Hanif sedang kalut. Istrinya ngambek. Dia mendengar kabar tidak bagus tentang Hanif yang dekat dengan teman akntornya. Hanif tidak tahu sang istri mendengar kabar tersebut dari siapa. Dia berusaha menyakinkan istrinya bahwa dia di sini sedang bekerja. Bukan main perempuan.
"Tetapi kabar yang aku terima seperti ini. Kamu nggak bohong kan? Kalau kamu sudah tidak sayang aku, bilang saja," cecar istr Hanif.
Hanif mendesah berat. "Sayang, tolong percayalah padaku."
Hanif mendngar isakan tangis di telepon. Istrinya sedang tersedu-sedu.
"Sayang, bagaimana kalau kamu pindah saja ke sini. Nanti aku kenalkan dengan teman kantorku, kamu akan bisa menilai sendiri," bujuk Hanif.
"Kamu saja yang pulang ke sini. Cari kerja di sini," regek istrinya.
Hanif menarik napas dalam dan mengeluarkannya perlahan. Dia tidak boleh bersikap kasar. Saat ini istrinya pasti telah melallui hari yang buruk, ditambah mendengar kabar tidak benar tentangnya. Hanif hars sabar.
"Kalau aku pulang, nanti aku kerja apa di sana? Aku cuma bisa jadi jurnalis di sini. Banyak berita yang bisa ak liput."
"Kamu memangs udah nggak sayang sama aku," kata istrinya marah dan menutup telepon.
Hanif mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Memijat kepalanya yang pusing. Dia akan mengajukan cuti beberapa hari untuk menengok istri dan anaknya.
Ponsel Hanif berdering lagi. Hanif mengira istrinya sudah lebih tenang, dia menerima tanpa melihat siapa penelponnya.
"Mas, hatiku rasanya tercabik-cabik," jerit lirih Edelweis.
Hanif termenung sebentar dan melihat ke layar ponselnya. Yang menelpon bukanlah istrinya, melainkan Edelweis. Kenapa dia?
Hanif hanya terdiam ketika Edelweis menangis di telepon dan berbicara banyak. Hanif galau. Apakah dia harus menutp telepon atau bagaimana.
"Mas, kenapa dia kejam sama aku?" kata Edelweis merintih.
Hanif menduga Edelweis ingin menelpon Galih. Namun yang ditelepon malah Hanif. Ini pasti hanya salah sambung. Namun mendengar suara Edelweis yang kesakitan, Hanif tak berani bicara sedikitpun. Jadi dia hanya memasang telinga untuk Edelweis.
Kadang-kadang perempuan memang lebih butuh telinga untuk mendengarkan, bukan mulut untuk memberikan saran yang tak dibutuhkan.
Edelweis bicara sambil menangis.
"Mas, aku mendengar dia akan menikah. Lalu bagaimana dengan diriku? Apakah dia sudah lupa janjinya padaku? Kenapa dia tega melakukan ini padaku?" Edelweis terus bicara di telepon.
Dan Hanif mendengarkan saja.
Malam itu Edelweis bicara di telepon, sambil menangis dan kemudian tertidur karena lelah.
Hanif merasakan ada yang berbeda pada hatinya.
***
Edelweis merasa matanya sakit saat bangun. Dia melirik jam di ponselnya. Dia tidak sanggup untuk bangun. Jadi dia mengirim pesan ke Pimpinan Redaksi, Awan, untuk liburnya diganti hari ini.
Kamu sakit Del?
Edelweis menggumam. "Sakit hati Pak!" Edelweis hanya menulis dia tidak enak badan.
Dia tidak mungkin menjawab bahwa dia sedang terluka hatinya, batinnya tersiksa, Hari ini dia malas melakukan apapun. Selain hatinya, badannya juga terasa kaku. Lebih-lebih matanya.
Edelweis duduk melihat ke cermin. Seperti ada yang membebani matanya. Matanya sebesar gajah. Perut Edelweis berbunyi. Tetapi dia tidak lapar. Dia tidak nafsu makan, jadi dia kembali bergelung selimut, ketika pintu kamarnya diketuk oleh seseorang.
Edelewis mengira itu Ibu Kos, sebab dia belum bayar kos bulan ini. Jadi Edelweis membuka pintu tanpa menyisir rambur dan mencuci muka.
Dia sangat kaget ketika pintu dibuka, yang muncul adalah Syifa, kakak iparnya.
"Kamu ngapain Mbak, di sini?" pekik Edelweis menutup wajah dengan kedua tangan.
"Nih, sarapan," jawab Syifa menyerahkan sebungkus kresek berisi bubur ayam yang sengaja dia beli pagi ini. Dia tentu saja ingin mendengar kelanjutan kencan Edelweis. Namun melihat Edelweis yang kacau seperti ini, dia mengurungkan niatnya.
Edelweis menerima dengan senyum lebar. "Mbak, adalah malaikat terbaik," puji Edelweis.
"Makan dulu," saran Syifa.
Edelweis membuka pintu lebar kamarnya, agar Syifa bisa masuk ke dalam.
Syifa mendesah dan bergumam kesal. "Ini kamar, atau kapal pecah?"
"Aku capek Mbak, semalam. Belum sempat beres-beres."
Syifa memunguti baju yang tergeletak di lantai dan mengumpulkan jadi satu. Dia memasukkan baju itu ke keranjang baju kotor. Dia juga merapikan meja belajar Edelweis. Menumpuk buku-buku, dan mengelap mejanya. Setelah itu dia menyapu lantai,sedangkan Edelweis menyantap buburnya.
"Del, kenapa kamu tolak lamaran Walikota?" tanya Syifa sambil menyapu.
Edelweis menikmati makanannya. Hatinya memang sakit, tetapi perutnya juga tak mau berkompromi. "Dia sudah punya tunangan, Mbak. Tunangannya itu seniorku," kata Edelweis menjelaskan.
"Hih, dasar lelaki mata hijau. Punya tunangan kok masih suka perempuan lain. Minya dihajar orang begitu," maki Syifa.
"Dia dijodohkan, baru tahu juga kemarin," bela Edelweis.
"Tetap saja. Tidak elok seperti itu. Dan itu yang membuatmu matamu bengkak?" Sindir Syifa.
Edelweis mengigit bibir. "Bukan mbak, tetapi yang lain."
Syifa selesai menyapu, dia duduk di sebelah Edelweis. "Ada apa Del? Kamu bisa cerita sama Mbak."
"Indra juga sudah memiliki yang lain Mbak, dia juga akan menikah," kata Edelweis lirih.
Meski pelan, Syifa bisa menangkap maksudnya. Syifa pun merasa hatinya sakit. Dia tahu betul, selama ini Edelweis bertahan karena janji mereka di masa lalu. Meski keluarga juga sudah mengingat Edelweis. Tetap saja, Edelweis belum bisa melupakan lelaki itu.
Dan kini seperti bom, disimpan oleh Edelweis, semuanya pecah, medelak. Menghancurkan hati gadis itu.
Syifa hanya bisa memeluk adik iparnya itu dengan sayang. Edelweis menangis lagi.
"Semalam aku sudah telepon Mas Galih Mbak. Tetapi diam saja. Mungkin dia tahu adiknya hanya butuh pendengar," kata Edelweis.
Syifa bingung. Semalam tidak ada telepon dari Edelweis. Galih bersamanya semalaman. Mungkin saja pas Syifa sudah tidur, Edelweis baru menelpon, pikir Syifa.
"Hari ini apa rencananya?" Tanya Syifa.
"Tidur."
***
Keesokan harinya Edelweis memaksa diri untuk masuk kerja. Dia disuruh membawakan berita titipan dari pemerintah walikota.
Dia sudah berusaha menyamarkan mata panda dan bengkak miliknya. Dia tidak ingin muncul di layar kaca dengan wajah sembab. Dia berhasil melakukannya sampai bertemu Hanif.
"Kamu baik-baik saja Del?" Tanya Hanif.
"Memangnya aku kenapa? Wajahku cantik dan cerah begini,* sahut Edelweis riang.
Hanif mendengus. Dia tahu Edelweis memaksakan diri. Tetapi dia tidak ingin membuat Edelweis malu. Sepertinya Edelweis juga tidak sadar kalau salah menelpon.
Ponsel Hanif berdering, dari istrinya.
Hanif menyingkir untuk menerima telepon.
Edelweis duduk di kubikelnya. Dan Editor berbisik. "Istri Hanif lagi kumat."
"Kumat gimana?" Tanya Edelweis.
"Kumat cemburunya."
"Masa sih? Hanif kan meski rese tetapi tidak main perempuan," bela Edelweis.
"Semua juga tahu. Tetapi tetap saja perempuan suka berpikir berlebihan," kata editor.
"Lelaki juga ada yang begitu. Posesif."
Editor tersenyum jahil.
Edelweis ingin menelpon Galih. Dia membuka riwayat panggilan telepon. Namun tidak ada panggilan keluar untuk Galih. Yang ada malah Hanif.
"Lho?" Gumam Edelweis.
Dia memeriksa riwayat telepon dan kaget melihat tulisan di sana. Waktu yang tertera saat dia menelpon Hanif adalah saat di mana dia mengira menelpon Galih untuk menangis.
Edelweis menatap Hanif dengan perasaan malu.