Edelweis memarkir motornya. Dia mencopot helm dan merapikan rambutnya. Memang tidak wawancara secara live. Tetapi berpenampilan menarik, adalah salah satu kebiasannya. Edelwies melihat beberapa motor yang dia kenali. Rupanya kawan-kawan jurnalis sudah berkumpul semua.
Edelweis membawa ransel dan kameranya menuju gedung Kejaksaan Negeri. Dia melambai kepada teman-temannya.
“Del, besok ikutan liputan di Pemkot tidak? Ada peresmian jembatan di daerah Ranarana. Kalau ikut, berangkat bareng humas aja,” ajak Rio.
“Jam berapa besok?” tanya Edelweis.
“Biasalah, jam delapan sudah di sana.”
“Oke. Siap,” kata Edelweis. Dia memasukkan jadwal itu ke dalam agenda ponselnya. Seluruh kegiatannya sekarang tidak menggunakan buku. Semuanya pindah ke ponsel pintar, termasuk menulis berita.
“Siapa saja nanti yang hadir?” tanya Edelweis.
“Ada Wakapolres dan Kepala Kejaksaan yang penting,”jawab Rio.
“Siapa nama lengkapnya?”
Rio menyodorkan kertas di balik silicon ponsel pintarnya. “Baca sendiri. Panjang gelarnya.”
Edelweis sibuk menyalin nama dan gelar narasumber yang hadir ketika beberapa teman jurnalis menggodanya.
"Del, kamu makin cantik aja."
"Yakin masih jomblo, Del?”
Rio tertawa, Edelweis melemparkan senyum pada teman-teman lelaki yang menggodanya.
“Bentar ya, aku masih sibuk ini. Nanti kulayani,” sahut Edelweis.
Teman-teman lainnya malah sibuk bersiul-siul senang mendapat perhatian dari kembang desanya jurnalis Surabaya.
Setelah selesai menyalin, Edelweis berbalik dan mendekati para teman lelakinya. Dia menyalami mereka satu-satu.
“Duh disalami, tangannya halus bener,” celetuk seorang jurnalis bertebuh gemuk.
“Iya donk. Mau tanda tanganku juga?” kata Edelweis.
"Jangan tanda tangan donk Del. Sun sini dikit!" celetuk teman lainnya.
"Telepon kapolres Sendangwaras ya!" balas Edelweis.
"Wait. Duh, susah nih, kenal istri eke ternyata ges!" kata temannya tertawa malu.
Mereka semua tertawa. Edelweis juga. Dia sudah kebal dengan rayuan semacam itu. Tetapi teman-temannya hanya menggoda. Mereka tidak pernah melewati batas. Sebab sebagian besar, sudah memiliki istri. Yang masih single hanyalah dia dan Rio.
Mereka sering menjodohkan Rio dan Edelweis. Edelweis merasa nyaman berteman saja. Rio pun tahu, hati Edelweis sudah ada yang memiliki, dari lama. Susah untuknya menggeser orang itu.
Beberapa orang pegawai Kejari keluar dan menyiapkan tempat pembakaran. Mereka juga menggotong sejumlah barang-barang yang akan dibakar. Ada tong hitam untuk pembakaran. Ada juga blender untuk menghancurkan n*****a.
Narasumber penting yaitu Wakapolres dan Kepala Kejaksaan hadir di sana. Para jurnalis mulai menyiapkan peralatan tempurnya. Edelweis juga menyiapkan kameranya.
"Hari ini kami memusnahkan barang bukti ini senilai 387 juta rupiah. Pemusnahan tahun ini meningkat sekitar enam persen dibandingkan tahun lalu…"
Edelweis mengangguk-angguk. Kemudian dia menggeser kamera ke arah barang bukti berupa n*****a bahan kosmetik palsu, uang palsu, majalah p***o yang masih utuh. Kamera digeser lagi ke arah barang yang sedang dibakar.
Edelweis juga merekam sambutan dari kepala Kejaksaan.
“Kegiatan rutin Kejaksaan Negeri Surabaya yang merupakan Tindak Lanjut dari tugas Jaksa untuk mengeksekusi barang bukti terhadap perkara yang telah memperoleh kekuatan Hukum tetap,” kata Kepala Kejaksaan.
Edelweis tidak sendiri, ada beberapa jurnalis senior baik tv, koran, dan online ikut melakukan liputan tersebut. Mereka saling bergeser dan berhimpitan untuk mendapatkan angle yang tepat.
Setelah acara tersebut selesai, para jurnalis akan bergeser ke tempat salah satu wisata.
“Kau ikut nggak? Ke wisata lelang ikan?” tanya Rio.
“Nggak ah. Malas! Aku cabut aja. Balik kantor," kata Edelweis.
"Oke, besok jam delapan. Jangan telat!" Rio mengingatkan.
"Delapan enam!" sahut Edelweis.
Edelweis mengarahkan kemudi motornya menuju salah satu tempat makan favoritnya. Penyetan Surabaya. Dia melahap nasi hangat ditambah tempe penyet kesukaan dengan porsi dobel. Meski badannya bisa dibilang kurus, Edelweis bisa menghabiskan dua porsi. Dulu, orang itu sering mengejeknya. Semua makanan yang masuk terserap oleh otaknya. Karena itu badannya masih tetap kurus.
Teringat orang itu dan segala hal tentangnya membuat Edelweis tersenyum. Senyumnya langsung memudar ketika televisi yang ada di warung tersebut memuat berita lingkungan yang tercemar.
Edelweis cepat menghabiskan makannya. Dan langsung menelpon pimpinan redaksi.
"Pak, lihat tv 13. Harusnya itu liputanku," pinta Edelweis pada Awan.
Edelweis seketika menutup telepon, dia membayar makanan dan mengebut menuju kantor. Dia memarkir motornya di parkiran kantor. Dia berjalan cepat setengah berlari menuju kantor Awan. Dia mengetuk dan membuka. Awan sedang menonton berita itu dengan anteng.
Edelweis ingin sekali mengumpat. "Pak…"
Awan memotong perkataan Edelweis. "Tenanglah! Duduk!"
Edelweis mengacungkan tinjunya. Hih.
"Seharusnya anda tidak menolak ide liputanku dari kemarin - kemarin. Ini isu yang sangat penting. Pencemaran lingkungan oleh Pabrik Pelangi. Pabrik itu pasti kena tuntutan. Dan kita kehilangan momen itu," cerocos Edelweis tanpa jeda.
Awan hanya diam mendengarkan Edelweis berbicara. "Hmmm…"
Edelweis kesal, reaksi Awan hanya hmmm. Edelweis berpikir untuk memukul Awan. Barangkali Awan terlalu syok melihat berita itu muncul di televisi. Mungkin dia menyesal karena menolak ide liputannya.
"Pak Awan…" panggil Edelweis setengah berteriak.
"Edelweis," panggil Awan. Suaranya tenang, tapi terdengar di telinga Edelweis seperti air es yang menyiram kepalanya.
"Biarkan saja mereka. Kamu cari liputan lain yang tidak berhubungan dengan Pabrik Pelangi," ujar Awan kalem.
Edelweis melongo. Dia tidak menyangka Awan sangat keras kepala. Dia tidak mengerti, kalau iklan dari Pabrik Pelangi hilang, seharusnya media mereka mencari iklan lain. Tetapi Awan malah mempertahankan Pabrik Pelangi. Sebesar apa iklan yang diberikan Pabrik Pelangi pada kantornya?
"Nih…" Awan menyerahkan secarik kertas ke Edelweis.
Edelweis menerimanya walau enggan. "Apa ini?"
"Baca saja. Aku sudah rangkumin. Dan meskipun aku menolak, ternyata tindak tandukmu sudah ada yang melaporkan." Kali ini Awan berbicara dengan menatap Edelweis.
Edelweis merinding. Sepertinya akan terjadi hal yang gawat. Edelweis mengenal Awan, barangkali dia telah melakukan sesuatu yang berbahaya.
"Hati-hatilah. Tidak ada berita seharga nyawa." Awan mengisyaratkan agar Edelweis keluar dari ruangannya.
Edelweis menggenggam kertas itu dan beranjak keluar ruangan pimred. Dia kembali ke mejanya. Pikirannya kalut. Dia kembali ke meja kerjanya. Jantungnya berdegup kencang. Apakah ini surat peringatan kerja? Apakah ini? Edelweis mengeyahkan pikiran buruknya. Semuanya harus dihadapi. Dia membuka kertas itu.
Kertas itu bukan surat peringatan. Hanya berisi gambar. Dua gambar lingkaran diagram. Dia membaca diagram saham yang ada di sana. Ada nama yang sangat dia hapal. Karena merupakan pemilik perusahaan tempat dia bekerja, perusahaan yang membayar gajinya. Perusahaan tempatnya hidup.
Roro Kinanthi.
Dan yang lebih mencengangkan adalah Roro Kinanthi jugalah pemilik Pabrik Pelangi.
Edelweis termangu. Badannya lemas seketika.