Perayaan

1043 Kata
SMA Merdeka, Agstus 2009 "Hai Edelweis!" "Edelweis!" "Edel!" "Hai cewek!" Edelweis hanya mengangguk aneh ketika dia banyak orang yang memanggil namanya. Ini semua gara-gara Indra menyuruhnya tampil di panggung untuk menyanyi. Peringatan kemerdekaan kemarin berlangsung meriah. Semua siswa antusias mengikuti setiap kegiatan yang diadakan oleh Osis. Edelweis tidak menyangka bahwa kehidupannya bisa berubah dalam waktu cepat. Namun dia belum bisa mengatasi kegugupannya untuk bicara dengan banyak orang. Dia masuk ke kelas, dan melihat Siska dan Yuni menatapnya sinis. Mereka hanya menyindir Edelweis. Tetapi beberapa teman perempuan mulai bicara secara normal dengannya. Edelweis merasa hal itu cukup.  "Del, habis dari ruang Osis ya?" "Iya, kenapa?" "Del, berarti kamu juga sering ketemu sama Edgar ya/" "Edgar siapa?" "Loh itu teman satu angkatannya Indra. Orangnya tinggi, ganteng seperti pemain basket, dan punya lesung pipit." Edelweis mereka ulang adegan rapat tadi. Diamencari anak laki-laki yang disebutkan temannya. Tetapi dia tidak melihatnya.  "Sepertinya orang seperti itu tidak ada," kata Edelweis. "Bukannya Edgar itu sedang pertukaran pelajar?" sahut Utami, anak yang duduk di belakang mereka berdua. "Oh iya ada, makanya aku yang disuruh menggantikannya. Tetapi aku tidak tahu namanya," jawab Edelweis jujur. "Dia terkenal lho Del. Yang kamu tahu cuma Indra sih?" Utami terkikik. Edelweis tersenyum masam. Dia belum bisa mencerna apakan itu sindiran bercanda, atau sindiran yang menyakiti. Dia hanya bisa tersenyum. Senyum adalah senjata adalannya.  *** "Tiap hari kamu semakin cantik Del," puji Kaliandra saat mereka membersihkan ruang Osis.  "Kakak lebih cantik!" jawab Edelweis. Dia tidak pernah percaya bahwa dirinya cantik. Dia sering dibully oleh anak laki-laki. Dijambak rambutnya sejak Sd, dikatai jelek, disembunyikan barang-barangnya oleh mereka. Dan kalau dia belum menangis, maka mereka tidak berhenti untuk menjahilinya. Jadi kata cantik, buatnya hanyalah untuk mereka yang benar-benar cantik.  "Euh, jangan panggil kakak. Panggil Kalia," kata Kaliandra.  "Baiklah Kalia," ulang Edelweis. Ada senyum kecil yang tergambar di wajahnya.  Kalia merasa senang. "Del," panggil Kaliandra. "Ya?" "Kalau Indra naksir kamu gimana?" tanya Kalia.  "Apa? Enggak mungkin!" bantah Edelweis. "Eh, kenapa?" Edelweis bingung menjelaskan. "Dia hanya kasihan sama aku. Anak yang penyendiri dan sering dirundung." Kaliandra berdecak. "Ada perbedaan ebsar, antara kasihan dan suka." "Perasaan suka, cinta tidak cocok untukku," kata Edelweis. Kaliandra tertawa. Edelweis menatapnya heran. "Suatu saat nanti, aku percaya. Kamu akan jadi magnet banyak lelaki. Ketika sorot matamu sudah berubah. Memandang dunia ini tidaklah sebaik atau seburuk yang kamu tahu. Ketika kamu sadar bahwa dirimu berharga." Edelweis meragukan perkataan Kaliandra. *** Agusts 2019 Kantor Tv Lokal Edelweis sedang menlis beberapa rencana untuk peliputan. Akan ada remisi tahanan, akan ada perayaan agustusan, akan ada banyak kegiatan di bulan ini. Dia akan sibuk bulan ini, sebagai salah satu jurnalis tv, dia dituntut untuk menampilkan tayangan yang bisa membuat masyarakat tertarik dan menontonnya.  "Del," panggil Hanif. Edelweis mendongak. "Mau kemana kau?" Hanif mengenakan setelan resmi, dengan kemeja batik dna celana kain. Biasanya Hanif hanya mengenakan kaos oblong dan celanan levis, itupun sudah robek. Edelweis pernah mengoloknya sebagai gembel.  "Mau nemenin Awan ke kantor pemeritahan Kota," jawab Hanif.  "Soal iklan?" "Tentunya. Demi kesejahteraan kita semua," kata Hanif.  Edelweing memgangkat jempolnya tinggi.  "Ohya, kamu sudah masuk ke grup bencana?" tanya Hanif.  "Grip bencana itu apa?" "Berarti belum ya," Hanif membuka ponsel dan sebentar fokus di sana. "Aku sudah memasukkan kamu ke grup itu. Itu grup dari Dinas kebakaran dan tanggap bencana. Kalau ada kejadian pasti dibagi di sana." "Oke siap senior." "Aku pergi ya Beb," kata Hanif.  Edelweis mengibaskan tangannya. Hanif tertawa keras.  Edelweis mengamati grup yang baru dimasukinya. Belum ada postingan sama sekali. Jadi dia mencari sebentar di media sosial lain. Sebelumnya Edelweis tak pernah membuka media sosial. Dan ternyata itu keliru. Banyak hal menarik yang bisa diliput di sana. Terutama kegiatan bulan Agustus seperti sekarang. Kegiatan masyarakat memperingati kemerdekaan bisa diliput kalau unik.  Ping! Sebuah pesan masuk ke ponsel Edelweis. Dari kakak iparnya, Syifa. Del, di sekolah Amrita ada kegiatan. Anak-anak akan diminta menyanyi bersama orangtua.  Edelweis membalas dengan emotikon senyum dan menyemangati kakak iparnya. Kamu nggak datang meliput? Sepertinya kurang menarik, Kak. Ping! Edelweis membuka pesna tersebut kemudian mengumpat. "Sial." "Kenapa Del?" tanya Editor yang baru datang dan meletakkan tasnya di kursi.  Edelweis menoleh dan kaget melihat wajah Editor. "Pipimu kenapa Pak?" "Habis bertarung sengit," dia berdecak dan sedih.  "Dengan siapa? Perlu kita lapor polisi?" tanya Edelweis khawatir.  Editor tak kuat menahan tawanya. Ekspresinya tadi hanya pura-pura. "Kalai kita lapor, bisa-bisa dimarahi." Editor masih tertawa.  Dan Edelweis tersenyum kecut. Kadnag-kadang mereka memang sering mengusili dirinya.  "Ini karena aku tubrukan dengan lawan main sepak bola kemarin," kata Editor. Senyumnya mengembang. "Kamu bisa liput itu Del," kata Editor senang.  "Liput pertandingan sepak bola di kampung?" tanya Edelweis memastikan.  "Pertandingan ini, bapak-bapak mengenakan daster. Dan ada adegan joget-joget saat musik dihidupkan." Edelweis membayangkannya kemudian tersenyum. "Ada lomba makan kerupuk nggak ya?" tanya Edelweis.  Editor itu berpikir sebentar. "Aku nggak tahu sih, coba kamu tanya istriku. Dia panitia lomba agustusan," kata Editor. Dia menoleh pada Edelweis. "Kamu punya nomernya kan?" Edelweis mengangguk. "Aku akan memasukannya ke daftarku." Ponsel Edelweis berdering lagi. Kali ini bukan pesan, melainkan telepon. Edelweis hanya melirik. Dugaannya benar. Walikota telepon. Edelweis malas mengangkatnya. Apalagi sejak dia melihat hadiah yang diberikan Edgar. Sebuah gaun merah itu.  Editor mendengar dering itu dna bertanya, "tidak kamu angkat?' "Malas," jawab Edelweis. Editor hanya mengangkat bahu dan mulai pekerjaannya.  Kali ini yang berbunyi bukan ponsel Edelweis, melainkan telepon kantor. Staf admin yang menerima telepon, hanya mengucapkan "Baik, saya panggilkan." Gadis yang usianya di bawah Edelweis itu kini memanggilnya. "Mbak Edelweis, ada telepon," katanya. Edelweis berjalan cepat dan menerima telepon. "Kenapa teleponku tidak diangkat?" tanya seorang lelaki di seberang sana. Edelweis mengumpat dalam hati. Harusnya dia bertanya dulu, telepon dari siapa itu. Padahal dia sudah berniat untuk menghindari lelaki narsis ini.  "Saya sibuk," jawab Edelweis singkat. "Ada apa?" "Aku ingin mengundangmu makan makam. seperti janjiku sebelumnya," kata Edgar. "Tidak perlu." Edgar memaksa. "Perlu. Kamu harus memakai gaun merah itu ya," kata Edgar. "Ah apakah kamu kenal dengan Kaliandra?" tanya Edgar. Jantungnya Edelweis berdegup kencang. Kenapa nama itu bisa diucapkan oleh Edgar. Kenalan lama yang berhubungan dengan Indra. Apakah Edgar dan Indra juga berteman? "Katanya dia ingin bertemu denganmu. Malam ini ya, aku jemput di kosmu jam tujuh," kata Edgar menutup teleponnya sepihak. Edelweis masih memegang ganggang telepon. Dia masih mencerna perkataan Edgar tadi. Apakah mimpinya kemarin pertanda, bahwa dia akan bertemu dengan Kaliandra dan Indra?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN