"Edel, bangun! Cah perawan kok bangkong?" Teriak Syifa, kakak ipar tersayangnya. Dia menggoyang pelan tubuh Edelweis yang meringkuk di ranjang.
"Hmmm... Jam berapa Kak?" tanya Edelweis masih enggan membuka mata.
"Jam enam. Kakakmu lagi sarapan. Kamu juga sarapan sana!" Syifa membereskan buku-buku yang berserakan di meja. Dia menumpuk buku tersebut dan menaruhnya dengan rapi di meja.
"Amrita sudah ke sekolah Kak?" Edelweis bangun, merentangkkan kedua tangannya sambil menguap.
"Belum, masih mandi itu," jawab Syifa. Rambut masih basah, dan airnya menetes ke lantai.
"Wah, ada untungnya aku menginap di sini, nemenin Amrita. Malam yang panas pasti," goda Edelweis pada kakak iparnya.
Wajah Syifa berubah seperti tomat, merah sekali. "Makanya, kamu nikah sana! Biar tahu rasanya!"
Edelweis menggoda lagi. "Kalau mau begituan, nggak perlu nikah juga bisa. Asal ada partnernya!"
Syifa menjewer telinga Edelweis. "Anak nakal. Tidak boleh seperti itu. Dilarang agama!"
Edelweis mengaduh. Syifa memang selalu keras terkait s*x after merried. Sebagai penggerak Pkk, bagian bina remaja, Syifa selalu mengingatkan bahayanya free s*x pada remaja.
"Mama, seragamku mana?" tanya Amrita di ambang pintu. Handuk terlilit di badannya.
Syifa melirik pada Edelweis. "Awas ya!" gumam Syifa pelan, namun Edelweis mendengarnya.
"Bercanda Kak!" Edelweis mencari alasan.Dia tersenyum.
Syifa membuka lemari kayu dua pintu. Dia mengeluarkan seragam Amrita yang telah disetrika dan digantung itu. Seragam merah putih segera dipakai Amrita. Dia duduk manis ketika ibunya menata rambutnya. Menyisir rambut panjangnya dan mengepangnya.
"Dih, gaya gadis desa. Kepang dua," ledek Edelweis.
"Ah tante rese! Tante, nanti malam nginep sini lagi ya! Amrita punya teman tidur," seru Amrita.
"Sebentar lagi, kamu ada temennya," kata Edelweis. "Bentar lagi, mamamu punya adek."
Syifa melotot pada Edelweis yang tertawa.
Bocah tujuh tahun itu memekik girang. "Benar, Ma? Aku mau punya adek?"
Syifa mengehela napas. "Amrita berdoa ya, minta sama Allah semoga segera dikasih adek."
Amrita itu dengan senang hati mengangguk-angguk.
Syifa melempar handuk ke muka Edelweis. "Mandi sana! Nggak kerja kamu?"
Edelweis menyingkrikan handuk itu dari wajahnya dan menyampirkannya ke bahu. "Aku ada liputan advetorial nih, di jembatan Ranarana."
"Jembatan baru itu?"
"Iyah, jembatan dengan cat warna warni," kata Edelweis. Dia berjalan menuju kamar mandi.
***
Galih sudah ada di meja makan sejak tadi. Dia membaca media sosial grup kantornya. Beberapa perubahan rencana atasnya dilaporkan di grup itu. Jadi sembari menunggu tiga bidadari yang tak kunjung ke ruang makan, Galih lebih memilih memantau grup tersebut.
Syifa dan Amrita duduk di meja makan. Syifa mengambilkan nasi dan lauk ayam goreng di piring. Piring itu kemudian disodorkan ke Amrita. "Ayah juga?"
"Boleh!" Jawan Galih.
Syifa pun mengambilkan makanan untuk Galih, baru untuk dirinya sendiri.
Edelweis keluar kamar Amrita sudah dengan setelan resmi. Kali ini dia memakai celana panjang dan balzeer ungu. Rambutnya dikuncir kuda. Dia juga hanya memakai riasan tipis, namun tetap menawan.
Galih menyalakan televisi. Tv 13 masih menayangkan berita tentang Pabrik Pelangi. Kali ini sumber air penduduk tidak bisa digunakan. Sumber air mereka telah tercemar. Mereka melakukan demo, namun tidak ada satupun karyawan pabrik yang mau menghadapi mereka.
Edel sedang minum saat berita itu muncul. Mendadak nafsu makannya hilang. Di sini, dia bisa makan dan minum dengan enak dan nyaman. Sedangkan mereka? Hati Edelweis mulai tidak enak. Kadang dia merasa bersalah atas hal yang tidak dia lakukan.
"Makanannya nggak enak?" Sindir Galih melihat Edelweis hanya mengaduk aduk piringnya sedari tadi.
Edelweis berdecak. "Matikan televisinya," pintanya.
Syifa segera mematikan televisi. Dia tidak memahami Edelweis begitu terganggu dengan siaran berita tadi.
Galih hanya menatap adik manjanya. Sifatnya yang mudah berempati pada orang lain kadang membuat Galih kesal. Karena Galih tahu, sifat itu sering membuat Edelweis kesulitan sendiri.
"Sudah makan sana. Nanti terlambat," suruh Galih. Dia sebenarnya ingin menanyakan perasaan Edelweis. Tetapi Edelweis selalu menutup diri.
"Kamu nggak liputan Pabrik Pelangi?"
Pertanyaan Galih seperti menancapkan pisau di tangan Edelweis. Edelweis meletakkan sendoknya. Kini bibirnya mengerucut. "Susah! Dia yang punya perusahaanku."
Reaksi tak terduga muncul dari kakaknya. "Kinanthi?"
Syifa menengok ke suaminya. "Kamu kenal Yah"
Galih tersenyum gugup. "Dia teman satu angkatan dulu. Cerdas dan keren. Banyak yang naksir."
"Kamu juga, Yah?" Tanya Syifa penasaran.
"Enggak donk," jawab Galih memahami mau di mana arah pembicaraan ini. "Aku naksirnya sama kamu, Mah."
"Yaelah gombal," ledek Edelweis.
Syifa tidak termakan umpan itu. "Cantik ya Yah?"
"Banget. Hidungnya mancung. Bisa selancar di sana rasanya."
Melihat suaminya memuji orang lain, Syifa cemberut. Sedangkan Edelweis berdeham berulang kali. Berharap kakak segera sadar dari halusinasinya.
"Tetapi bagaimanapun, cantikkan istriku!" Puji Galih.
Syifa tertawa malu. "Gombal!"
Galih merasa telah melakukan hal yang benar. Dia takut kalau istrinya marah, wah bisa-bisa dia hanya makan ikan asin seminggu.
"Kamu nggak cari pacar Del? Nggak ada yang ganteng itu para jurnalis?" tanya Galih.
"Udah pada bangkotan semua," jawab Edelweis malas.
"Si Rio juga?" pancing Syifa.
Edelweis menoleh. "Rio kan masih sepupu jauh."
"Kalau bukan sepupu, naksir nggak?" tanya Syifa memberi kedipan mata pada suaminya.
"Nggak!" Jawan Edelweis tegas.
"Dia cuma cinta mati sama Indra!" ledek Galih.
Edelweis melototi Galih. "Nggak usah sebut nama ya!"
Galih dan Syifa tertawa. Mereka berhasil mengalihkan perhatian Edelweis dari berita pencemaran tersebut. Terkadang Edelweis lupa bagaimana harus mengrontol perasaannya. Apalagi pekerjaannya sekarang ini tanggung jawabnya berat. Ditambah kadang harus berurusan dengan para politikus.
Galih sudah pernah meminta Edelweis berhenti. Tetapi seperti yang bisa diprediksi, Edelweis menolak. Dia menyukai pekerjaannya.
"Yah, ayo berangkat. Sudah setengah tujuh, nanti Amrita telat!" Rengek Amrita.
"Siap tuan putri!" jawab Galih.
Amrita masuk ke kamar mengambil tasnya. Galih juga bersiap untuk berangkat. Dia memeriksa tas dan ponselnya. Setelah semua siap, Amrita dan Galih pun pamit.
"Kamu kok nggak ikut Mas Galih, Del?" tanya Syifa ketika Galih dan Amrita sudah pergi.
"Enggak Mbak, enakan naik motor. Lagian nanti bareng orang humas kok," jawab Edelweis.
"Duh udah dandan cantik begini kok naik motor. Beli mobil sana! Atau kredit dulu lah!" Saran Syifa.
Edelweis tersenyum masam. Entah sudah berapa kali Syifa menyinggung soal mobil. Namun Edelweis memang enggan beli mobil. Dia tidak mau hidupnya tambah kacau karena memikirkan hutang.
"Nanti ajalah Mbak, belum butuh mobil," jawab Edelweis. Bagaimanapun Edelweis berusaha menjawa sopan. Dia tahu kakak iparnya ini memang hidup beruntung. Lupa kalau nggak semua orang beruntung dia.
"Aku berangkat, Mbak!" Edelweis berpamitan.
Syifa melambaikan tangan. "Hati-hati ya!"
***
Edelweis sampai tepat waktu. Mobil humas nyaris berangkat. Dia berlari tergopoh-gopoh menyusul ke tempat parkir mobil. Parkir motor dan mobil jaraknya agak jauh. Ada beberapa panggilan tak terjawab dari Rio. Mengatakan bahwa keberangkatan humas dipercepat.
"Uh ah," Edelweis mengatur napasnya.
Rio memberikan sebotol minuman. "Minumnya pelan-pelan," bujuk Rio.
Edelweis mengangguk dan meminum air it.
Staff Humas Pemkot Surabaya menyuruh semua jurnalis untuk masuk ke mobil. Karena mereka akan segera berangkat.
"Duh, jantungku nyaris copot, waktu sekpri telepon kita harus berangkat lebih dulu!" ujar staff 1 humas, Yuanita
"Memangnya kenapa dipercepat Mbak?" tanya Edelweis.
"Itu Walikota ada rapat dengan pemilik pabrik pelangi, terkait lumpur. Jadi acara peresmian dimajukan," kata Yuanita menjelaskan.
"Ada tenaga ahli juga nggak mbak?" tanya Rio.
"Ada, nanti dari Dinas Lingkungan Hidup juga, dan beberapa tenaga ahli dari pabrik itu juga hadir."
"Wah menarik ini! Ayo ikut Del," ajak Rio dengan mata berbinar-binar.
Edelweis hanya tersenyum masam. Bagaimanapun dia tidak mungkin bisa menanyangkan berita terkait pencemaran lingkungan tersebut. Bukan hanya beritanya yang dicekal, tetapi pekerjaannya sebagai jurnalis juga bisa dicopot.
Ketika sudah sampai di lokasi jembatan Ranarana. Banyak stakeholder yang hadir dan juga masyarakat memenuhi sekitar area lokasi. Di tengah jembatan terdapat pita yang terhubung sebagai simbolis untuk peresmian.
Edelweis membka note kecil, dan ponselnya. Dia mencari data pembangunan jembatan rana-rana. Dia mencatatnya dalam note tersebut. Hal ini dia lakukan agar tidak ada yang tertinggal. Dia juga menyiapkan pertanyaan-pertanyaan kecil untuk narasumber nanti.
Biasanya dalam acara peresmian seperti ini ada tamu istimewa dari pusat yang datang. Namun karena bentrokan jadwal, hari ini hanya diresmikan oleh Walikota saja.
Walikota Surabaya, seorang lelaki muda dan belum menikah. Karena statusnya masih single, dia sering mendapatkan banyak gosip di luar kantor. Tetapi kinerja yang baik selalu menepis gosip murahan tersebut.
Walikota turun dari mobil, dibukkan pintu oleh ajudannya. Dia melambaikan tangan pada semua yang hadir. Kemudian berjalan menuju panggung. Dalam perjalanan menuju panggng itu, Edgar Madhava, sang walikota dilempari keopak bunga sebagai penyambutan.
Edelweis dan beberapa jurnalis maju untuk mengambil fotonya. Mereka memang lebih banyak mengambil foto, agar bisa dipilih mana yang bagus dan layak untuk ditayangkan. Sedangkan Edelweis sebagai jurnalis tv, merekam.
Edgar Madhava memang memesona, Para ibu pkk semuanya histeris begitu walikota melambai pada mereka. Ada juga ibu pkk yang meminta foto dengan walikota. Ajudannya berusaha melarang dan mendorong para ibu untuk mundur.
Tapi mana mungkin melawan emak-emak tersebut. Jumlah mereka kelewat banyak.
Walikota pun dengan senyumnya, mau meladeni mereka sebentar. Lalu dia meminta ibu-ibu tenang. Karena acara akan segera dimulai.
Seperti acara formal lainnya, ada penyambutan dari desa sampai tingkat kecamatan dan juga walikota sendiri. Baru dilakukan pemotongan pita.
Edelweis dan beberapa jurnalis berpencar mencari tempat teduh. Mereka sudah terlalu banyak mengikuti acara seremonial ini, jadi sudah hapal isi pidatonya. Rio dan Edelweis berteduh di bawah pohon keres. Rio mengecek foto-foto yang dia ambil.
"Kamu nggak ngerekam, Walikota pidato Del?"
"Nanti, giliran dia pasti belakangan."
"Ngomong-ngomong, apa ya kurangnya walikota. Tajir, berkuasa, ganteng, tapi kok belum menikah?" celetuk Rio.
"Mana kutahu."
"Coba deketin aja Del, siapa tahu nyantol." Rio menyarankan.
Edelweis menggeleng-gelengkan kepalanya. "Kamu sendiri masih jomblo gitu! Sama kamu aja lah!" Edelweis balik menggoda.
"Maaf, kita sedarah," sahut Rio cepat tanpa ragu.
"Sialan! Udah tahu!"
Mereka tertawa-tawa. Sampai akhirnya Edelweis mendengar pembawa acara memanggil walikota untuk memberikan sambutan. Edelweis segera berlari mendekati panggung. Dia mencari tempat yang nyaman dan dia bisa mengambil gambar walikota dengan bagus. Dia berdiri tepat di depan panggung. Di antara dua shaf kursi. Jadi dia bisa berdiri tanpa harus peserta yang duduk.
Edelweis mengatur kameranya dan merekam walikota yang sedang bicara.
Walikota memberikan sambutan bahwa dia senang dengan adanya jembatan ini bisa berguna untuk masyarakat. Dan dia berharap masyarakat juga ikut menjaga pemeliharaan jembatan dengan tidak merusak atau mencoret-coret jembatan.
Dia berharap ke depannya jembatan ini bisa menjadilokasi wisata yang mampu memutar roda ekonomi di daerah Ranarana.
Setelah selesai berpidato. Walikota segera turun dari panggung. Di bawah panggung itu, ibu-ibu melesak maju, meskipun ajudan sudah melarang. Sepertinya wajah tampan Walikota memang membius ibu-ibu itu.
Edelweis terdorong ke depan. Dia buru-buru mengamankan kamera ke dalam tas di bahunya. Namun dorongan dari ibu-ibu begitu kuat.
Edelweis tersandung kabel-kabel mic yang ditaruh sembarangan. Dia terdorong dan jatuh.
Edelweis tidak jatuh ke tanah, namun ke pelukan Walikota Edgar Madhava.
Edgar Madhava terdiam, tangannya terentang. Dia tidak berani bergerak sebab seluruh mata memandang mereka berdua.
Gerakan ibu-ibu itupun terhenti. Mereka bingung dengan kejadian tersebut.
"Kamu nggak apa Mbak?" tanya Edgar.
Edelweis sadar dari bengongnya. Dia mengangguk dan melanghkah mundur. Dia tidak berani menatap wajah Walikota. Semua orang di sana pun terdiam canggung dengan kecelakaan tak disengaja itu.
Ajudan membukakan jalan pada Walikota untuk meninggalkan tempat tersebut. Mereka nampak sekali menahan tawa.
Uh, Edelweis ingin tenggelam dalam samudra hindia menahan malu.
Edgar Madhava bertanya pada ajudannya.
"Siapa nama wartawan tadi?"
Cengiran lebar di wajah ajudan tersebut. "Edelweis Pak. Wartawan Tv lokal."
Walikota itu hanya tersenyum tipis, dia menghapal nama Edelweis dan tempatnya bekerja.