Cuplikan Cerita Sebelumnya.
Edelweis mendengus geli. "Kenapa bandingannya dengan gosip tetangga sih?"
"Yah karena nyaris sama cepatnya. Lebih cepat malah, dan lebih luas sasarannya. Kalau tetangga paling ya sekitar satu kampung saja. Kalau buzzer, sasaran mereka bisa satu kota atau satu negara," kata Hanif.
"Gila, serius bisa begitu?" tanya Edelweis tidak yakin.
"Nggak percaya. Berani taruhan?" tantang Hanif..
***
Edelweis sedang asyik menulis laporan berita lain ketika sebuah pesan tak diinginkan masuk ke ponselnya. Pesan yang membuat hatinya kacau, seperti balon yang meletus.
Kita ketemu nanti pukul 11. Di rumah dinas. Walikota.
Pesan singkat itu membuat Edelweis merasa geli mendapat pesan itu. Gila, gila, gila!
Dia berdiri dan melongok kek kubikel sebelahnya. "Pak, Hanif di mana?"
Editor itu sedang mengedit beberapa video menjawab tanpa mengalihkan pandangannya dari layar komputer. "Nggak tahu. Makan siang mungkin."
Edelweis melihat jam tangannya. Masih pukul 10 lewat beberapa menit. Mana mungkin jam segini Hanif makan siang? Makan pagi mungkin. Kadang dia heran dengan seniornya satu itu. Punya istri tetapi sarapan setiap hari di kantin kantor. Aneh...
Makan siang. Dan sekarang Edeleweis punya undangan makan siang dengan Bapak Pejabat secara pribadi. Apa dia membuat alasan untuk tidak datang ya. Dia takut kalau ada gosip yang beredar di kalangan jurnalis nantinya.
Ponsel Edelweis bergetar lagi. Kali ini pesan dari salah satu seksi humas kota, Yuanita.
Mbak Edel, ini Bapak minta dijadwalkan makan siang sama Mbak Edel. Ke sini jam 11 ya Mbak. Ndak boleh telat.
Sepertinya kali ini Edelweis tidak bisa kabur lagi. Dia harus menyiapkan diri.
Mata Edelweis menangkap sosok Hanif yang berjalan masuk ke ruangan.
"Hanif," panggil Edelweis. Dia memiliki ide untuk menyeret Hanif ikut makan siang dengan Walikota.
"Apa Del? Kangen ya?" goda Hanif.
Edelweis menatap jijik pada Hanif dan rekasi Hanif malah tertawa.
"Inget istri di rumah," sindir Edelweis pada Hanif.
"Inget selalu donk," bantah Hanif. "Cuma suka godain orang jomblo aja."
Edelweis ingin menjitak Hanif, sekali saja.
Hanif menggeret kursi untuk duduk di dekat kubikel Edelweis. "Kenapa?" tanyanya dengan mode serius.
"Aku diundang makan siang sama Walikota di rumah dinas. Kamu ikut ya!"
"Enaknya, makan gratis. Di Rumdin lagi, menunya enak-enak," celetuk editor yang duduk di samping Edelweis.
"Makanannya sih enak, suasananya nggak nyaman," kata Edelweis merajuk.
"Hmm gimana ya," kata Hanif sambil berpikir.
"Ayo donk, nanti kan kalau ada jurnalis lain yang tahu, dikiranya liputan biasa aja. Kalau cuma aku? Yah berabe nanti," rengek Edelweis.
Hanif malah melempar tanya pada Editor. "Gimana, Pak?"
Editor itu hanya terkekeh.
Edelweis mencubit tangan Hanif. "Serius donk, nasibku diujung tanduk."
Hanif terkekeh lagi. "Aku sih mau aja, tapi apa boleh?"
"Kutanyakan Mbak Yuanita deh," kata Edelweis. Dia meraih ponsel di meja dan mengirim pesan pada humas itu. Beberapa menit kemudian dijawab cepat. Edelweis tersenyum membaca balasan pesannya.
"Boleh tuh," kata Edelweis senang.
"Oke deh."
***
Edelweis dan Hanif memarkir motor di depan rumah dinas walikota. Mereka masuk lewat garasi mobil menuju ke dalam rumah. Sebab bagian depan adalah ruang tamu yang digunakan menerima tamu penting. Edelweis selalu suka berada di rumah ini.
Rumah ini masih menggunakan desain rumah peninggalan zaman Belanda dulu. Rumah dengan ciri khas berukuran besar. Edelweis kagum para walikota masih mempertahankan bentuk rumah dinas ini, hanya interriornya yang diganti saja.
Selain itu bentuk jendela dan pintu yang berukuran besar dan tinggi juga masih terjaga. Para walikota sangat mernhargai peninggalan sejarah dan tidak tergiur untuk mengubahnya.
"Del," panggil Hanif. "Ayo cepat. Jangan melamun di situ."
Edelweis menyeringai malu. Dia ternyata masih berdiri di dekat pint garasi sedangkan Hanif sudah diujung menuju tempat makan. Edelweis mempercepat langkahnya menyusul Hanif
Yuanita mencekal tangan Edelweis untuk mengikutinya. Edelweis bertanya-tanya.
"Moodnya Walikota buruk. Kamu hati-hati bicaranya," kata Yuanita memperingatkan.
"Eh, kenapa?" tanya Edelweis.
"Dia maunya cuma berdua saja denganmu. Tetapi banyak mata yang mengawasi di sini, nanti jadi gosip tak enak. Makanya pas kamu tanya boleh bawa teman atau tidak, kami memutuskan lebih baik begitu," kata Yuanita. "Selain itu kamu pasti nggak nyaman."
"Mbak, kamu baik banget deh. Aku traktir es krim ya?" puji Edelweis.
Yuanita tersenyum. "Pergi sana. Bapak Edgar sudah menunggu dari tadi," kata Yuanita mendorong Edelweis menuju ruang makan.
Saat menginjak ruang makan, Hanis sudah mengobrol ringan dengan Walikota. Di meja mereka hanya tersaji camilan ringan dan minuman. Makanan utamnya masih disimpan. Mereka duduk di meja, dengan empat kursi. Keduanya duduk saling berhadapan.
"Mbak Edelweis sudah datang," kata Edgar senang. Dia memeprislahkan Edelweis duduk.
Edelweis memilih duduk di sebelah Hanif. Edelweis bisa melihat reaksi Edgar yang sedikit mengernyitkan dahi, hanya sebentar.
"Mbak Edelweis, katanya suka rumah ini ya?" tanya Edgar.
"Rumahnya cantik Pak," kata Edelweis. "Adem di sini."
"Iya, memang. Aku juga tidak ada niat untuk mengubahnya. Biar jadi saksi sejarah bat generasi penerus. Bahwa dulu Belanda pernah ada di sini," kata Edgar.
"Buat syuting juga bagus," celetuk Hanif.
"Kala syuting di sini, tentu harus menonjolkan kebaikan dari kota ini, dan walikotanya," balas Edgar.
Edelweis terkikik. Walikota adalah orang yang tak akan menyiakan kesempatan apapun untuk menaikkan citranya.
"Mbak Edelweis, nggak ada yang ganggu kan?" tanya Edgar.
"Ehmm, nggak ada tuh Pak," jawab Edelweis bingung, apa maksudnya dari pertanyaan walikota.
"Berarti memang, fans saya hanya ibu-ibu. Bagaimanapun gantengnya saya atau lelaki lain, suami tetap yang di hati," kata Walikota bercanda.
Hanif menjawab. "Istri saya juga fansnya bapak. Pasti teriak-teriak di depan televisi kalau ada berita tentang bapak."
"Oh ya? Sudah pernah foto dengan saya belum?"
Hanif menyeringai. "Belum Pak."
"Lain kali foto sama saya. Mumpung saya masih jadi walikota," ujar Edgar tertawa.
"Memangnya hanya satu periode Pak?" sindir Edelweis. Dia mendengar rumor, kalau Edgar akan maju di putaran kedua pemilu tiga tahun mendatang.
"Menurut Mbak Edel, baiknya gimana?" tanya Edgar.
"Yaterserah bapak dan tim saja."
"Mbak Edel nggak mau jadi tim sukses saya?"
"Pemilunya masih lama Pak."
Hanif beranjak dari kursinya. Dia memilih untuk sibuk mengambil makanan dan membiarkan Edelweis berdua dengan Walikota. Sebagai lelaki, dia bisa menangkap sinyal Edgar menyuruhnya pergi. Hanif tertawa dalam hati, Edelweis pasti sedang gugup sekarang.
Dugaan Hanif tepatm, begitu Hanif menyingkir, Edelweis kebingungan mau bertanya apa. Otaknya seakan membeku di hadapan Edgar Madhava.
"Tim sukses dalam hidup saya," kata Edgar melanjutkan obrolan tadi.
Edelweis bingung harus menjawab apa.