Edgar baru saja keluar pintu ruangan restoran tempat mereka berada. Dia berjalan beberapa langkah, lalu teringat ponsel yang dia tinggalkan di meja. Dia berbalik berniat mengambil ponselnya. Langkahnya terhenti ketika Kaliandra menyebutkan sebuah nama yang sangat dikenalnya.
Edgar berhenti di luar ruangan tanpa membuka pintu tersebut. Dia bergeming.
"Del, kamu masih menunggu Indra?" tanya Kaliandra.
Edelweis terpaku di tempatnya. Dia tidak menyangka Kaliandra akan menanyakan hal itu. Edelweis hanya bisa menatap Kaliandra dengan senyum yang muram.
"Aku..."
Kaliandra menjabar erat tangan Edelweis dengan kedua tangannya. "Hiduplah dengan bahagia. Dengan atau tanpa Indra, Edelweis."
Edgar membuka pintu ruangan itu. Edelweis dan Kaliandra menoleh. Kaliandra melepaskan tangan Edelweis.
Edgar bisa melihat mata Edelweis berkaca-kaca. "Dompetku ketinggalan," kata Edgar tanpa ditanya. Dia meraih dompet di meja, kemudian berbalik ke luar ruangan.
Kaliandra menatap punggung Edgar. Tanpa menoleh pada Edelweis, dia berkata, "Edgar pasti mendengar tadi, kau tidak apa-apa?" tanya Kaliandra.
"Aku tidak ada hubungan apapun dengan Pak Edgar. Jadi tidak masalah."
"Apakah hatimu masih terpaut pada Indra. Kau pernah menghubunginya?" tanya Kaliandra.
"Aku tidak tahu Mbak."
Jawaban Edelweis emmbuat Kaliandra sedih. Sebab dari wajahnya saja, Kaliandra tahu, bahwa Edelweis belum bisa melupakan cinta pertamanya. Sedangkan Kaliandra mendengar gosip, Indra memiliki tunangan. Apakah Edelweis bisa menghadapi berita tersebut? Kaliandra takut dengan jawaban buruknya.
Edgar kembali setelah membayar semua makanan mereka. Dia meminta Kaliandra untuk pulang sendiri. Sedangkan dia akan mengantarkan Edelweis pulang.
Edelweis bisa melihat ekspresi kesal pada Kaliandra, namun wanita itu menahannya. Seolah-olah selama Kaliandra telah terbiasa melakukannya.
"Aku bisa pulang sendiri," kata Edelweis menolah tawaran Edgar.
Kaliandra tersenyum, meski hanya sedikit. Tetapi Edelweis melihatnya.
"Tidak bisa. Aku akan tetap mengantarmu," Edgar bersikukuh. "Ada yang ingin kubicarakan."
Kaliandra menyerah. "Pergilah dengan Edgar, Edelweis," kata Kaliandra. Dia menganggukkan kepala pada Edelweis.
"Ayo, Edel," kata Edgar. Dia melambaikan tangan pada Kaliandra. "Sorry, Kal," imbuhnya.
Kaliandra menatap kepergian mereka dengan sedikit rasa mengganjal di hatinya. "Sorry juga Edgar, kamu tidak akan bisa mendapatkan hati Edel," gumamnya.
Edelweis masuk ke mobil Edgar dengan perasaan canggung. Dia hanya diam, dan menjawab seperlunya ketika ditanya. Dia mulai gelisah ketika Edgar tidak lagi menambahkan kata 'Mbak' kepadanya. Dia merasa aneh.
"Edel, bolehkah aku bertanya sesuatu?" tanya Edgar menoleh sebentar pada Edelweis, kemudian kembali menatap jalan raya. Tangan dan kakinya sibuk mengoperasikan mobil.
Mobil meluncur di jalanan. Edgar bahkan mencari rute terjauh menuju kosnya Edelweis. Dia sengaja.
Edelweis hanya mengangguk. Dia sibuk memandang kartu nama milik Kaliandra.
"Apa hubunganmu dengan Indra saat SMA?" tanya Edgar. Dia bisa menduga, namun dia tetap butuh kepastian.
Edelweis tersenyum. Dan Edgar melihatnya. Edgar merasa kesal.
"Dia pacar saya saat SMA,"k ata Edelweis. Hanya dengan mengenang Indra, hatinya terasa hangat. Bagaimana mungkin Edelweis bisa melupakannya?
"Dan kau masih menunggunya?" ejek Edgar. "Ada yang bilang cinta pertama itu tidak akan pernah terwujud. Cinta pertama indah, karena hanya dikenang saja."
"Terwujud ata tidak, itu bukan urusan Pak Edgar," kata Edelweis memberi jarak.
"Dia akan segera menikah. Dan wanita yang menjadi istrinya bukanlah kamu Edelweis. Maka lepaskan dia, dan buka hatimu untukku," kata Edgar.
Edelweis tersenyum geli. "Pak Edgar, terima kasih atas sarannya. Tetapi maaf, saya tidak bisa menerima perasaan Pak Edgar."
Edgar memberhentikan mobilnya, dia menyalakan lampu rating. "Kenapa?"
Edelweis menoleh pada Edgar dengan senyum geli. Dan itu malah membuat Edgar tambah kesal.
"Pak Edgar belum baca berita sore tadi ya?" tanya Edelweis. "Renaca pertunangan Pak Edgar dan Mbak Kaliandra sudah disiarkan tadi. Trending topik lagi berita tentang anda."
Edgar tersentak tidak percaya. Dia menyabet ponsel dari dasboard mobil dan membuka berita. Tubuhnya terasa lemas seketika. Apa yang disebutkan Edelweis benar.
Keluarganya telah melakukan pemberitaan itu tanpa persetujuannya.
Edgar merasa kepalanya berat. Bagaimana mungkin ayah dan ibunya tega melakukan ini? Tetapi Edgar memang tak selalu memiliki pilihan. Orang lain memandangnya sebagai politikus muda, orang beruntung, dan sebagainya. Padahal Edgar masih belum bisa lepas dari tekanan dua orangtuanya.
"Saya bisa pulang sendiri dari sini Pak," kata Edelweis. Dia menyadari suasana hati Edgar memburuk.
Edgar menarik napas. "Tidak. Aku tetap harus bertanggung jawab dengan keselamatanmu."
Edgar menjalankan mobil kembali. Kali ini dia langsung meluncur ke kos Edelweis dengan cepat. Dia akan menemui keluarganya segera.
Begitu tiba di kos Edelweis, Edgar juga ikut keluar. Edelweis panik karena takut akan ada yang melihat wajah Edgar. Tetapi Edgar tak peduli.
"Kalau rencana pertunanganku batal, apakah kau bisa membuka hatimu untukku? tanya Edgar. Dia sudah menyiapkan beberapa rencana untuk itu.
Edelweis memandang Edgar dengan tatapan sedih.
"Maaf Pak," kata Edelweis.
***
Edelweis menelpon Syifa.
"Mbak, aku sudah pulang ke kos."
Syifa terdengar sangat senang. "Bagaimana kencannya?"
Edelweis merasa dia perlu memberitahu kakak iparnya. "Aku sudah menolak Pak Edgar."
"APA?"
"Mbak, aku ngantuk. Kututup dulu ya," kata Edelweis langsung menutup telepon.
Terdenhgar jeritan ketika dia menutup telepon.
Edelweis belum bisa menjelaskan kepada siapapun bagaimana suasana hatinya. Ada rasa marah dan kecewa mendengar Indra akan menikah.
Hatinya terasa sakit. Edelweis tidka tahu harus bagaimana. Dia sering membayangkan akan bertemu lagi dengan Indra, berulang kali. Dia akan menjawab lamaran Indra dengan pasti. IYA.
Tetapi sekarang Edelweis bingung. Semua bayangan dan harapannya akan pertemuan indah dengan Indra kembali runtuh. Semua hal yang membuatnya bertahan kini tak ada harganya.
Apakah Indra benar sudah melupakannya?
Apakah Indra tak ingat janjinya sendiri?'
Pecahan-pecahan ingatan masa lalu kini datang pada Edelweis. Seperti tangkapan layar yang muncul di ponsel. Semuanya bergantian muncul di wajah Edelweis.
"Kita lakukan bersama. Mimpimu dan mimpiku bisa berjalan beriringan kan?" Kata Indra.
Dunia sama sekali tidak menarik tanpa kamu Del.
Hati aku udah jadi milik kamu.
Bulir-bulir bening perlahan mengalir di pipi Edelweis. Air mata yang tertahan selama bertahun-tahun ini kini menyergapnya tanpa ampun. Dia mengabaikan saran semua orang untuk melupakan Indra. Karena dia yakin Indra tak melupakannya, dan akan kembali ke sisinya suatu saat. Dia hanya perlu bersiap dan melakukan yang terbaik selama masa itu.
Namun hari ini Edelweis tertampar oleh kenyataan.
Cinta monyet, cinta pertama saat masa putih abu-abu. Semuanya tertasa hambar dan buram.
Terasa menyesakkan di d**a.
Edelweis menangis tersedu-sedu.
Apakah dia bisa hidup setelah ini dengan baik?
Apakah dia bisa mendapatkan lelaki yang baik?
Apakah dia bisa jatuh cinta lagi?
Edelweis ragu akan langkah hidupnya setelah ini. Bangunan kokohnya adalah penantian pada Indra. Dan ketika itu hancur, Edelweis harus bertahan lebih keras dengan puing-puing itu.
Edelweis menelpon seseorang.
"Mas, hatiku rasanya tercabik-cabik," jerit lirik Edelweis.