lokal tempat dia bekerja. Pimpinan Redaksi lebih sering dipanggil pimred agar lebih mudah diucapkan.
"Outline kamu, kami tolak." Awan menyerahkan kembali kertas bertuliskan tangan Edelweis. Ketika Edelweis diam saja, pimred meletakkannya di meja.
"Kenapa Pak?" Kali ini Edelweis membuka mulutnya. Tentu dia tidak memahami alasan kenapa rencana liputanya ditolak. Menurutnya ini adalah isu yang penting.
Pimred itu menghempaskan punggung di kursinya. Dia melihat Edelweis dan kertas di meja secara bergantian. Edelweis jurnalis yang memiliki kemampuan bagus dalam menganalisa. Tetapi rencana liputan yang diserahkan tidak bisa, bahkan tidak boleh dilaksanakan.
Dia mencoba menjelaskan dengan sangat halus. Mengingat terkadang Edelweis selalu terbawa perasaan ketika melakukan peliputan.
"Begini, isu lingkungan ini memang penting. Tetapi berita yang berkaitan dengan pabrik ini tidak boleh tayang. Meskipun itu…"
Edelweis langsung menyambar ucapan Pimred. "Apa Bapak takut iklan kita berkurang?"
"Bukan begitu, dengarkan dulu…" Awan nampak memikirkan kata-kata yang akan dia ucapkan pada Edelweis. Dia tahu Edelweis cakap dalam pekerjaannya. Tetapi dunia tidak bekerja hanya berdasarkan kemampuan semata. Edelweis harus tahu itu.
Edelweis menyeret kursi dan duduk dengan lesu di depan Pimrednya. "Aku yakin semuanya berhubungan dengan iklan. Iklan dan iklan. Kenapa kita tidak jadi pembuat konten endors saja?" Edelweis mengucapkannya dengan nada menyindir. Dia sudah lelah. Berulang kali outline liputan ditolak lantaran takut akan kehilangan iklan.
"Edelweis, apakah kamu tahu siapa pemilik perusahaan ini?" Tanya Awan sedikit tajam. Dia tidak suka dengan sindiran Edelweis, yang merupakan bawahannya.
Edelweis mengangkat bahu. "Memangnya itu perlu? Yang penting aku bekerja dengan baik dan digaji sesuai."
Awan mendengus. "Hei, Edelweis, kamu benar-benar…" Awan tidak melanjutkan ucapannya. Dia hanya menggeleng gelengkan kepalanya.
"Apakah Pak Awan akan membahas alasan kenapa outlineku ditolak. Atau Bapak akan menyeramahi tentang pentingnya mengetahui susunan pemilik saham perusahaan? Kalau Bapak akan ceramah, lebih baik aku keluar. Cari berita lain." Edelweis bangkit dari duduknya dan melangkah keluar. Ketika sampai di pintu, Awan mengucapkan sesuatu padanya. Edelweis berhenti. "Gimana Pak?"
"Kamu pergi ke Kejaksaan Negeri saja. Akan ada pemusnahan barang bukti," ujar Awan tanpa melihat wajah Edelweis yang cemberut.
Edelweis mengambil nafas panjang dan mengeluarkannya dengan suara keras. "Baiklah Pak Pimred," ujarnya sambil membanting pintu.
Brak!
Awan tersentak dengan suara keras tersebut. "Cuk!"
***
"Gimana?" tanya Editor begitu Edelweis keluar dari ruangan Awan.
Sebagai jawaban, Edelweis menyilangan kedua lengannya. Dia juga memoyongkan bibirnya.
Editor itu hanya mengangguk-angguk. Dia menepuk pundam Edelweis sebagai bentuk simpati.
Edelweis menyeret langkahnya menuju meja kerjanya. Untuk meredam amarahnya dia menyambar botol dan menghabiskan air dalam sekali tegukan.
"Waw… kenapa Beb?" Tanya Hanif melihat Edelweis lebih mirip unta kepanasan.
"Diam kamu!" Bentak Edelweis.
Hanif mengangkat kedua tangannya. "Pms ya?"
Edelweis melempar botol kosong ke arah Hanif. Hanif menangkisnya dan tertawa. Kemudian segera kabur sebelum Edelweis mengejarnya.
Edelweis tidak mengejar Hanif. Dia merasa lebih bodoh kalau mengejar orang bodoh. Dia hanya menggeram kesal. Dan kembali menatap layar monitornya. Perhatiannya teralihkan begitu ponselnya berbunyi.
Ting!
Ponselnya berbunyi. Edelweis menghela nafas panjang. Seorang narasumber di lokasi pembuangan limbah menghubunginya lagi. Mereka menanyakan kelanjutannya berita tersebut. Kapan akan ditayangkan?
Edelweis mengetuk-ngetuk pulpen di meja. Dia memikirkan bagaimana membalas pesan mereka tanpa harus menyakiti perasaan mereka. Dia selalu merasa kesulitan ketika berurusan dengan orang yang lemah seperti mereka. Mereka tidak berdaya ketika tempat tinggal mereka tercemar oleh limbah.
Harapan mereka sangat besar ketika bertemu dengan Edelweis, seorang jurnalis. Edelweis teringat percakapan dengan mereka beberapa waktu dulu. Mereka menggebu-gebu menceritakan kehidupan mereka setelah pabrik Pelangi beroperasi.
"Pabrik memang menyedot tenaga kerja Mbak, banyak anak SMK yang bercita-cita masuk di sana. Tapi upah di sana sebenernya juga tidak besar," kata Alif pemuda desa.
"Memang berapa upahnya?" Tanya Edelweis penasaran.
"Hanya setengah dari upah minimum regional, Mbak," jawab Alif.
Tentu saja Edelweis tidak terkejut. Untuk mencapai upah minimum kota saja sudah banyak perusahaan yang melanggar. Apalagi upah minimum regional. Kasus ini bukan hanya satu, tetapi banyak terjadi. Dan entah bagaimana sering luput dari pemberitaan.
"Ah iklan," ujar Edelweis dengan nada kesal. Kesadarannya kembali, dia ada di meja kerjanya. Menatap monitor dengan laman media sosial seseorang. Seseorang yang sering dia rindukan. Padahal sudah bertahun-tahun berlalu. Namun orang itu tidak hilang juga dari ingatan dan juga hati Edelweis.
Edelweis memantau semua postingan di sana. Dia membaca setiap komentar, matanya akan menyipit kalau ada komentar dari perempuan di sana. Ditambah lagi komentarnya dianggap genit. Edelweis bahkan membuka profil perempuan tersebut. Dan melihat sejauh mana kedekatan mereka dari laman media sosial.
Di zaman digital seperti sekarang, Edelweis mudah menemukan orang dan juga kehidupan seseorang seperti apa di sana. Mungkin tidak akurat, tetapi mendekati iya. Dia bisa menilai seseorang dari media sosialnya, terutama bila itu perempuan.
"Jejak digital itu susah dimusnahkan," ucap Edelweis geram.
Dia sibuk mengamati postingan perempuan bernama Anisa itu. Edelweis bahkan mencari apakah ada foto Anisa dengan orang itu. Apakah orang itu juga bergenit genit ria dengan Anisa?
Kegiatan memata-matai alias stalking ini ternyata tidak sebentar. Edelweis bahkan mengabaikan perut yang sudah sedari tadi berteriak minta diisi.
"Kamu belum berangkat ke Kejari Del?" tanya seseorang.
Ketika Edelweis mendongak, nampak Awan berdiri di depannya dengan tatapan menyelidik.
Edelweis pura-pura tenang. Dia tersenyum manis. "Iya Pak, ini mau berangkat."
Ketika Awan mengintip monitornya, Edelweis bergeser untuk menutupi layarnya. Tentu dia memasang wajah senyum tanpa dosa. "Pak Awan gak makan siang?"
"Iya, ini mau ke kantin. Mau barengan?" Awan memberikan tawaran. Sekalian dia ingin membicarakan soal isu liputan yang ditolak lebih lanjut. Dia berharap Edelweis tidak melakukan kesalahan kedua kalinya.
Edelweis langsung memahami tujuan Awan. Sayangnya dia belum berminat untuk mendengar ceramah Awan. "Lain kali aja Pak. Aku harus ke Kejari kan?" Tanpa menunggu jawaban Awan, Edelweis menggamit tasnya melesat pergi.