Buzzer

1042 Kata
"Pertanyaan terakhir, Pak," kata Edelweis.  "Bukannya kamera sudah dimatikan?" tanya Walikota sadar, bahwa lampu kamera sudah mati.  Dia sangat pintar, batin Edelweis. "Pertanyaan sedikit pribadi, Pak," kata Edelweis. Wali kota itu tertawa renyah. Gigi putihnya menampilkan senyum yang mampu mencairkan kutup utara. Ditambah lagi, lesung pipinya, Edelweis ingin mencoleknya sedikit saja.  "Kamu kok aneh sekali, Mbak Edelweis," kata  Edgar. Dia menggunakan kata 'kamu', mengisyaratkan mereka tidak dalam suasana bisnis. "Aneh gimana Pak?" tanya Edelweis. Sepertinya dia mengalami penurunan indra, setiap berdekatan dengan lelaki ini.  Sedangkan Hanif berpura-pura sibuk dengan kameranya.  "Dari tadi, kita sedang melakukan wawancara pribadi. Apa yang lebih pribadi?" sindir Edgar tersenyum. Edelweis ingin sekali menjitak kepalanya sendiri. Tetapi urung dilakukan, dia akan lebih malu bila menambahkan daftar tindakan konyol yang dilakukannya.  "Apa pertanyaannya? Apakah kau ingin, aku jadi teman makan malammu hari ini?" tanya Edgar menggoda.  Edelweis sadar, apa yang dikatakan pimrednya benar. Lelaki ini mengincarnya. Duh! "Bukan itu Pak. Saya ingin tanya, apakah memiliki fans fanatik yang menganggu kehidupan Bapak?" tanya Edelweis berusaha menjaga intonasi bicaranya.  Edgar Madhava nampak berpikir. Meskipun dahinya berkerut, hal itu tidak mengurangi pancaran pesonanya. Dia menoleh pada Edelweis.  "Sepertinya tidak. Pesonaku hanya berlaku pada ibu-ibu. Wanita muda cantik dan cerdas seperti Mbak Edel tidak akan tertarik," kata Edgar. "Bapak merendah. Tentu saja tidak begitu, Pak," kata Edelweis spontan. "Berarti mau ya, untuk nanti malam kita makan berdua," kata Edgar. Edelweis sudah masuk jebakan lelaki ini. Sial, umpatnya dalam hati. *** Hanif menggoda Edelweis sejak keluar dari ruangan wali kota. Sepanjang jalan, Edelweis harus menyumpal telinganya dengan headset. Hanif tidak melewatkan sedikitpun kesempatan untuk menggoda Edelweis.  "Del, nanti kalau sudah resmi jadi ibu wali kota, aku dimasukkan dalam tim humas juga mau. Aku rekan terpercaya Del. Bisa diandalkan," rayu Hanif.  Edelweis menyuruh Hanif berhenti. Lagipula mereka hanya makan malam. Kenapa Hanif malah sudah berandai-andai dia akan menikah dan menjadi istri Walikota Edgar Madhava?  "Sudahlah, Nif. Akus udah muak dengan ocehanmu. Jadi tolong hentikan itu," pinta Edeleweis.  "Baik, baik," kata Hanif mengangkat kedua tangannya.  "Lagian ngapain sih tuh walikota minta profilnya pribadinya dimuat secara eksklusif? Dia kan punya chanel sendiri," gerut Edelweis. "Sekalian akrab sama penyiarnya," jawab Hanif.  Edelweis melempar botol kosong kepada Hanif yang duduk di depan. Sopir hanya tertawa melihat mereka.  "Mbak Edel dan Mas Hanif ini lho kayak kucing tikus, kalau ketemu berantem mulu, awas jatuh cinta lho," sindir sopir.  "Idih, amit-amit, istri saya jauh lebih cantik dari dia, Pak," bantah Hanif.  "Saya juga anti sama suami orang Pak," kata Edelwesi jengkel.  "Cuma bercanda Non, jangan dilempar botol juga ya," kata sopir. "Dia memang pemarah Pak. Makanya jomblo terus," ejek Hanif.  Edelweis memutuskan membuka ponselnya daripada jadi bahan ledekan terus menerus. Dia bahkan tidak sadar kalau mobils udah masuk ke dalam parkir kantornya. Mereka berdua langsung bergegas menuju kantor pimred melaporkan hasil wawancara pada Awan.  "Bagaimana?" tanya Awan tanpa basa basi sperti baisanya.  Edelweis diam, dia melirik pada Hanif. Hanif mengangkat bahunya.  "Hei, apakah kalian berdua mendadak bisu atau kena penyakit lain?" ejek Awan. Hanif menunjuk Edelweis. "Dia dapat undangan makan malam secara pribadi dengan wali kota," kata Hanif. Dia bahkan menekankan kata makan malam pribadi.  Awan terkikik. "Wah, kau benar sudah diincar ya Edelweis." Edelweis merengut. "Tidak lucu Pak." "Bagaimana menurutmu, dia orang seperti apa, wali kota kita itu?" tanya Awan. Dia duduk bersadar pada kursi dengan nyaman.  "Dia cukup menarik. Semua pertanyaan dijawab dengan sedikit serius tetapi juga santai. Hanya saja, kita tahu pejabat publik selalu bersikap dua muka kan?" tanya Edelweis. Hanif tertawa. Awan menyipitkan dahi. "Hati-hati, jaga bicaramu.Pejabat publik bisa menyulitkanmu kalau mendengar perkataanmu." "Yah, untung saja dia bisa menahan diri untuk tidak mengatai Edgar," kata Hanif tertawa. Edelweis memutar bola matanya. "Aku tidak terlalu suka dia. Dia terlalu ehmm apa ya, membuatku tak nyaman. Dia terlihat baik, tetapi aku tidak bisa membaca niatnya. Seperti itulah, kalian mengerti kan?" kata Edelweis. "Memangnya kita beneran perlu menayangkan profil dia secara pribadi nih Awan, kau serius?" tanya Hanif, mengabaikan Edelweis yang cemas. "Lakukan saja, jangan banyak tanya. Gajimu taruhannya," kata Awan menutup diskusi mereka.  Hanif mendengus lagi. "Memangnya bisa cuma kita berdua, perlu banyak tim untuk meredam kasus itu." "Bagianmu adalah membuat berita beruntungnya kota ini memiliki walikota yang ganteng. Soal tim, mereka punya buzer. Jangan khawatir," jawab Awan. Edelweis mengangkat kedua alisnya. "Apa itu buzzer? alat komunikasi baru?" Hanif menahan tawa. Awan melototi Edelweis. "Apakah kau menggunakan media sosial, Del?" tanya Awan. "Iya pakai," jawab Edelweis. "Sesering apa sampai tidak tahu buzzer?" tanya Awan dengan heran. "Kalau anda tidak mau memberi tahu, saya akan mencari tahunya sendiri." "Kelamaan. Kasih tahu dia Hanif," perintah Awan.  "Hmm, begini, kau tahu artis kan? Kenapa artis sering main iklan?" "Untuk dikenal masyarakat tentunya. Kalau buzer ini tujuannya?" tanya Edelweis. "Nah mirip dengan artis, buzzer ini memiliki kemampuan untuk memengaruhi orang. Namun tujuannya tidak hanya satu. Tergantung pesanan. Dia bisa sebagai alat untuk memecah belah, mengkonfrontasi, mempromosikan, apa saja. Yang jelas gerakan mereka sangat masif, ditambah buzzer ini pasti memiliki pengikut yang setia juga," kata Hanif. "Sebentar, jadi buzzer ini orang yang dibayar? seperti artis begitu?" "Benar. Tetapi bukan orang, lebih tepatnya akun media sosial. Dia bergerak lewat media sosial," kata Hanif. "Berarti sasarannya hanya orang muda yang menggunakan media sosial saja? Bukannya anak muda pasti akan mempertanyakan sesuatu ya?"  "Hmm, tidak juga, buzzer juga bisa menyusup ke aplikasi pesan seperti wasap menyebarkan ke grup-grup, dan pesan berantai itupun sampai ke mana saja. Kepada orangtua juga." "Apa iya, mereka percaya pada pesan berantai seperti itu? Kan tidak jelas siapa pengirimnya," tegas Edelweis. Hanif terkekeh. "Duh polosnya anak ini. Tentu saja di bawah pesan sumbernya. Dari sebuah ajaran agama, dari tokoh nasional, atau dari link sebuah berita. Atau kalau perlu disebutkan penelitian jurnal mana gitu untuk artikel kesehatan," kata Hanif.  "Gila, trus dampaknya?"  "Yah, masyarakat tentu akan tergerak mengikuti infomasi yang disebar oleh buzzer -buzzer ini. Mereka bergerak sangat masif, menggunakan banyak media dan akun, mereka berhasil menyusupi banyak celah. Tentu saja kecepatan mereka mengalahkan gosip tetangga," kata Hanif lagi.  Edelweis mendengus geli. "Kenapa bandingannya dengan gosip tetangga sih?"  "Yah karena nyaris sama cepatnya. Lebih cepat malah, dan lebih luas sasarannya. Kalau tetangga paling ya sekitar satu kampung saja. Kalau buzzer, sasaran mereka bisa satu kota atau satu negara," kata Hanif.  "Gila, serius bisa begitu?" tanya Edelweis tidak yakin. "Nggak percaya. Berani taruhan?" tantang Hanif.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN