Empati

1047 Kata
Edgar mempersilahkan Edelweis untuk mengambil makanan. Dia tidak menyangka, Edelweis sangat canggung dengannya. Padahal dia berusaha membuat suasana sesantai mungkin. Apa karena pertemuan mereka dilakukan di rumah dinas?  Edgar mencatat dalam ingatan, dia harus mengajak Edelweis untuk makan di luar tugas sebagai walikota.  Edelweis merasakan punggungnya hangat ditatap oleh Edgar. Dia mengabaikan hal itu, dan berlama-lama memilih makanan. Sampai Hanif tambah dua kali, Edelweis masih saja berkeliling meja prasmanan itu.  "Memangnya kamu bakal kenyang, kalau tuh makanan hanya dipelototin terus?" sindir Hanfi. "Abis ini kita pulang saja ya," pinta Edelweis. "Mumpung di sini, masukin lagi cerita tentang kehidupan pribadi walikota. Sambil menyelam minum air," kata Hanif. Setelah berkata demikian Hanif menyingkir untuk merokok. Edelweis ingin sekali mencincang Hanif.  Edgar akhirnya berdiri di sebelah Edelweeis, dan mengambilkan daging lapis juga mie goreng.  "Makan yang banyak," kata Edgar.  Dia sendiri memilih menu nasi dan asam-asam daging.  Edelweis cuma tersenyum dan segera mengambil nasi. Semua rasa makanan ini dimulutnya terasa kurang enak, sebab dia tak nyaman. Dia makan dengan cepat, tidak peduli tatapan beberapa pelayan yang menatapnya heran.  "Pelan-pelan saja, tidak akan ada yang mengambil makananmu," kata Edgar. Tidak! Jangan duduk di situ! Pikir Edelweis. Namun Edgar tidak membaca pesan tersirat dari sorot maya Edelweis. Dia duduk dengan nyaman di depan Edelweis. Menikmati makanannya dengan rapi.  Edelweis mengumpat pada Hanif yang tidak kunjung kembali ke ruang makan.  Jadi dia harus bersabar dan beradaptasi dengan situasi tersebut. Edgar sudah selesai makan, dan masih tetap duduk di sana. Dia memandnag Edelweis dengan rasa ketertarikan yang tidak dia tutupi. "Mbak Edelweis, sudah lama jadi jurnalis?" tanya Edgar. "Belum satu tahun, Pak," jawab Edelweis. "Kenapa memilih jadi jurnalis? Dan bukan pekerjaan lain?" Edelweis meletakkan garpunya. Dia mengelap mulut dengan tisu, dan meminum es teh.  "Kenapa Bapak ingin tahu?" tanya Edelweis balik. Edgar tersenyum geli. Edelweis selalu melihat senyum sopan di setiap acara dan foto. Kali ini senyum lelaki ini nampak yang berbeda. Apakah karena dia selalu memanggil Edelweis dengan kata 'kamu'?  "Hanya obrolan ringan saja, ingin tahu tentang Mbak Edelweis secara pribadi. Tidak boleh? Mbak Edel punya pacar?"  Pertanyaan beruntun itu membuat Edelweis menaikkan alisnya tinggi.  "Pak Edgar, saya merasa tidak nyaman dengan pertanyaan pribadi pada saya," kata Edelweis. "Kenapa tidak? Saya single, Mbak Edel juga. Tidak ada yang salah," tangkis Edgar. Edelweis kesal. Lelaki selalu pintar mnjawab.  "Saya ingin menadi temanm, Edelweis, tolong bersikap lebih santai." Edelweis mendengus. "Kalau Bapak ingin bersikap santai, bukan begini caranya. Mengundang saya ke rumah dinas untuk makan siang." "Lalu bagaimana?" tanya Edgar emmancing jawaban.  "Kita bertemu di luar kantor, dan anda tidak menggunakan kekuasaan anda untuk memaksa saya datang. Mau atau tidak bertemu dengan bapak, semuanya terserah saya." Edelweis mengira lelaki itu akan marah karena kelancangan Edelweis mengajaknya kencan di luar jam kerja. Tunggu, ajakan tadi bukan berarti kencan kan? Dia berasalan ajakan ketemu di luar karena dia tidak suka dilihati para asisten dan juga ajudan di rumah dinas ini. Apalagi sampai tim humas tahu. Gosip akan cepat menggulir ke semua arah. "Oke, kita ketemu di luar jam kerja. Tolong balas pesanku," kata Edgar denagn senyum menang. Edelweis mencubit tangannya. Dia terseret arus bicara lelaki itun lagi. Kenapa tadi dia tidak bisa mengunci mulutnya rapat-rapat. Dia merutuki mulutnya.  Ajudan walikota mendekat dan memintanya untuk kembali ke kantor. Karena jam istirahat sudah selesai.  "Sampai jumpa lagi, Edel," kata Edgar. "Saya pamit dulu ya." Edelweis hanya mengangguk - angguk saja.  Hanif mendekat dan tersenyum jahil. Tetapi tidak mengatakan apapun, sebab Edelweis sudah bersiap menyerangnya dengan garpu.  *** Awan mendengus melihat seluruh berita di barisan mesin pencarian. Mulai dari halaman satu, dua, tiga. Semuanya tentang ketampanan Edgar Madeva. Berita mulai dari masa kecil, remaja, bahkan sampai saat dia kuliah di luar negeri juga ada.  "Mereka memang luar biasa," puji Awan. "Siapa?" tanya Hanif yang sudah ada di ruangan tersebut. Di belakangnya Edelweis baru membuka pintu.  "Kalian sudah kembali, bagaimana makan siang spesial bersama artis kita?" tanya Awan. "Biasa saja. Tadi kau lihatin apa?" tanya Hanif mengulang pertanyaannya.  "Oh itu. LIhat ini saja," kata Awan. Dia memutar layar monitor ke arah Hanif.  "Wah secepat ini ya, para netizen sudah lupa soal pencemaran pabrik," kata Hanif. Dia bersiul-siul.  "Mana mungkin lupa," bantah Edelweis. "Orang-orang terdampak tidak mungkin bisa lupa. Kalau tempat tinggalnya rusak dan tidak bisa ditempati lagi. Mereka bahkan harus mengungsi. Belum jelas bagaimana ganti ruginya," cecar Edelweis.  "Edeleweis anak baik," puji Hanif.  "Karena itulah aku selalu khawatir dengan anak ini. Dia selalu mengedepankan empatinya," kata Awan. Hanif mengangguk mengerti.  Edelweis hanya cemberut. "Lalu tugas kita apa sebagai jurnali kalau tidak membela mereka." Hanif mengangkat tangannya. Menyerah berdebat dengan Edelweis. "Kau... yang harus membimbingnya," tunjuk Awan pada Hanif. "Hei, kau tidak lihat aku sudah mengangkat tanganku tanda menyerah?" "Aku tidak melihatnya," bantah Awan. "Kalian berdua, pergilah. Aku sibuk," kata Awan. Hanif mengamati bosnya ini dengan sinar mata yang kesal. "Sialan kau!"  Awan menahan senyumnya, meski sudut matanya berkedut. Dia mengibaskan tangan menyuruh mereka keluar ruangan.  Hanif keluar ruangan. Baru saja dia selesai merokok, tetapi mulutnya terasa masam lagi. Edelweis menguntit di belakangnya.  Hanif berbalik tiba-tiba dan Edelweis menabraknya.  "Sialan kau!" umpat Edelweis meniru ucapan Hanif tadi. Hanif tersenyum geli. "Pintar meniru ya." Edelweis menjulurkan lidahnya.  "Kau buka mesin pencarian sekarang. Dan pelajari media mana yang masih konsisten menulis berita pencemaran," kata Hanif. "Kenapa?" "Belajar jadi jurnalis yang cerdas, supaya tidak cepat mati." Hanif berbalik lagi, dia melanjutkan jalannya. "Sekarang ya Edelweis!" Edelweis merengut. Jarang sekali ornag itu bersikap seperti senior. Tetapi dia juga penasaran dengan apa yang Hanif maksud. Jadi dia kembali ke meja kerjanya. Membuka laptop. Di riwayat pencariannya, dia memang jarang membuka media sosial atau situs berita lain. Dia lebih sering mengintai media sosial dan berita mengenai Indra.  Di saat seperti ini, Edelweis masih saja memikirkan lelaki sialan itu. Apakah dia memikirkan Edelweis? Edelweis merasa perasaannya sia-sia. Tetapi tetap saja jarinya mengetik nama Indra di mesin pencarian. Namun tidak ada berita atau postingan terbaru dari akun lelaki itu. Jadi dia beralih mengetik berita hari ini. Edelwis tidak mempercayai matanya. Seluruh hasil pencarian di internet di angka teratas adalah tentang Edgar Madeva. Foto-foto Edgar Madheva mulai dari kecil sampai dia sekolah di luar negeri juga ditampilkan.  "Dancuuk!" Seru Edelweis.  Editornya mengintip dari kubikel samping Edelweis. Melihat Edeliweis membaca berita tentang walikota ganteng mereka. "Kabar berita itu telah tenggelam, Del. Inilah kenyataannya, hidup memang tak pernah adil," celetuk editor dengan biak.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN